Mohon tunggu...
Anggraini Fadillah
Anggraini Fadillah Mohon Tunggu... Mahasiswa - content writer | host podcast

hi, i'm anggraini fadillah. thank you for agreeing to read the article here 💌🎀

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Fenomena 'FOMO': Bagaimana Media Sosial Membuat Kita Merasa Tertinggal?

9 Januari 2025   23:13 Diperbarui: 9 Januari 2025   23:36 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fenomena adanya "FOMO" kerap kali terjadi di era digital dan sosial media saat ini, yang mana beragam tren yang menyebar dan meluas di kehidupan kita, seolah-olah menjadi sebuah "kewajiban" untuk diikuti, agar seseorang itu dapat diterima dan dianggap relevan karena telah mengikuti tren. Sehingga, banyak orang tidak menyadari bahwa ketika mengikuti tren tanpa memahami tujuan sebenarnya, sekadar untuk ikut-ikutan, akhirnya banyak yang mengalami kesusahan karena tidak memahami untuk apa ia mengikuti tren, sehingga hal ini membuat banyak orang justru mendapatkan beban, baik secara mental ataupun finansial karena terpaksa nemenuhi standar sosial media dengan mengikuti tren yang ada. 

Tren-tren yang dianggap kekinian itu kerap kali menjadi tolak ukur sebagai sebuah kebahagiaan atau keberhasilan seseorang sehingga banyak orang mengalami jebakan pola pikir "fear of missing out" (FOMO). Tentunya, hal ini akan sangat membuat seseorang mengalami hal-hal yang mengakibatkan dirinya kehilangan jati diri, karena ia sibuk mengejar validasi banyak orang sehingga fokus untuk benar-benar memahami makna dalam dirinya itu tidaklah terlalu penting. 

Bahkan, kalau kita menyadari bahwa banyak sekali tren-tren yang sering kali tidak memiliki nilai substansial terkait, apakah pentingnya, dan justru malah tren yang ada itu melahirkan tindakan yang tidak bermanfaat, bahkan merusak moral banyak orang. Orang-orang terjebak dalam euforia tren, tanpa mereka mempertimbangkan akibat dan dampak terhadap diri sendiri, masyarakat, atau norma etika, sehingga banyak hal dalam sebuah tren yang dianggap kekinian itu, dulunya dianggap tabu, sekarang justru dapat diterima, karena dianggap normal dan wajar, sehingga banyak orang akhirnya mengikuti tren yang dinormalisasikan tersebut. 

Yang lebih miris dan memprihatinkan adalah banyak tren di sosial media itu, tidak memberikan didikan yang sepatutnya dan justru tren yang ada itu, mendorong seseorang berperilaku merugikan, karena hal-hal yang dibuat itu memiliki tantangan yang berbahaya, konten yang tidak beretika, atau konsumsi berlebihan demi tampilan yang harus diikuti. Sehingga, karena itu adalah tren, akibatnya tren tersebut bukan hanya membodohi seseorang, akan tetapi akhirnya juga memperburuk kualitas orang-orang yang menonton atau berinteraksi di sosial media.

Yang mana, sebenarnya memang tidak ada salahnya untuk kita mengikuti tren, akan tetapi banyak orang itu tidaklah berpikir sebelum bertindak, bahkan mereka tidak mampu memilah mana yang bermanfaat dan mana yang merugikan, sehingga dari sanalah banyak tren-tren yang akhirnya menjadi sesuatu yang "sampah" karena membuat seseorang kehilangan arah dan melupakan nilai-nilai yang sebenarnya lebih penting daripada mengikuti tren.

Misalnya, di sosial media dengan adanya tren-tren seperti prank atau menjual kesedihan, yang memang seringkali jadi fenomena yang menarik perhatian karena sifatnya yang sensasional, namun agak disayangkan, karena banyak dari konten tersebut, justru jauh dari kata nilai-nilai edukatif atau memiliki etika, karena seringkali konten tersebut melibatkan manipulasi, emosi, dan kebohongan, yang tentu alasan utamanya adalah keinginan untuk hanya mengejar engagement, algoritma dan views, karena dianggap menjadi content creator di sosial media itu menjadi "mata uang" di dunia digital saat ini. 

Akan tetapi, ironisnya banyak orang lupa bahwa media sosial itu bukan hanya tempat untuk menghibur, tetapi sebagai sebuah platform yang sangat powerful untuk dapat memberikan banyak orang dari konten-konten kita tersebut untuk dapat mendidik, menginspirasi, dan memberikan dampak positif. Yang mana memang anehnya, konten-konten yang edukatif itu, seringkali dianggap "kurang menarik atau membosankan" sehingga banyak kreator akhirnya memilih jalan pintas untuk membuat konten yang sensasional. 

Sehingga, di sini ada pernyataan yang kerap kali kita dengar bahwa "bersosial media itu adalah hanya untuk tempat menghibur, jadi kalau ingin mencari edukasi tentu tempatnya adalah di sekolah." Nah, hal ini seringkali digunakan sebagai sebuah pembenaran untuk membuat sebuah konten yang kurang benar. Padahal sebenarnya, edukasi itu tidak hanya terbatas pada institusi formal, yang mana, media sosial sekarang tentunya memiliki potensi besar untuk menjadi ruang belajar alternatif, jika diisi dengan konten yang lebih mendidik, inspiratif, dan relevan. 

Sehingga, di sinilah sebagai seseorang yang menggunakan media sosial, untuk kita jauh lebih harus selektif dalam memilih apa yang kita konsumsi dan kita dukung, karena dengan kita memberikan dukungan kepada konten-konten yang bermutu, kita bisa juga mendorong adanya tren positif di media sosial, sehingga hal itu menjadikan apa yang kita tonton, bagikan, dan sukai, akan membentuk algoritma dan budaya konten yang lebih positif, sehingga sebagai seseorang yang menggunakan sosial media adalah untuk menjadi bijak dalam memberikan bahkan menerima sesuatu itu dengan baik dari adanya sosial media.

Oleh karena itu, yang bisa kita garis bawahi adalah sebagai solusinya memang, penting untuk kita menyadari bahwa tidak semua tren itu dapat membawa manfaat, sehingga kita harus belajar untuk bersikap bijak dalam memilih apa yang benar-benar sesuai dengan nilai dan kebutuhan pribadi, sehingga sangat lebih baik untuk kita paham dan mempelajari serta memilah sesuatu itu untuk tidak hanya ikut-ikutan bahkan menjadi salah satu seseorang yang menjadi korban tren yang hanya sementara dan dapat merugikan diri sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun