Mohon tunggu...
Anggraini Fadillah
Anggraini Fadillah Mohon Tunggu... Mahasiswa - student at riau islamic university | content writer | host podcast

hi, i'm anggraini fadillah. thank you for agreeing to read the article here 💌🎀

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pentingnya Menyembuhkan Inner Child Dalam Membentuk Kedewasaan Emosional

21 Oktober 2024   20:28 Diperbarui: 21 Oktober 2024   21:16 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Salah satu faktor ketika beranjak dewasa bila seseorang mengalami inner child yang belum pulih mereka akan cenderung tidak memiliki kedewasaan walaupun usia mereka semakin hari semakin bertambah sehingga usia tua ataupun muda bukan satu-satunya standar bahwa ukuran kedewasaan seseorang itu dilihat dari sudut pandang itu. Inner child yang belum pulih bahkan memiliki pola yang berulang kali hingga luka-luka yang ada dalam diri seseorang itu menjadi hambatan terhadap kematangan emosionalnya.

Sehingga, inner child yang belum pulih akan menjadi sebuah beban emosi yang tidak terselesaikan dari masa kecil seseorang, contohnya ketika seseorang merasa tidak diperhatikan, diabaikan bahkan mengalami kekerasan emosional sehingga ini berdampak pada bagaimana seseorang menghadapi sebuah masalah dan tantangan di masa ia beranjak dewasa sehingga seseorang yang belum pulih dari luka atau trauma masa kecilnya cenderung akan menghindari tanggung jawab, mencari validasi dari orang lain secara berlebihan bahkan mengalami kesulitan dalam membangun kepercayaan. 

Tentunya untuk mencapai kedewasaan bahkan kematangan emosional, seseorang itu perlu melakukan penyembuhan terhadap luka-luka di masa kecilnya sehingga proses ini memerlukan refleksi dan evaluasi diri yang dilakukan secara sadar serta melakukan usaha untuk bisa menyadari bahwa tanggung jawab itu adalah sebuah hal yang penting untuk ia bisa bertumbuh dan berkembang sehingga dari hal tersebut ia akan bisa mengetahui bahkan mampu memahami dirinya sendiri sehingga kejadian-kejadian yang membuat ia terluka di masa kecilnya, perlahan-lahan akan membuat dirinya dapat mengelola emosinya secara bijak.

Di beberapa kondisi saya mengamati bahwa pola perilaku dari seseorang yang mengalami inner child yang terluka itu karena konsep pola perilaku dan pola asuh orang tua yang diturunkan melalui pengalaman masa kecil seseorang tersebut. Sehingga, itulah yang menyebabkan kenapa seseorang itu bisa terluka dan mengalami trauma. Lingkungan keluarga yang tidak ideal, yang mana di dalamnya itu sering terjadi konflik di sana-sini menyebabkan seorang anak yang tumbuh dari lingkungan tersebut tidak punya contoh dan panutan, bagaimana cara menyelesaikan masalah dengan baik dan benar.

Sehingga, misal ketika cara orang tuanya menyelesaikan masalah adalah dengan melakukan kekerasan, hal ini akan membentuk pandangan oleh anak tersebut yang menganggap bahwa metode tersebut adalah cara yang normal bahkan satu-satunya jalan keluar atau solusi dalam menyelesaikan masalah. Sehingga, sebenarnya ini sering terjadi oleh seorang anak yang akhirnya membawa trauma dan terluka inner child nya karena mereka belajar dari apa yang mereka lihat dan alami sehingga pola tersebut menjadi sebuah hal yang mereka tanam di alam bawah sadar mereka karena orang tua menunjukkan bahwa beginilah cara menyelesaikan masalah.

Sehingga, seiring berjalannya waktu tanpa mereka sadari pola-pola seperti ini akhirnya mereka bawa hingga dewasa sehingga apabila trauma dan luka inner child ini tidak disembuhkan, mereka tentu akan cenderung mengulang pola perilaku yang sama dari cara orang tua mereka dalam menyelesaikan masalah karena mereka sudah terbiasa melihat orang tua menyelesaikan masalah yakni dengan kekerasan sehingga metode atau pola tersebut adalah cara yang valid untuk dilakukan, sehingga ketika ada masalah atau konflik di masa mereka sudah dewasa, dampak dari inner child yang belum pulih itu akan terus berulang dan berkembang menjadi pola destruktif yang mereka anggap wajar dan biasa.

Padahal, itu adalah cara penyelesaian yang salah tapi karena dari lingkungan keluarga mereka bahkan orang tuanya secara tidak langsung mengajarkan cara menyelesaikan masalah denganseperti itu, maka ketika dewasa tidak menutup kemungkinan mereka akan melakukan hal yang sama dan itu akan dianggap wajar dan valid. Lalu apakah pola-pola seperti ini bisa diubah? Tentu sangat bisa, akan tetapi hanya jika seseorang tersebut sadar bahwa apa yang mereka anggap normal dan wajar itu adalah pola yang tidak sehat.

Sehingga dari diri mereka perlu adanya kesadaran bahwa langkah pertama dalam proses penyembuhan itu adalah usaha untuk memahami dan memutus siklus pola berulang seperti itu yakni bisa dilakukan dengan cara melakukan terapi atau melakukan penanganan dengan pendidikan emosional yang lebih baik sehingga dengan cara seperti itu, orang tersebut bisa belajar cara-cara baru yang lebih sehat dalam menyelesaikan konflik seperti belajar untuk berkomunikasi secara terbuka, menumbuhkan empati bahkan bisa mengendalikan emosi.

Sehingga, seseorang yang terluka bahkan ketika dewasa ia merasa kebingungan terhadap perasaan mereka sendiri, tentu satu-satunya cara adalah mereka harus sadar bahwa pola yang mereka lakukan adalah sebuah hal yang tidak sehat sehingga siklus pengulangan pola-pola negatif ini menjadi kamuflase dari masa lalunya ketika ia kecil sehingga harus ada usaha dan kesadaran untuk membebaskan diri mereka dari siklus yang diulang seperti ini dengan membentuk cara-cara yang lebih sehat dalam menghadapi masalah

Itulah kenapa orang-orang yang tumbuh dalam lingkungan yang tidak sehat seringkali membawa luka emosional yang dalam ke masa dewasa sehingga itu akan menjadikan mereka seseorang yang problematik, sehingga penting untuk dipahami bahwa meskipun perilaku yang mereka lakukan itu berdampak untuk melukai orang lain, sebenarnya itu tidak selalu sepenuhnya salah mereka. Orang-orang tersebut adalah produk dari pola asuh dan pengalaman yang membentuk cara pandang dan cara mereka menghadapi masalah dengan cara yang tidak sehat sehingga pola deskruptif yang mereka pelajari sejak kecil itu adalah kebiasaan yang sulit untuk dipatahkan, bila tidak ada kesadaran dan upaya untuk berubah. 

Saya cukup simpati dengan hal seperti ini terutama pada orang-orang yang mengalami inner child yang terluka sehingga akhirnya orang-orang di sekitar mereka yang paham dan sadar bahwa mereka adalah bentuk dari korban lingkungan trauma dan pola perilaku yang tidak sehat yang terus berulang, itu cukup membuat saya menaruh simpati dan prihatin, akan tetapi tetap pada akhirnya perubahan itu hanya bisa terjadi jika mereka sendiri yang menyadari bahwa cara mereka selama ini menyelesaikan masalah itu adalah hal yang salah sehingga kesadaran diri itu menjadi sebuah kunci karena menjadi sangat percuma bila orang lain berusaha menuntut perubahan dari seseorang yang mengalami hal tersebut yang justru akan jadi membuat mereka defensif bahkan merasa semakin terpojok.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun