Mohon tunggu...
Anggraini Fadillah
Anggraini Fadillah Mohon Tunggu... Mahasiswa - student at riau islamic university | content writer | host podcast

hi, i'm anggraini fadillah. thank you for agreeing to read the article here 💌🎀

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Saat Maaf Tak Diiringi Perbaikan: Fenomena Kata Tanpa Makna

22 Oktober 2024   18:28 Diperbarui: 22 Oktober 2024   18:29 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Fenomena penggunaan kata maaf yang hanya dijadikan formalitas tanpa adanya perubahan sikap, dapat menunjukkan bahwa hal itu menjadi sebuah pemahaman yang banyak orang mungkin tidak benar-benar memahami esensi dari permintaan maaf yang tulus. Kata maaf, sejatinya bukan hanya soal mengucapkan kata-kata, akan tetapi juga bagian dari komitmen yang dilakukan dengan penuh kesadaran untuk memperbaiki kesalahan dan dapat menunjukkan perubahan yang nyata untuk diperbaiki. 

Bahkan, ketika kata maaf diucapkan berulang kali pun, tanpa disertai perubahan perilaku, itu menjadi hal yang menunjukkan adanya sikap yang kurang bertanggung jawab atas kesadaran bahwa dampak dari kesalahan yang dilakukan itu dapat melukai orang lain. Sehingga, ini seringkali terjadi karena kebanyakan orang menggunakan kata maaf sebagai cara untuk meredakan konflik sementara, tanpa adanya tindakan yang serius untuk memperbaiki situasi. 

Kadang kala, permintaan maaf yang tulus memang harus melibatkan pengakuan kesalahan, empati terhadap pihak yang dirugikan serta upaya untuk melakukan perubahan sehingga tanpa hal-hal tersebut, kata maaf hanya sebuah formalitas yang tidak ada maknanya dan sebagai kata-kata yang kosong saja, tidak bermakna. Sehingga, di sisi lain sebagai seseorang yang dilukai, barangkali, jika mereka menerima kata maaf itu tanpa perubahan dari orang yang melakukan kesalahan itu akan sangat merugikan pihak yang terluka karena kesalahan yang dilakukan itu juga terus berulang kali tanpa ada penyelesaiannya nyata.

Itulah mengapa, ada orang-orang yang melakukan permintaan maaf namun dilakukan dengan cara yang tidak tulus, terutama karena ia merasa bahwa permintaan maaf dari tindakan yang dilakukannya itu tidak dipahami sepenuhnya secara baik dari kesalahan yang mereka lakukan terhadap orang-orang yang mereka sakiti sehingga ketika seseorang melakukan kesalahan yang lebih dari sekali dan dengan kesalahan yang sama, tentu menjadi hak setiap orang untuk merasa perlu memutuskan hubungan, yang mana ini menunjukkan bahwa perubahan sikap dari perlakuan sebelumnya tidak ada perubahan dan yang tentu menjadi sebuah harapan yang sejak awal seharusnya dilakukan. 

Lalu, kadang kala, mereka yang melakukan kesalahan ini juga mengaitkan kebaikan-kebaikan yang mereka lakukan di masa lalu sebagai penebusan agar kesalahan mereka itu bisa dimaafkan sehingga dengan cara memanipulasi kebaikan-kebaikan mereka terhadap seseorang yang terluka yakni sangat menunjukkan bahwa kurangnya tanggung jawab atas tindakan mereka dan ini sangat sering terjadi sehingga ini menjadi tanda bahwa permintaan maaf itu lebih berfokus pada memperbaiki citra diri mereka, dan itu benar-benar banyak terjadi sehingga dari pada mereka berusaha untuk benar-benar memperbaiki relasi atau mengakui bahwa rasa sakit yang telah ditimbulkan dari perlakuan mereka itu adalah benar kesalahan mereka yang mana justru mereka lebih menerima konsekuensi dari pemutusan relasi daripada memahami esensi kesadaran untuk berubah akibat kesalahan yang dilakukan.

Jadi, sangat wajar bila ketika sikap kita tegas untuk memutuskan hubungan dengan cara yang benar-benar menetapkan batasan dan melindungi diri sendiri dari hubungan yang tidak sehat sehingga ketika orang tersebut hanya menunjukkan kesadaran akan kesalahannya setelah diputuskan maka cara cut off itu menjadi refleksi bagaimana mereka lebih peduli bahwa lebih baik kehilangan relasi daripada memperbaiki perlakuan mereka yang menyebabkan dampak emosional yang buruk terhadap orang yang mereka sakiti. 

Itulah kenapa, ketika melakukan kesalahan, permintaan maaf yang tulus itu haruslah bukan hanya sekedar bentuk dari pengakuan verbal akan tetapi juga menunjukkan bahwa ada penyesalan yang nyata dan berusaha untuk merubah sikap dan perilaku untuk memperbaiki akibat perlakuan dan kesalahan yang dilakukan sehingga permintaan maaf itu menjadi upaya untuk mendapatkan pengampunan yang harus muncul dari diri orang tersebut sehingga mereka sadar bahwa itulah cara yang tepat agar komitmen sebagai relasi itu tetap bisa dipertahankan.

Memang, seringkali perilaku negatif yang timbul dari seseorang terhadap orang lain itu dapat terjadi karena cerminan luka batin, trauma ataupun masalah pribadi yang belum terselesaikan sehingga mereka mungkin tidak menyadari bahwa tindakan mereka itu dapat melukai orang lain karena mereka masih terjebak pada luka diri mereka sendiri sehingga dari beberapa kejadian kadang kita merasa kasihan karena memahami bahwa perilaku yang buruk itu mungkin juga berasal dari rasa sakit yang mendalam akan tetapi daripada kasihan terhadap mereka tentu menjadi bentuk kita juga membiarkan diri sendiri terus-terusan dilukai sehingga jauh lebih penting untuk kita tidak mengorbankan diri sendiri demi memaklumi atau mentoleransi perlakuan buruk orang lain terhadap diri kita. 

Mengasihi mereka bukan berarti membiarkan diri kita terus-terus berada dalam posisi yang terluka atau dirugikan sehingga di sini perlu kita membatasi sampai mana kita bisa mentoleransi kesalahan yang mereka lakukan sehingga ada batas di mana kesabaran dan pengertian kita terhadap orang lain itu dihentikan demi menjaga kesehatan mental dan emosional diri kita sendiri. Itulah mengapa apabila memaklumi perilaku buruk itu terjadi secara terus-menerus, tentu pada akhirnya akan membuat diri kita juga terjebak dalam siklus yang menyakitkan. Akhirnya, kita terus terluka akan tetapi tidak mendapatkan perubahan sikap yang layak dari permintaan maaf yang mereka lakukan.

Benar, kita merasa empati dengan luka mereka akan tetapi kita juga harus tahu kapan menarik diri dan menjaga diri kita dari dampak negatif yang ditimbulkan sehingga pada akhirnya satu-satunya hal yang paling penting adalah kita jangan sampai kehilangan diri sendiri yakni tindakan kita adalah memilih untuk menjaga diri sendiri sebagai bentuk penghormatan terhadap diri kita sendiri walaupun kita bisa tetap peduli terhadap orang lain akan tetapi jangan pernah mengorbankan kesejahteraan kita untuk terus-terusan mentoleransi kesalahan-kesalahan yang berulang sehingga bila mereka tidak berubah dan memperbaiki perilakunya maka pemutusan hubungan atau relasi bahkan menciptakan jarak yang sejauh-jauhnya adalah cara yang bijaksana untuk melindungi diri sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun