Mohon tunggu...
Anggraini Fadillah
Anggraini Fadillah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Content Writer

💌🎀

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Provider Mentality: Tanggung Jawab Laki-Laki Dalam Hubungan (Part 1)

27 Januari 2025   23:10 Diperbarui: 28 Januari 2025   21:55 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Apakah, seharusnya mindset "provider mentality" sepenuhnya menjadi tanggung jawab laki-laki? Menurut saya, pertanyaan ini menjadi hal yang bisa membuka ruang untuk kita mencari tahu dan mendalami lebih jauh terkait mindset provider mentality, yang tentunya dengan melihat relevansinya terhadap hubungan di era modern saat ini.

Justru, secara tradisional, provider mentality ini diasosiasikan terhadap laki-laki yang ternyata hal itu berakar dari faktor sosial dan budaya, yang mana, ini mengarah pada sebuah pemahaman bahwa laki-laki harus menjadi "penyedia" dalam sebuah keluarga atau hubungan, sehingga apakah sebenarnya hal itu menjadi kewajiban mutlak atau sebenarnya hanya sebuah peran yang terbentuk dari kontruksi sosial? 

Sebelum lebih jauh, alangkah baiknya kita memahami terkait konsep provider mentality. Barangkali, kita harus tahu dulu, asal mula dari konsep provider metality ini. Sejarah panjang, di mana laki-laki dianggap sebagai seorang pencari nafkah utama dalam keluarga, akhirnya menuntut laki-laki dalam banyak budaya dipahami sebagai seseorang yang harus "menyediakan" sedangkan perempuan, pada umumnya itu dianggap sebagai seseorang yang bertanggung jawab dalam hal pengasuhan anak, dan urusan rumah tangga. 

Tentunya, sistem ini memanglah terkait erat dengan adanya struktur partiarki, yang mana laki-laki memegang kendali terhadap aspek kehidupan sosial dan ekonomi. Namun, seiring berjalannya waktu, walaupun budaya telah berkembang dengan pesat menuju kesetaraan gender, bahwa hal ini masih menjadi sesuatu yang bertahan, walaupun tidak sekuat dulu. 

Akan tetapi, provider mentality ini menjadi sebuah tanggung jawab laki-laki karena tradisi dari dulu hingga sekarang menganggap, bahwa penempatan laki-laki sebagai pilar utama dalam keluarga atau hubungan itu dipandang bahwa laki-laki yang memberikan "lebih" baik dalam bentuk materi, ataupun perlindungan, itu dianggap memenuhi peran sebagai laki-laki yang dapat memimpin dalam sebuah hubungan.

Sehingga, di era modern saat ini, banyak hal yang akhirnya mengedepankan kesetaraan gender, sehingga pertanyaan terkait mindset provider mentality ini muncul ke permukaan, yang mana, apakah harus tetap pada akhirnya, semua tanggung jawab itu sepenuhnya dilimpahkan kepada seorang laki-laki?

Dalam hubungan yang sehat dan setara, tentulah peran menjadi provider bukan hanya menjadi beban yang dipikul oleh satu pihak, sehingga sebagai pasangan, memang harus ada saling mendukung, baik dalam hal emosional, maupun finansial, yang mana memang, pada akhirnya laki-laki sering kali merasa memiliki "pride dan kebanggaan" sendiri, ketika akhirnya ia bisa memberikan yang terbaik untuk pasangannya. 

Namun, pada akhirnya ini tidak bisa seharusnya menjadi tuntutan sepihak, apalagi hal itu terjadi ketika sudah di luar batas kemampuan seorang laki-laki tersebut. Di era yang memiliki banyak kemajuan saat ini, barangkali kita mulai menyadari bahwa hubungan yang ideal itu, pada akhirnya didasarkan pada sebuah kerjasama. 

Bahkan, mindset provider mentality ini bisa dimiliki oleh kedua belah pihak, yang tentu bukan hanya soal finansial, namun juga tentang bagaimana satu sama lain bisa memberikan dukungan, perhatian, dan perlindungan emosional. Memang benar, provider mentality ini menjadi sebuah pilihan yang didasari oleh sebuah komitmen dan tanggung jawab seorang laki-laki terhadap pasangannya.

Akan tetapi, tidak berarti bahwa laki-laki pada akhirnya harus merasa terpaksa untuk memenuhi standar tertentu yang ditetapkan oleh masyarakat atau bahkan pasangannya, yang sudah di luar kemampuan, dan tidak masuk akal, sehingga perlu adanya keseimbangan yang harus dijaga, yang mana antara laki-laki dan perempuan, sama-sama berusaha untuk memberikan yang terbaik dalam terjalinnya hubungan. 

Walaupun, pada akhirnya banyak laki-laki yang merasa bangga dengan peran mereka sebagai penyedia, yang pada akhirnya pride mereka seringkali menjadi motivasi untuk berusaha lebih keras, akan tetapi pride ini pada akhirnya menjadi pedang bermata dua, ketika tidak diimbangi dengan komunikasi yang baik dalam hubungan, yang mana, pada akhirnya ketika laki-laki merasa tertekan untuk memenuhi standar provider yang tinggi, yang diberikan pasangan kepada mereka, pada akhirnya mereka juga lelah dan frustrasi seorang diri, apabila tidak didiskusikan lebih jauh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun