Oleh : Erlyn Ayu Natali, Elicha Wanda Sriagustika, Sophia Anggraeni
Berbicara mengenai gender tentu bukanlah sebuah topik yang asing. Gerakan dan tuntutan terkait keadilan serta kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan telah vokal di seluruh penjuru dunia. Di Indonesia, perjuangan untuk keadilan dan kesetaraan gender telah dimulai sejak zaman R. A. Kartini, di mana emansipasi menjadi tonggak kebebasan perempuan Indonesia untuk mendapatkan pendidikan setara dengan laki-laki. “Bukan hanya suara dari luar, dari Eropa yang masuk ke dalam hati saya yang membuat saya menginginkan perubahan keadaan saat ini. Jauh semenjak saya kanak-kanak ketika kata emansipasi belum ada bunyinya, belum ada arinya buat saya, tulisan dan karangan tentang hal itu jauh dari jangkauan saya, muncul dari dalam diri saya keinginan yang makin lama makin kuat, yaitu keinginan akan kebebasan, kemerdekaan dan berdiri sendiri. Kemudian keadaan yang berlangsung di sekitar saya yang mematahkan hati dan membuat saya menangis, membangkitkan kembali keinginan itu” (Surat Kartini pada Estelle H. Zeehandelaar, 2 Mei 1899).
Gender sendiri merupakan suatu sudut pandang atau persepsi manusia terhadap perempuan dan laki-laki yang tidak didasarkan pada perbedaan jenis kelamin secara kodrat biologis. Gender dalam berbagai aspek kehidupan manusia menciptakan perbedaan antara perempuan dan laki-laki, termasuk dalam kreasi sosial di mana kedudukan perempuan sering kali dianggap lebih rendah dibandingkan laki-laki. Contohnya, perempuan dikenal sebagai individu yang lemah lembut, cantik, emosional, atau memiliki sifat keibuan. Di sisi lain, laki-laki dipersepsikan sebagai sosok yang kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Ciri-ciri dari sifat-sifat tersebut pada dasarnya merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya, terdapat laki-laki yang emosional, lemah lembut, dan memiliki sifat keibuan, sementara itu juga ada perempuan yang kuat, rasional, dan perkasa.
Kata gender berasal dari bahasa inggris, yang berarti jenis kelamin. Dalam webster’ new world dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Dalam women’s studies encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang di masyarakat. Sedangkan Hillary M. Lips mengartikan gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (cultural expectations for woman and men). Pendapat ini sejalan dengan pendapat kaum feminis, seperti Lindsey yang menganggap semua ketetapan masyarakat perihal penentuan seseorang sebagai laki-laki dan perempuan adalah termasuk bidang kajian gender (what a given society defines as masculine or feminim as a component of gender). Jadi dapat dipahami bahwa gender pada hakikatnya lebih menekankan pada aspek maskulinitas dan feminitas seseorang dalam budaya tertentu. Dengan demikian, gender pada dasarnya merupakan konstruksi yang dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dilegitimasi secara sosial dan budaya.
Di era Indonesia yang semakin modern ini, isu kesetaraan gender masih menjadi isu kompleks dalam masyarakat kita. Kemajuan teknologi dan pendidikan telah membuka peluang yang beragam bagi semua kalangan, namun pengaruh budaya patriarki yang berusia berabad-abad masih terasa di berbagai aspek kehidupan. Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), kesenjangan gender di Indonesia masih tercermin pada berbagai indikator sosial ekonomi, antara lain partisipasi dalam dunia kerja, kepemimpinan politik, dan akses terhadap pendidikan tinggi.
Dari laporan Global Gender Gap Report 2023 yang dirilis oleh World Economic Forum, Indonesia menempati peringkat 92 dari 146 negara dalam hal kesetaraan gender. Angka tersebut menunjukkan bahwa masih terdapat perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan. Seperti yang dijelaskan oleh Prof. Dr. Saparinah Sadli, seorang tokoh feminis Indonesia, "Kesetaraan gender bukan tentang persaingan antara perempuan dan laki-laki, melainkan tentang memberikan kesempatan yang sama bagi setiap individu untuk mengembangkan potensinya tanpa dibatasi oleh stereotip gender."
Praktik-praktik diskriminatif mulai dari pembatasan peran perempuan dalam pengambilan keputusan dalam keluarga hingga kesenjangan upah di dunia kerja, masih terlihat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan masih sebesar 53,13%, jauh lebih rendah dibandingkan tingkat partisipasi angkatan kerja laki-laki yang sebesar 82,41%. Kesenjangan ini tidak hanya merugikan perempuan secara individu tetapi juga menghambat pembangunan bangsa secara keseluruhan.
Fenomena ketidaksetaraan gender ini diperparah dengan masih kuatnya stereotip dan prasangka gender yang masih bertahan di masyarakat. Survei yang dilakukan oleh UN Women pada tahun 2023 menemukan bahwa 60% responden di Indonesia masih menganut pandangan tradisional mengenai peran gender, dimana perempuan lebih cocok mengurus rumah tangga dibandingkan berkarir. Hal ini tercermin dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari, mulai dari pembagian tugas rumah tangga hingga kesempatan menduduki posisi kepemimpinan di berbagai industri.
Data terbaru dari Inter-Parliamentary Union (IPU) menunjukkan bahwa rata-rata global keterwakilan perempuan di parlemen telah mencapai 26%, sementara Indonesia hanya mampu mencapai 21,9% untuk DPR RI. Angka ini menempatkan Indonesia pada peringkat 100 dalam Indeks Kesenjangan Gender Global tahun 2024, turun dari peringkat 87 pada tahun sebelumnya. Penurunan ini disebabkan oleh berkurangnya kesempatan ekonomi dan pemberdayaan politik bagi perempuan. Kondisi ini menegaskan bahwa masih banyak yang harus dilakukan untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dalam politik Indonesia.
Walaupun akses terhadap pendidikan dasar relatif sama di dunia pendidikan, namun masih terdapat perbedaan yang jelas dalam jenjang pendidikan tinggi dan pilihan jurusan. Data dari Direktorat Pendidikan Tinggi menunjukkan bahwa perempuan masih kurang terwakili di bidang STEM (Sains, Teknologi, Engineering, dan Matematika), yang menawarkan peluang karier yang lebih baik. Situasi ini tidak lepas dari stereotip gender yang masih ada, di mana bidang-bidang tertentu dianggap "maskulin" dan kurang cocok untuk perempuan.