Mohon tunggu...
Anggraini Fadillah
Anggraini Fadillah Mohon Tunggu... Mahasiswa - student at riau islamic university | content writer | host podcast

hi, i'm anggraini fadillah. thank you for agreeing to read the article here 💌🎀

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Idealisme dan Realisme Memilih Pekerjaan

31 Oktober 2024   16:20 Diperbarui: 31 Oktober 2024   16:22 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Worklife. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Idealisme memanglah penting akan tetapi realisme juga tidak kalah penting. Artinya, dua hal ini cukup penting dalam kehidupan seseorang untuk menentukan apa yang ingin dituju. Pada tulisan kali ini, saya ingin membahas mengenai pekerjaan yang menjadi sebuah tujuan seseorang dan tentunya pekerjaan itu adalah sebuah cita-cita yang ingin dicapai. Barangkali, banyak dari kita yang sedang berada pada situasi dan kondisi yang ingin mementingkan idealisme kita terhadap sebuah cita-cita terkait dengan sebuah pekerjaan.

Namun, pada situasi dan kondisi tersebut juga kamu mesti realistis terhadap pekerjaan yang lebih nyata dan jelas terpampang di depan mata daripada memilih mempertahankan idealisme yang belum tentu dapat menjamin kehidupan. Bukan berarti mempertahankan idealisme dalam menentukan pekerjaan yang diinginkan itu tidak dapat menjamin bahwa kehidupanmu tidak bahagia atau tidak tercukupi akan tetapi memang pada kenyataannya banyak dari kita yang melupakan bahwa ada situasi dan kondisi yang harus memaksa kita untuk realistis terhadap apa yang lebih menjamin masa depan kita.

Tidak ada salahnya untuk menjadi realistis dan tidak ada salahnya juga untuk menjadi idealis akan tetapi apabila kita tidak memperhitungkan dan mempertimbangkan prospek yang lebih nyata maka justru hal itu yang akan membuat kita jadi buyar dalam menentukan arah. Kenapa hal ini menjadi pembahasan yang saya tulis, pada akhirnya, karena ini cukup menjadi pelajaran kehidupan yang benar-benar membuat saya cukup belajar tentang bagaimana akhirnya saya menempatkan diri terhadap sebuah idealisme dan realisme untuk menentukan harapan, tujuan bahkan pekerjaan yang saya inginkan.

Sebelum saya berpikir untuk menjadi realistis saya adalah seseorang yang cukup idealis dulunya. Idealisme itu terbentuk dari ambisi saya terhadap sebuah pekerjaan yang akhirnya saya melupakan untuk membuat perencanaan apabila saya gagal mencapai pekerjaan tersebut. Selain, barangkali memang bukan rezeki saya untuk mendapatkan pekerjaan tersebut justru karena kegagalan tercapainya pekerjaan tersebutlah yang membuat saya lebih realistis pada akhirnya tapi tidak juga melupakan idealisme saya terhadap sebuah pekerjaan yang dari dulu saya inginkan tersebut.

Dari gagalnya saya mencapai pekerjaan tersebut, saya jauh lebih memperdalam dan mempertimbangkan sesuatu secara lebih matang termasuk perencanaan itu, jalannya tidak hanya saya buat satu, akan tetapi banyak cabang, artinya bila saya tidak di sini maka saya harus ke sini, bila saya tidak ke sini artinya saya harus ke sana, kira-kira seperti itu.

Jadi begini temen-temen, bahwa dalam memilih pekerjaan yang barangkali dari dulu temen-temen idealis sekali untuk mencapai hal itu dan merasa punya kebanggaan tersendiri ketika akhirnya tercapai maka, jangan lupakan bahwa kita tidak pernah bisa tahu masa depan seperti apa walaupun prediksi kita, diri sendiri bakal dapat mencapai tapi banyak hal yang tidak terduga ketika proses perjalanan tersebut. Jadi, jangan pernah melupakan kemungkinan-kemungkinan yang ada tersebut. 

Misalnya begini, ketika kita melihat sosial media maka ada rasa ketertarikan untuk punya pekerjaan yang sama terhadap apa yang kita lihat di sosial media, seperti akhirnya kita jadi ingin menjadi content creator, youtuber, model atau musisi, tentunya hal itu adalah pekerjaan-pekerjaan yang juga tidak kalah menjanjikannya dan akan sangat dapat mencukupi kehidupan kita agar lebih baik. Namun, teman-teman jangan lupakan bahwa ada risiko yang juga tidak kalah beratnya, ketika akhirnya kita memaksakan diri untuk terus memperjuangkan pekerjaan tersebut.

Barangkali, ternyata pada akhirnya kita tidak menemukan sesuatu yang luar biasa dari diri kita ketika memperjuangkan pekerjaan tersebut, yang mana justru malahan risiko itu semakin besar dan terpaksa kita mundur dari perjuangan untuk mendapatkan pekerjaan tersebut. Oleh karena itu, ini saran saya, lebih kepada realistis dulu, sebelum akhirnya idealis karena ini hanyalah sebuah persepsi dari saya karena dengan hal-hal yang telah terjadi dalam hidup saya, pada akhirnya pelajaran-pelajaran itulah yang membuat saya memilih untuk lebih realistis terlebih dahulu untuk pada akhirnya memperjuangkan idealisme saya termasuk dalam memilih pekerjaan.

Sehingga, saya mulai kesampingkan dulu idealisme saya untuk lebih mempertimbangkan dan memikirkan matang-matang terhadap realita yang terjadi apabila saya memilih pekerjaan yang ingin saya perjuangkan. Maka dari itu, semoga tulisan ini dapat menjadi referensi buat teman-teman dalam memilih pekerjaan dan bagaimana memprioritaskan untuk lebih memperjuangkan idealisme atau realisme karena pada akhirnya kedua hal itu memang harus dipilih, baru pada akhirnya satu lagi tercapai, ketika satunya lagi dipilih lebih dahulu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun