Mohon tunggu...
anggraeni priyanka
anggraeni priyanka Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa HI 2018

Just do whatever you want

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Memahami Terorisme dalam Konteks Global: Analisis Akar-akar Penyebab Serangan 9/11 di AS

29 Desember 2020   13:05 Diperbarui: 31 Desember 2020   14:25 351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tragedi 19 tahun silam: Serangan WTC 9/11 di Amerika Serikat (21 September 2001)

Setiap kali mendiskusikan terorisme harus dimulai dengan definisi terorisme. Dikarenakan terorisme adalah sebuah fenomena yang sangat kompleks maka dalam penentuan definisi terorisme yang pasti selalu ada perdebatan didalamnya akibat dari banyaknya perbedaan dalam memandang terorisme oleh karena itu hingga saat ini belum ada definisi terorisme yang pasti. Namun dapat disepakati bersama bahwa terorisme merupakan fenomena yang kompleks yang menggambarkan jenis kekerasan, ancaman, pembunuhan yang kejam dan tidak sesuai dengan norma-norma kemanusian yang akhirnya menciptakan rasa takut atau trauma terhadap korban (Ghosh, 2014) yang kemudian metode ini digunakan sebagai strategi dalam mencapai tujuan politik yang ditujukan kepada negara dan dilakukan oleh actor non-negara. Terorisme yang selalu menyerang psikologis publik atau menggunakan publik sebagai strategi publisitas karena publisitas merupakan strategi terpenting dalam terorisme yang akan digunakan untuk menarik perhatian publik (dengan menyebarkan trauma atau rasa takut) dan menarik perhatian pemerintahan/negara beserta media informasi “Pemberitaan di TV, Koran dan Internet” yang akan menulis dan menyebarkan cerita serangan terorisme dengan detail keseluruh dunia, maka dalam hal ini dapat mempermudah para actor terorisme untuk merealisasikan tujuan politik jangka pendek, menengah atau jangka panjang. Dengan demikian perang melawan terorisme tidak hanya menjadi perhatian primordial bagi semua bangsa tetapi juga menjadi kajian keamanan global (Ghosh, 2014). Keamanan Global menurut dictionary Cambridge adalah perlindungan dunia dari perang dan ancaman lainnya. Keamanan Global merupakan perlindungan dunia dari perang dan ancaman lain yang melibatkan tindakan militer dan diplomasi, dilakukan oleh bangsa dan organisasi internasional seperti NATO dan PBB untuk memastikan keselamatan dan keamanan bersama ditingkat global.

Memahami terorisme didalam konteks global diharuskan mengetahui terlebih dahulu bahwa terorisme dibagi empat gelombang (Ghosh, 2014). Gelombang pertama yang dimulai pada akhir abad ke-19 yang ditandai dengan anarkisme sebagai motif dan pembunuhan sebagai metode (Ghosh, 2014), seperti kemunculan kelompok Anarkis di Rusia pada tahun 1880 dan terjadinya pembunuhan Sarajevo di Austria pada tahun 1914 yang memjadi pemicu pecahnya Perang Dunia I. Gelombang kedua disebut sebagai Etho-Nationalist Terrorism (Ghosh, 2014). Gelombang kedua yang terjadi sekitar tahun 1890an ini ditandai dengan kemunculan kelompok Nasionalis di Slandia Utara sebagai kelompok pejuang penentuan nasib sendiri (Nasional) dan ditandai dengan meningkatnya reaksi terhadap dekolonialisasi setelah PD I dan PD II. Gelombang ketiga yang terjadi sekitar tahun 1960an, disebut sebagai Millitant Terrorism ditandai dengan adanya kelompok sosialis di jerman. Gelombang ke-empat yang terjadi sekitar 1970an, disebut sebagai Religious-Fundamentalist Terrorism ditandai dengan keterlibatan agama dalam aksinya yang tumbuh secara signifikan pasca perang dingin (Ghosh, 2014). Pada 1979 terjadi revolusi Iran, pada 1980an terorisme global sebagian besar terkait dengan invasi Israel ke Lebanon dan terdapat dukungan Amerika Serikat hingga terjadi perang saudara di Lebanon. Pada awal abad ke 21 tepatnya ditahun 2001, terjadi serangan serentak seperti pembajakan maskapai dan serangan bunuh diri termasuk sebagai serangan terencena di Amerika Serikat yang juga melibatkan sekelompok Agama yaitu Al-Qaeda yang dipimpin oleh Osama Bin Laden.

Pada tanggal 11 September 2001 menjadi sejarah yang cukup mengejutkan sekaligus sebuah penderitaan yang tidak hanya dialami oleh Amerika Serikat tetapi juga seluruh dunia. Serangan serentak yang di lakukan pada tanggal 11 september 2001 telah mengubah sebagian besar tatanan hidup di Amerika Serikat khusunya (Hoffman, 2002), bagaimana tidak? Besarnya skala serangan bunuh diri, operasi dengan ruang lingkup yang dimensinya cukup ambisius, koordinasi dan sinkronisasi yang cukup mengesankan, dedikasi dan tekad yang cukup tangguh dengan membajak awak pesawat yang secara sukarela membunuh diri mereka sendiri, penumpang dan pilot. Disaat bersamaan terjadi serangan teroris di jatung distrik kota New York, menara kembar World Trade Center (WTC sebagai Simbol Perdagangan Dunia) dan Wahington Pentagon (Hoffman, 2002), tentu saja dalam aksi ini telah menewaskan banyak korban dan berakhir menciptakan rasa trauma atau ketakutan yang luar biasa bagi warga seluruh dunia terlebih lagi warga Amerika Serikat. Trauma merupakan sebuah dampak yang terjadi pada saksi mata dari suatu peristiwa. Menurut studi psikologis orang yang menjadi saksi mata akan memiliki kemungkinan besar mendapatkan efek traumatis dibandingkan dengan orang yang hanya mendegar cerita (Kriger, 2013)-menjadi alasan untuk melakukan serangan didepan publik. Terkait dengan peristiwa 9/11 yang menghancurkan distrik kota New York, dua menara kembar WTC dan Simbol pertahanan Amerika Serikat Pentagon yang memakan banyak korban jiwa serta terdapat banyak saksi mata yang melihat betapa kuat dari serangan aksi terror pada saat itu, tentu saja ini menciptakan traumatis bagi publik dan mereka akan berfikir bahwa serangan seperti itu akan terjadi lagi kedepannya. Dari peristiwa yang terjadi 11 September 2001 telah dapat dipelajari tentang sifat atau kharakteristik dari terorisme hingga dapat menemukan akarnya yang akan menjadi bagian penting untuk menemukan resolusi penanganan yang tepat sebagai perwujudan dari Counterterorism. Bagaimana masalah ini harus ditanggulangi dan mencoba untuk memahami latar belakangnya, memahami Osama bin Laden beserta entitas teroris yang dia ciptakan dan pendukungnya. Para scholar atau pengamat percaya bahwa terorisme tidak terjadi hanya karena akar tunggal, ada banyak akar yang mendorong terjadinya aksi terorisme dapat dikatakan bahwa akar terorisme sangat kompleks (Moghadam, 2006). Akar-akar Terorisme 9/11 membuktikan bahwa tidak terbatas hanya pada satu akar saja. Berawal dari sejarah kolonialisme, rasisme terhadap muslim, pelanggaran hak asasi manusia, tidak adanya kebebasan fundamental yang terjadi di Timur Tengah dan dilakukan oleh negara-negara barat termasuk Amerika Serikat. Kebijakan Amerika Serikat yang selalu merugikan pihak Timur Tengah, Pendirian pangkalan militer Amerika Serikat di Timur Tengah untuk mendapatkan akses ke sumber minyak dengan tariff yang rendah, dan dukungan yang diberikan Amerika Serikat terhadap Israel yang dianggap musuh oleh Arab dan Muslim. Berangkat dari latar belakang sejarah antara Timur Tengah, Barat dan Amerika Serikat, kemungkinan besar terdapat rasa benci dan dendam terhadap Negara-negara Barat khususnya Amerika Serikat yang menjadi salah satu faktor atau akar dari sisi psikologis yang mendorong mereka memiliki niat atau pemikiran untuk melakukan balas dendam juga cukup besar. Didukung dengan memasuki era globalisasi dimana perubahan yang terjadi begitu cepat, ketidaksiapan untuk mengahadapinya dan kondisi ekonomi yang cukup mengerikan, fasilitas pendidikan yang tidak mewadai terjadi di negara-negara miskin seperti negara-negara di Timur Tengah (Afghanistan, Sudan, Pakistan, Somalia,dll), hal ini termasuk sebagai bentuk dari kegagalan sebuah negara dan pemerintahannya tentu saja hal tersebut membuat mereka tidak mampu menghadapi perubahan yang begitu cepat dan tidak terhindarkan yang akhirnya memaksa mereka harus hidup ditengah perubahan tersebut dengan segala ketidakberdayaannya. Kemudian perubahan tersebut membuat angka kemiskinan dan pengangguran terus mengalami peningkatan, pertumbuhan ekonomi rendah sehingga membawa mereka pada kondisi tekanan yang cukup berat yaitu putus asa maka kondisi yang seperti ini mendorong mereka untuk melakukan perlawanan dimana terorisme adalah jalan atau solusi terbaik untuk menghadapinya yang bertujuan untuk melakukan perubahan kondisi dan mengurangi ketimpangan yang ada. Meskipun Ekonomi bukanlah penyebab utama yang dapat dihubungkan langsung dengan terorisme, namun setidaknya ekonomi yang rendah, kemiskinan absolut, ketimpangan sosial, eksklusi, ketidaksetaraan horizontal, kemudian digabung dengan faktor-faktor lainnya terutama ketika mempengaruhi kelompok agama, etnis, budaya yang berbeda merupakan sumber berkembangbiak konflik seperti perang saudara, politik ekstrimis, pergolakan sosial, dll (Newman, 2006). Kondisi seperti itu dapat membuat negara menjadi lebih lemah dan terbelakang-tidak memiliki legitimasi atas kontrol ekonomi sehingga mendorong timbulnya rasa kebencian, munculnya kelompok ektrimisme beserta dukungan dari ekstrimisme politik oleh karena itu ekonomi menjadi akar dasar atau alasan dasar/kepercayaan dasar bahwa terorisme adalah solusi terbaik. Adapun sebagian dari mereka atau pendukung terorisme memiliki latar belakang kondisi ekonomi yang baik dan berpendidikan namun mereka memiliki masalah yang sama berkaitan dengan harga diri yang merasa selama ini dipandang sebelah mata sehingga muncul perasaan dihina (Newman, 2006) dan adanya perampasan, pelanggaran hak asasi manusia, kemudian timbul rasa benci dan dendam yang memutuskan mereka untuk mendukung atau terlibat aksi terorisme karena hal ini dapat dilihat dari aksi kekerasan terorisme dimana ada penggambaran rasa ketidakadilan, perampasan yang bertubi-tubi, keputusasaan, dendam dan mencerminkan kemarahan yang tidak terkendali.

Terjadi benturan nilai sebagai akibat dari globalisasi yang mempercepat pertumbuhan dan perkembangan ideologi liberalisme, nilai demokrasi, dan budaya barat yang kemudian menyebabkan terjadinya sentuhan antara ideologi barat dan islam (benturan antara globalisasi dan kebangkitan islam dimasa krisis)-kondisi menjadi lebih tegang. Apa yang disebut sebagai kelompok terorisme fundamentalisme islam adala kelompok orang-orang yang membenci modernitas, peradapan sekuler, ilmiah, rasional dan komersial, sebagai dampak dari abad pencerahan yang bertujuan untuk menciptakan kondisi yang lebih menjujung kebebasan individu, demokrasi, toleransi keberagaman namun hal tersebut juga memiliki sisi buruk yaitu menciptakan ketimpangan sosial, hegemoni, imperialisme budaya, ketidaksetaraan dan materialisme (Newman, 2006). Sisi buruk yang menimpa negara lemah semakin menimbulkan kebencian dari negara-negara lemah/orang-orang yang pandang sebelah mata semakin merasa terhina kemudian kebencian tersebut dimanfaatkan oleh Osama Bin Laden dan rekan-rekan pendiri Al-Qaedanya yang juga membeci budaya dan ideologi barat untuk mendapatkan dukungan dan melibatkan mereka kedalam aksi terorisme. Kebencian yang juga didasarkan atas sejarah yang tidak baik degan barat didukung dengan adanya pembenaran ideologi dimana terdapat anggapan bahwa ideologi selain islam tidak baik karena di agama ada baik-buruk atau surga-neraka, jadi apa yang dianggap buruk oleh mereka harus dimusnahkan kemudian ini digunakan oleh mereka para pelaku terror untuk membenarkan aksi atau perbuatan mereka dan memutuskan untuk menyerang pusat kota New York, menghancurkan 2 menara WTC dan simbol pertahanan Amerika-Pentagon hingga disusul dengan serangan-serangan berikutnya dibeberapa negara yang dicurigai berkaitan dengan Al-Qaeda. Jadi kelompok terorisme islam dapat dikatakan sebagi bentuk respon/tanggapan/ekspresi penolakan terhadap negara-negara modern dan sekulerisme. Dilihat dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa akar terorisme sangat kompleks, multidimensi (hubungan yang tidak pasti) dan kemungkinan besar bahwa akar terorisme akan terus bertambah seiring dengan perubahan isu yang terjadi oleh karena itu dalam melihat fenomena atau peristiwa terorisme tidak dapat hanya dilihat dari satu akar saja melainkan harus dilihat dari beberapa akar lainnya. Osama Bin Laden menyadari bahwa serangan 9/11 akan menarik perhatian barat dan Amerika Serikat untuk mengetahui lebih dalam lagi tentang islam mengingat media informasi yang berkembang begitu cepat di era globalisasi. Meskipun tidak ada bukti orang barat pindah agama ke islam, namun minat mempelajari agama islam mengalami peningkatan dari sesudah adanya serangaran 9/11. Menurut survey CBS News menyatakan bahwa  ada sekitar 55% orang Amerika Serikat mengetahui banyak tentang islam (Nacos, 2011), namun sebagian besar pasca serangan 9/11, mereka memberikan tanggapan yang negatif tentang islam. Tanggapan Negatif tentang islam yang menciptakan stereotip bahwa “islam adalah agama kekerasan atau terorisme” yang kebenarannya tidak sepenuhnya benar. Kemunculan stereotip tersebut tidak terlepas dari peranan media informasi yang dengan mudah menggiring opini publik menjadi satu pandangan tentang Islam, Muslim dan Arab. Keberhasilan Osama Bin Laden dan rekan-rekanya Al-Qaeda dalam menggunakan media informasi dalam menarik perhatian publik dan pemerintahan atau negara di seluruh dunia telah mempengaruhi sebagian besar pembuatan kebijakan karena hampir semua kebijakan yang dibuat oleh pemerintahan selalu berkaitan dengan keamanan dan Counterterrorism (Ghosh, 2014) terutama pemerintahan Amerika Serikat. Strategi publisitas dalam serangan 9/11 berhasil membuat Amerika merasa takut dan membuat Osama Bin Laden bukan hanya sekedar pelaku terror tetapi menjadi seorang yang memiliki kekuatan atau berdaya dalam menggunakan kekerasan bukan lagi ditujukan sebagai berita utama tetapi untuk membunuh, menyingkirkan dan melemahkan Amerika Serikat dari dunia Islam. Dapat disimpulkan bahwa keberhasilan Osma bin Laden dan Al-Qaeda dalam serangan 9/11 dapat diidentifikasi sebagai model atau contoh bagi serangan-serangan terorisme di masa depan salah satunya adalah kasus serangan bunuh diri (bom bunuh diri) ditempat publik yang terjadi di indonesia pada tahun 2019.

Bibliography                                                                                                       

Ghosh, S. (2014). Understanding Terrorism in the context of Global Security. SOCRATES, 1-18.

Hoffman, B. (2002). Rethinking Terrorism and Counterterrorism since 9/11. RAND: Studies in Conflict & Terrorism, 1-15.

KRIGER, T. (2013). Calvulating The Cost Of 9/11. Researchgate, 1-18.

Moghadam, A. (2006). The Roots of Terrorism. New York: Ifnobase Publishing.

Nacos, B. L. (2011). The Terrorist Calculus behind 9-11: A Model for Future Terrorism? Studies in Conflict & Terrorism, 1-17.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun