Ini adalah topik yang menarik untuk saya bahas karena kita mungkin sudah biasa mendengar bahwa banyak perempuan yang memandang sebuah kehidupan dalam hubungan itu didasarkan terhadap sesuatu yang realistis sehingga justru di sini saya tertarik untuk membahas bagaimana sih, sudut pandang atau perspektif laki-laki ketika memilih pasangan secara realistis? Tentunya, fenomena bahwa laki-laki yang realistis dalam memilih pasangan itu kebanyakan memang tidak "muluk-muluk" akan tetapi hal itu justru menjadi sebuah pergolakan antara diri laki-laki tersebut dengan keluarganya.
Karena, akhirnya ia harus mempertimbangkan antara tetap memilih perempuan yang ia inginkan atau memilih mengikuti nilai-nilai yang dipegang oleh keluarganya karena pada akhirnya banyak hubungan itu usai dan selesai juga karena tidak adanya restu atau kesempatan dan peluang yang memungkinkan karena banyaknya pertimbangan dari keluarga laki-laki tersebut. Mungkin, yang kita lihat adalah banyak laki-laki akan sangat menerima kelebihan dan kekurangan pasangannya dengan apa adanya, dalam artian ketika perempuan itu sudah bersikap bisa memberikan laki-laki kenyamanan, dukungan emosional dan kedamaian maka itu sudah jadi hal yang cukup bagi kebanyakan laki-laki.
Karena, poin penting memilih pasangan bagi kebanyakan atau beberapa laki-laki menurut saya mungkin hanya sebatas itu karena laki-laki cenderung melihat pasangan sebagai mitra hidup yang mampu memberikan stabilitas psikologis bagi dirinya, tanpa mempertimbangkan bagaimana latar belakang sosial atau finansial pasangannya tersebut. Akan tetapi, mungkin ini akan jadi perbedaan yang sangat tajam, ketika pihak keluarga dari laki-laki tersebut tidak bisa menerima dengan pertimbangan bahwa mungkin background sosial dari perempuan tersebut atau kondisi keluarga dari perempuan tersebut tidak sesuai dengan apa yang dipegang oleh pihak keluarga dari laki-laki tersebut.
Sehingga, saat ini saya memperhatikan bahwa keluarga biasanya sangat mempertimbangkan faktor-faktor seperti status sosial, tradisi ataupun bahkan reputasi keluarga dari perempuan yang laki-laki itu inginkan. Nah, itu berbanding terbalik dengan bagaimana laki-laki memandang sebuah hubungan, yang mana secara realistis seringkali laki-laki menganggap hal itu menjadi tidak relevan dalam konteks hubungan pribadi, karena mereka berpikir, toh yang akan menafkahi, mengayomi dan memimpin keluarga kecilnya nanti itu adalah laki-laki, jadi ia tidak terlalu mempermasalahkan apabila pasangannya memiliki kekurangan atau berasal dari keluarga yang sederhana.
Sehingga, inilah yang memunculkan pergolakan yang rumit antara pilihan untuk tetap melanjutkan dan memperjuangkan pasangannya untuk ke jenjang yang lebih serius atau memilih mendengarkan keluarganya atas dasar rasa tanggung jawab kepada keluarga, yang mungkin di beberapa budaya memiliki pengaruh besar terhadap kehidupan individu laki-laki tersebut, sehingga dalam situasi seperti ini laki-laki pasti disulitkan dengan pilihan antara memperjuangkan hubungan dengan risiko akan terjadi peregangan hubungan ia dengan keluarga atau lebih baik mengikuti keputusan keluarga, demi hubungan keluarga dapat selaras dan baik-baik saja sehingga akhirnya laki-laki terpaksa mengorbankan perasaan dan kebahagiaan dirinya sendiri.Â
Tentunya, pergolakan seperti ini mencerminkan hal yang membuat dilema antara memperjuangkan cinta sejati dan bagaimana ekspektasi keluarga yang seringkali memiliki dampak jangka panjang, baik secara emosional maupun psikologis. Tentunya, apabila keluarga perempuan memandang sebuah hubungan itu dengan realistis maka keluarga laki-laki juga punya pandangan yang serius dan realistis terhadap sebuah hubungan yang mana, mungkin pandangan keluarga laki-laki terhadap keluarga seorang perempuan itu memiliki banyak pertimbangan karena yang harus kita sadari adalah nilai, prinsip dan budaya hidup yang dipegang oleh sebuah keluarga itu pasti akan berbeda-beda dengan keluarga lainnya.
Sehingga, ini sangat berpengaruh terkait bagaimana ketika laki-laki dan perempuan ingin menyatukan sebuah keluarga maka harus sama-sama memperjuangkan dan mengusahakan, bagaimana keputusan yang diambil itu tidak mengorbankan kebahagiaan diri sendiri dan tetap menghormati pandangan keluarga sehingga perlu adanya komunikasi dan kompromi terkait pandangan-pandangan yang berbeda dalam hal ini. Karena, saya sangat mengingat bahwa ada pernyataan di masyarakat kita terkait dengan "laki-laki mapan lebih mudah menerima perempuan dari keluarga sederhana namun itu berbanding terbalik dengan ketika bahwa perempuan mapan sulit menerima laki-laki dari keluarga miskin."
Inilah, hal yang mencerminkan dinamika sosial dan budaya yang kompleks dimana ini adalah pernyataan yang sepenuhnya tidaklah benar untuk semua individu akan tetapi ada pola yang kerap dijumpai dalam masyarakat bahwa banyak orang masih menjunjung tinggi nilai tradisional terkait dengan peran gender. Yang mana secara umum laki-laki memang dianggap sebagai "pencari nafkah utama" sehingga kemampuan finansial yang dipikul itu dipandang sebagai faktor utama untuk stabilitas sebuah keluarga sehingga laki-laki mapan akan cenderung lebih fleksibel untuk menerima perempuan dari latar belakang sederhana karena perannya dianggap untuk melengkapi bukan sebagai kompetitor.Â
Sehingga, justru sebaliknya, perempuan mapan itu seringkali dianggap di masyarakat kita terkait dengan ekspektasi sosial bahwa justru pasangan perempuan tersebutlah yang harus memiliki status sosial atau finansial yang setara sehingga laki-laki dari keluarga miskin akan dianggap kurang mampu untuk memenuhi standar hidup yang diharapkan dari seorang perempuan ataupun keluargnya. Yang mana ini berbeda, ketika laki-laki sudah mapan, maka ia melihat pasangan yakni fokusnya seringkali itu pada bagaimana kenyamanan, dukungan emosional dan kepribadian perempuan tersebut berikan, sementara aspek materi itu menjadi poin sekunder terutama, jika laki-laki tersebut sudah mapan.Â
Namun, hal ini menjadi berbeda ketika perempuan menghadapi tekanan sosial yang lebih besar terkait status pasangan mereka, yang mana laki-laki dengan status sosial yang lebih rendah seringkali dipandang sebagai "beban" baik oleh perempuan itu sendiri maupun oleh keluarganya sehingga ini menunjukkan adanya ketimpangan dalam cara masyarakat menilai kesetaraan dalam hubungan berdasarkan gender dan status sosial, yang mana salah satu pengaruh adanya pemikiran dan pernyataan ini, barangkali juga dari faktor keluarga yang mungkin menjadi salah satu faktor terbesar dalam sebuah ketidaksetaraan.
Dalam kasus laki-laki yang sudah mapan, keluarga mereka mungkin cenderung akan lebih fleksibel terhadap latar belakang pasangan terutama jika perempuan tersebut dianggap bisa mendukung laki-laki sebagai keluarga sehingga sebaliknya keluarga perempuan kerap lebih kritis terhadap laki-laki dengan status sosial lebih rendah karena khawatir akan ketidakcocokan gaya hidup atau kurangnya stabilitas finansial di masa depan. Sehingga, kondisi ini seringkali menciptakan pergolakan di dalam hubungan bagi laki-laki bahkan perempuan ketika harus memilih antara kehendak hati dan ekspektasi keluarganya.