Barangkali, bukan saya saja yang merasa bahwa akhir-akhir ini banyak laki-laki tidak mencontohkan dan mencerminkan dirinya layak dan patut menjadi seorang laki-laki yang bisa memimpin sebuah hubungan. Pembahasan kali ini lebih spesifik saya bahas terkait dengan, kenapa laki-laki saat ini banyak yang mengalami krisis kepemimpinan yang berujung pada justru beberapa laki-laki ini, kebanyakan dari mereka bersikap dan bertindak lebih ingin diarahkan dan dibimbing daripada mereka yang seharusnya mengarahkan dan membimbing pasangannya dalam sebuah hubungan.Â
Bila kita telusuri lebih dalam dan lebih jauh terkait hal ini, beberapa faktornya itu timbul dari laki-laki kebanyakan adalah karena mereka kehilangan figur dan peran seorang ayah sehingga ia tidak punya contoh bagaimana menjadi seorang laki-laki yang bisa memimpin. Itu kenapa pola asuh itu benar-benar akan menjadi turunan ke generasi berikutnya, apabila memang dari cara bersikap dan bertindak itu adalah contoh yang tidak baik ataupun tidak ada contohnya. Sehingga, salah satu faktor yang menyebabkan akhirnya banyak laki-laki tidak bisa memimpin sebuah hubungan adalah ia tidak bisa berperan sebagai selayaknya seorang laki-laki yang bisa memimpin karena ia tidak pernah ada yang mengajarkan bagaimana hal itu dilakukan.
Itulah kenapa pentingnya figur dan peran seorang ayah bagi anak-anaknya, baik perempuan ataupun laki-laki karena jelas berbeda antara ibu dan ayah dalam memberikan pengajaran kepada anak-anak soal bagaimana ia menjalani kehidupannya. Nah, ketika seorang anak tidak mendapatkan dan melihat secara langsung bagaimana seseorang yang paling dekat dengan dirinya yakni ibu dan ayahnya menjalani peran hubungan yang harmonis maka ketika peran itu tidak dijalankan dengan baik, tentu akan memunculkan hal-hal yang tanpa sadar sudah masuk ke dalam kategori toxic, setelah melewati fase bagaimana akhirnya anak beranjak dewasa dan akhirnya memiliki hubungan dengan lawan jenis mereka tidak bisa bersikap sebagai seorang pemimpin karena memang tidak ada yang mengajarkan hal itu.
Ini sebenarnya hal-hal klise yang cukup saya lihat bahwa, kenapa saat ini banyak sekali laki-laki tidak berhasil menjadi seorang pemimpin dalam hubungan dengan pasangannya. Pertanyaan pertama saya dalam kepala adalah barangkali memang ia tidak mendapatkan figur dan peran seorang ayah yang bisa ia lihat sebagai seorang pemimpin sehingga ketika ia berada dalam sebuah hubungan tanpa sadar sebenarnya ia melakukan hal-hal yang akhirnya membuat hubungan itu tidak berjalan atau bahkan tindakan-tindakan yang dilakukannya yaitu tanpa sadar akhirnya menyakiti hati pasangannya. Namun, walaupun demikian bahwa benar adanya figur dan peran seorang ayah itu penting terhadap anak laki-laki namun itu bukan satu-satunya faktor kenapa laki-laki tidak bisa memimpin karena ada banyak juga laki-laki yang bisa memimpin hubungannya dengan baik dan benar tanpa sekalipun ada figur dan peran seorang ayah dalam kehidupannya.
Selain itu juga bahwa laki-laki tidak bisa memimpin itu juga karena ia mengalami krisis maskulinitas yang mana hal itu membuat dirinya bingung terhadap perubahan, tuntutan dan kesetaraan gender serta ekspektasi seperti apa yang membuat laki-laki tersebut yakin bahwa ia bisa memimpin sebuah hubungan dengan baik dan benar agar ketika menjadi seorang pemimpin ia lebih demokratis dan tidak dominan yang berlebihan suapya tidak berujung pada sikap dan tindakannya yang tidak menghargai pasangannya. Itulah kenapa ketika sudah akan membangun sebuah komitmen, laki-laki itu sudah bisa dewasa dengan bisa meregulasi emosinya sehingga ketika ada permasalahan-permasalahan yang timbul dalam sebuah hubungan ia bisa mengelola tanggung jawabnya sebagai seorang laki-laki untuk menyelesaikan permasalahan yang ada dengan segala tuntutan yang membuat satu sama lain menjadi lebih baik.
Faktor lainnya yang menyebabkan laki-laki tidak bisa berhasil memimpin sebuah hubungan adalah karena barangkali di hubungan sebelumnya ia mendapati trauma kegagalan dalam hubungan sehingga ketika berhadapan dengan hubungan yang baru ia merasa akan timbul hal-hal yang sama contohnya seperti pengkhianatan, yang akhirnya membuat laki-laki tidak percaya diri akan hubungannya yang baru. Yang mana seharusnya, baik laki-laki ataupun perempuan, ketika sudah dalam hubungan seharusnya memang sudah belajar untuk melakukan komunikasi yang efektif yakni yang terbuka dan sehat karena tidak akan mungkin hubungan itu akan berada di kondisi yang konsisten dan tenang serta nyaman bila salah satu dari pasangan tidak jujur dan terbuka sehingga lambat laun hubungan itu akan berujung pada hubungan yang toxic dan tidak bisa dipertahankan.
Sehingga, akhirnya banyak yang saya lihat juga ketika dalam hubungan itu laki-laki yang menjadi pasangannya belum bisa memimpin dengan baik justru banyak perempuan yang akhirnya memberikan treatment yang lebih kepada pengasuhan untuk mengajarkan dan membimbing laki-lakinya menjadi seorang pemimpin. Padahal, walaupun niat itu baik untuk mengajarkan dan mencontohkan laki-laki yang menjadi pasangannya menjadi seorang pemimpin.
Tentu yang namanya perempuan itu tetaplah dipimpin bukan memimpin sehingga banyak perempuan yang akhirnya mendominasi dalam hubungan karena sebenarnya pasangannya itu bisa menjadi seorang pemimpin dengan caranya sendiri karena pada akhirnya ketika ekspektasi perempuan itu terlalu tinggi terhadap laki-lakinya yang mana sudah diajarkan menjadi seorang pemimpin dalam hubungan tapi laki-lakinya tidak mau menjadi seperti yang diajarkan perempuannya itu akan berakhir pada kekecewaan terhadap perempuan itu sendiri.
Itu kenapa dalam hubungan tetap pada akhirnya laki-lakilah yang memimpin, terlepas dari kemungkinan bahwa perempuan itu sudah seringkali memimpin banyak hal dalam kesehariannya namun tetap dalam hubungan dengan pasangannya, perempuan harus tetap berada di posisi dipimpin bukan memimpin sehingga yang memegang kendali penuh atas bagaimana tujuan dalam hubungan itu arahnya akan seperti apa yakni tentu berasal dari laki-laki bukan perempuan sehingga itu kenapa perubahan besar dalam diri seorang laki-laki ketika dalam sebuah hubungan yang perlu digarisbawahi adalah bahwa ia harus selesai sama dirinya sendiri sehingga ketika sudah masuk dalam hubungan ia telah banyak belajar untuk beradaptasi dan menerima pasangannya yang barangkali karakternya akan jauh berbeda dengan dirinya.
Oleh karena itu, baik laki-laki ataupun perempuan ketika berada dalam hubungan yakni ada kemauan untuk saling belajar dan mempelajari pasangan sendiri bahwa itu harus disesuaikan dengan tanggung jawab dan kodrat masing-masing karena tidak bisa hal terkait posisi yang seharusnya begini namun tetap dipaksakan untuk begitu sehingga pada akhirnya, itulah yang di ujung akan banyak terjadinya penyesalan sehingga ketika di awal-awal membangun komitmen bila memang ada hal-hal yang seharusnya dibahas maka satu sama lain harus terbuka dan jujur mengenai tujuan yang dari awal ingin dibangun bersama-sama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H