Mohon tunggu...
Anggraini Fadillah
Anggraini Fadillah Mohon Tunggu... Mahasiswa - student at riau islamic university | content writer | host podcast

hi, i am anggraini fadillah. thank you for agreeing to read the article here ✨

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Krisis Kemampuan Berpikir Kritis: Stop Menormalisasi Perjokian

7 Agustus 2024   17:32 Diperbarui: 7 Agustus 2024   17:58 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Ini akan menjadi sebuah pembahasan yang sensitif dan cukup penting karena memang kita telah memasuki fase kehidupan yang dimana kebanyakan orang sudah mulai terbiasa dengan "bantuan" yang menurut saya sudah masuk ke dalam kategori yang tidak seharusnya dilakukan. Sebenarnya ini adalah kondisi dan situasi yang miris dan menyedihkan karena bahkan ini sudah menjadi sebuah hal yang dinormalisasikan dan biasa saja di masyarakat kita karena bahkan banyak orang-orang ataupun sebuah perusahaan yang membangun bisnis melalui perjokian ini terutama di dalam dunia pendidikan.

Sebenarnya ini hak masing-masing orang untuk tidak keberatan mengeluarkan berapapun uang untuk membayar jasa perjokian ini, akan tetapi dampak dari terbiasa menggunakan jasa perjokian ini adalah menjadikan diri kita terbiasa menipu dan membohongi orang lain terkait dengan hasil kerja kita, yang sebenarnya bukan hasil kerja kita "yang sebenar-benarnya" akan tetapi hasil kerja dari seorang penjoki itu sendiri. Yang lebih menyedihkannya lagi bahwa dari pemerintah sendiri pun belum ada kebijakan yang seharusnya melarang hal ini terjadi karena perjokian ini sudah secara terang-terangan berseliweran bahkan di berbagai sosial media dengan secara gencar mempromosikan service jokinya dengan range yang bervariasi tergantung dari tingkat dan level tugas seperti apa yang akan dikerjakan.

Berdasarkan, yang saya lihat dan dengar, saya cukup kaget, speechless dan tidak menyangka bahwa orang-orang yang terang-terangan melakukan perjokian, terutama orang-orang yang menggunakan jasa joki itu, merasa bahwa hal itu benar dan normal serta sah-sah saja yang padahal itulah yang menjadi bentuk dari permulaan untuk diri sendiri terdorong untuk tidak mau ribet, tidak mau belajar dan tidak mau berpikir untuk menyelesaikan tanggung jawab diri sendiri sehingga dengan adanya perjokian membuat dirinya terbiasa menumpulkan pola pikirnya untuk tidak mau sekeras-kerasnya berusaha menyelesaikan tanggungjawab tersebut. Jadi, siapakah yang lebih bersalah atas sistem perjokian ini, yang memberikan jasa joki atau yang menggunakan jasa joki?

Orang-orang yang memberikan jasa joki melihat Ini adalah sebuah peluang dan kesempatan untuk mendapatkan uang namun yakinlah bahwa hal itu adalah sesuatu yang seharusnya tidak menjadi target pasar untuk mendapatkan uang karena walaupun secara hukum dan kebijakan ini belum diatur namun ini termasuk hal yang ilegal dan salah. Apalagi orang-orang yang menggunakan jasa joki itu sendiri, jelas bahwa ia bersalah atas tindakannya untuk menggunakan jasa joki untuk menyelesaikan tugas atau lembar kerja yang diberikan dosen atau mentornya, yang seharusnya dia kerjakan sendiri bukan menggunakan jasa joki sehingga yang seharusnya mendapatkan nilai apabila ia menggunakan joki adalah si penjoki bukan dirinya, itulah kenapa hal ini termasuk tindakan penipuan dan membohongi orang lain demi untuk mendapatkan gelar sehingga mencoreng banyak teman-teman mahasiswa yang menggunakan pola pikirnya untuk mendapatkan ilmu pengetahuan sebagai tanggungjawab mencapai gelar di perkuliahan.

Itu juga yang pada akhirnya menjadi kekhawatiran untuk generasi ke depan di Indonesia sendiri yang menginginkan bahwa untuk menuju 2045 sebagai Indonesia emas, apakah akan menjadi sebuah hal yang mustahil karena pendidikan kita makin hari terasa makin bobrok dan seolah-olah sebuah gelar dan kelulusan itu bisa saja dicapai dengan hasil perjokian bukan hasil dari pola pikir mahasiswa itu sendiri. Itulah pada akhirnya kenapa banyak orang-orang yang berkuliah mereka hanya menyandang gelar di belakang nama akan tetapi ketika memasuki dunia kerja mereka tidak punya sedikitpun kompetensi dari ilmu yang mereka pelajari di perkuliahan. Akhirnya, ini jadi pandangan yang buruk oleh masyarakat luas karena akhirnya stigma itu muncul bahwa perkataan "buat apa pendidikan tinggi tapi ketika memasuki dunia kerja tidak bisa apa-apa?"

Ini adalah perkataan yang sedikit memilukan dan menyedihkan karena pada faktanya seolah-olah pendidikan menjadi hal yang bisa direndahkan ketika seseorang memilih untuk memperluas ilmu pengetahuan dengan belajar di perguruan tinggi sehingga ini menjadi kesalahan yang pada faktanya menjadi generalisasi untuk semua orang-orang yang menjadi sarjana akibat dari sebagian orang yang tidak punya kompetensi, kapasitas dan kapabilitas ketika berada di masyarakat ataupun ketika memasuki dunia pekerjaan.

Itulah kenapa sistem perjokian Ini adalah sebuah kesalahan karena dalam kurun waktu dan jangka waktu ke depan ini akan menciptakan orang-orang yang tidak punya kompetensi dan alhasil pendidikan tinggi akan dikatakan sebagai "buang-buang waktu dan buang-buang uang". Padahal banyak sekali orang-orang yang akhirnya punya kompetensi, kapasitas dan kapabilitas yang semakin bertambah ketika ia belajar sungguh-sungguh dan bertanggung jawab dengan pendidikannya di perguruan tinggi.

Menurut saya ini, akan menjadi hal yang penting dan serius untuk dipandang sebagai  sebuah problem karena bukan soal satu atau dua pihak yang merasa diuntungkan dalam sistem perjokian ini akan tetapi dampak besar ke depan untuk generasi dan pendidikan di Indonesia yang sedangkan hari ini saja sudah banyak masalah-masalah di dunia pendidikan ditambah lagi dengan timbulnya masalah-masalah baru itu jangan sampai akan menjadi hal yang normal dan sah-sah saja padahal itu sudah termasuk tindakan yang salah.

Oleh karena itu penting sekali adanya kebijakan dan dasar hukum untuk mengatur hal ini untuk secara tegas untuk dilarang karena jangan sampai generasi ke depan adalah orang-orang yang tidak punya kapasitas, kapabilitas serta kompetensi untuk menjadi pemimpin yang tidak bisa meyakinkan masyarakatnya bahwa pemimpinnya layak dan pantas untuk dipatuhi dan diteladani aturan dan kebijakannya karena memiliki ilmu pengetahuan melainkan menjadi pemimpin yang kerap kali melemparkan kesalahannya kepada masyarakat tim merasa bahwa masyarakat adalah orang-orang yang bisa mereka bodoh-bodohi karena terlalu kritis menyuarakan argumentasi terkait cara ia memimpin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun