Jakarta, ibu kota dan pusat perekonomian Indonesia, menghadapi ancaman serius dari perubahan iklim dan eksploitasi sumber daya alam. Berbagai studi dan prediksi menyatakan bahwa Jakarta berisiko tenggelam pada tahun 2030 atau 2050 akibat kenaikan permukaan air laut dan penurunan muka tanah. Fenomena ini tidak hanya akan merugikan jutaan penduduk Jakarta, tetapi juga berdampak negatif pada stabilitas sosial, politik, dan ekonomi nasional. Oleh karena itu, diperlukan langkah-langkah konkret dan kolaboratif untuk mengatasi tantangan dan mencari solusi nyata bagi masa depan Jakarta.
Salah satu faktor utama yang menyebabkan Jakarta terancam tenggelam adalah pemanasan global. Pemanasan global merupakan kenaikan suhu rata-rata atmosfer dan lautan akibat peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di udara. GRK berasal dari aktivitas manusia seperti pembakaran bahan bakar fosil, pembukaan lahan, dan peternakan. GRK menyerap dan memantulkan kembali radiasi matahari, sehingga meningkatkan suhu bumi. Akibatnya, es di kutub mencair dan permukaan air laut naik. Menurut Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, permukaan air laut naik sekitar 3 milimeter per tahun, dan diperkirakan akan naik hingga 1 meter pada akhir abad ini. Hal ini tentu akan menggenangi wilayah-wilayah rendah di dunia, termasuk Jakarta.
Selain itu, faktor lain yang memperparah kondisi Jakarta adalah penurunan muka tanah. Penurunan muka tanah terjadi karena pengambilan air tanah secara berlebihan oleh penduduk dan industri di Jakarta. Air tanah berfungsi sebagai penyangga yang menopang lapisan tanah di atasnya. Jika air tanah berkurang, maka lapisan tanah akan mengempis dan turun. Menurut peneliti dari Pusat Riset Iklim dan Atmosfer (PRIMA), Eddy Hermawan, Jakarta mengalami penurunan muka tanah rata-rata 1-15 sentimeter per tahun, dan di beberapa titik mencapai 25 sentimeter per tahun. Akibatnya, banyak daerah di Jakarta yang berada di bawah permukaan air laut, seperti Jakarta Utara, Pluit, Muara Baru, dan Ancol.
Tantangan yang dihadapi Jakarta akibat ancaman tenggelam sangat kompleks dan multidimensi. Pertama, tantangan lingkungan. Jakarta akan kehilangan sebagian besar wilayahnya yang merupakan habitat bagi berbagai flora dan fauna. Selain itu, Jakarta juga akan mengalami kerusakan ekosistem pesisir, seperti mangrove, terumbu karang, dan padang lamun, yang berperan penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan dan mencegah erosi.Â
Kedua, tantangan sosial. Jakarta akan menghadapi masalah kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan masyarakat. Banyak warga yang akan terpapar penyakit akibat air yang tercemar, sanitasi yang buruk, dan polusi udara. Banyak pula anak-anak yang tidak dapat mengenyam pendidikan yang layak karena sekolah-sekolah terendam.Â
Selain itu, banyak pula masyarakat yang akan kehilangan tempat tinggal, pekerjaan, dan mata pencaharian akibat banjir dan rob. Ketiga, tantangan ekonomi. Jakarta akan mengalami kerugian ekonomi yang besar akibat tenggelamnya infrastruktur, fasilitas, dan aset vital. Jakarta merupakan kontributor terbesar Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, yaitu sekitar 17 persen.Â
Jika Jakarta tenggelam, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia akan terhambat. Keempat, tantangan politik. Jakarta akan menghadapi masalah keamanan, ketertiban, dan stabilitas politik. Banyak potensi konflik yang dapat timbul akibat tenggelamnya Jakarta, seperti konflik antara pemerintah pusat dan daerah, antara pengungsi dan masyarakat lokal, antara kelompok agama dan etnis, dan antara negara dan negara lain. Jakarta juga akan kehilangan statusnya sebagai ibu kota dan pusat pemerintahan Indonesia, yang membutuhkan relokasi dan reorganisasi yang tidak mudah.
Mengingat besarnya tantangan yang dihadapi Jakarta, maka diperlukan solusi nyata yang dapat mencegah atau minimal mengurangi dampak dari tenggelamnya Jakarta. Solusi nyata yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut. Pertama, mitigasi pemanasan global. Mitigasi pemanasan global adalah upaya untuk mengurangi emisi GRK dan menghambat kenaikan suhu bumi. Beberapa langkah yang dapat dilakukan adalah meningkatkan penggunaan energi terbarukan, mengurangi konsumsi bahan bakar fosil, menerapkan transportasi publik yang ramah lingkungan, mengurangi sampah plastik, dan melakukan reboisasi. Kedua, adaptasi terhadap perubahan iklim. Adaptasi terhadap perubahan iklim adalah upaya untuk menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan yang berubah. Beberapa langkah yang dapat dilakukan adalah membangun tanggul laut, mengganti air tanah dengan sumber air alternatif, mengelola pesisir secara berkelanjutan, dan meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap bencana. Ketiga, relokasi ibu kota. Relokasi ibu kota adalah upaya untuk memindahkan pusat pemerintahan dan aktivitas ekonomi dari Jakarta ke wilayah lain yang lebih aman dan strategis. Beberapa langkah yang dapat dilakukan adalah menentukan lokasi baru yang memenuhi kriteria geografis, sosial, ekonomi, dan politik, merancang master plan yang inklusif dan berkelanjutan, membangun infrastruktur dan fasilitas yang memadai, dan melakukan transisi yang bertahap dan terukur.
Solusi nyata yang telah disebutkan di atas tentu tidak dapat dilakukan oleh satu pihak saja, tetapi membutuhkan kerjasama dan kolaborasi dari berbagai pihak, baik pemerintah, swasta, akademisi, masyarakat sipil, maupun masyarakat umum. Selain itu, solusi nyata juga harus didasarkan pada data dan fakta yang valid, serta mempertimbangkan aspek-aspek lingkungan, sosial, ekonomi, dan politik. Dengan demikian, solusi nyata dapat memberikan manfaat yang optimal dan berkelanjutan bagi Jakarta dan Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H