Tidak berani, sendiri memberikan ketakutan,
Setiap mata memandang, ada yang sinis dan ada yang tidak peduli,
Bayangan gelap seolah memenuhi ruang di kepala,
Tidak ada yang abadi. Apalagi?
***
Katanya, seperti kuburan – sepi dan dingin,
Namun, itulah yang membawamu hingga hari ini,
Akuilah, kau selalu tahu, bahkan benar-benar tahu sesuai dugaanmu,
Tidak ada yang bertanggung jawab jika kau tersesat,
***
Semuanya sama; sekali berkumpul, mereka seragam,
Hebat jika kau tetap teguh karena kau yang paling mencolok,
Namun, jika tidak? Kau akan sama saja seperti mereka,
Sewarna, tidak membara seperti yang kau jadikan panutan,
***
Sendirilah; resapi semuanya,Â
Terhubunglah, hanya jika memang diperlukan,
Hiduplah dengan nilai-nilai kemanusiaan,
Seandainya kau bisa lebih bersiap,
***
Gerombolan itu akan kau tinggalkan,
Resah, pilu, dan menyedihkan jika kau anggap bisa berbagi beban,
Seperti yang sudah-sudah, mengecewakan,
Hiduplah untuk memberi contoh bagi dirimu sendiri dengan benar,
***
Puisi ini menyampaikan bahwa kita tidak perlu takut pada kesendirian. Tidak bergantung memang terasa tidak nyaman, tetapi apakah selalu bergantung akan selalu menyenangkan? Kesendirian itulah yang membuat kita lebih mengenal diri sendiri. Ketika kita terus mencoba menggantungkan hidup pada orang lain, kita akan menjadi seperti mereka karena pengaruh dan arus yang mereka bawa akan memengaruhi kita.
Kadang terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa lingkungan pertemanan tidak membawa dampak pada keyakinan yang kita pegang. Untuk hidup yang hanya satu kali ini, lebih baik pilah dan pilihlah orang-orang yang pantas menjadi teman. Kita harus sadar bahwa pertemanan yang berkualitas tumbuh seiring waktu– hari ke hari, bulan ke bulan, dan tahun ke tahun. Itulah yang akan membentuk pola pikir, tingkah laku, dan tindakan kita sehari-hari.
Jika kita tidak memfilter siapa saja yang masuk ke dalam kehidupan pribadi kita, kita akan kehilangan kemampuan untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Kadang, hal yang salah dianggap benar karena sudah menjadi kebiasaan. Jika teman-teman kita melakukan hal tersebut, kita pun cenderung mengikutinya. Kita seolah menutup mata terhadap kebenaran yang dulu kita yakini, hanya karena terpengaruh oleh lingkungan pertemanan yang kurang tepat.
Yang lebih miris adalah ketika kita sudah tersesat jauh dari diri kita yang sesungguhnya. Mereka tidak akan bertanggung jawab atas seberapa jauh mereka membawa kita hingga kita kehilangan jati diri. Sebelum semuanya benar-benar terlambat, tolonglah diri sendiri dengan memilih lingkungan pertemanan yang sadar, baik, dan berkualitas. Mengapa harus segera bertindak? Karena ketika kesadaran itu datang terlambat, yang tersisa hanyalah penyesalan. Mereka yang menyadarinya terlambat hanya bisa meratapi nasib, menyesali mengapa dulu mereka begitu mudah terbawa arus pertemanan yang buruk.
Menyesal selalu datang di akhir, ketika sudah sangat terlambat. Karena itu, pandai-pandailah memilih teman yang sadar akan pengaruh mereka, yang membawa dampak positif, yang tidak menjauhkan kita dari Tuhan, dari orang tua, atau dari hal-hal baik lainnya. Jangan biarkan hal-hal buruk menjadi bagian dari pola hidup kita hanya karena hal itu menjadi kebiasaan. Sehingga, hal yang tidak benar tidak terasa seolah valid karena terlalu sering dilakukan tanpa berpikir panjang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H