Mohon tunggu...
Anggoro Abiyyu Ristio Cahyo
Anggoro Abiyyu Ristio Cahyo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pengamat

Follow our Ig: @anggoroabiyyu

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Ludruk sebagai Teater Tradisional yang Menginspirasi Perjuangan Sosial dan Politik di Jawa Timur

23 Juni 2024   14:10 Diperbarui: 23 Juni 2024   14:21 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: @anggoroabiyyu

Ludruk adalah sebuah kesenian teater tradisional yang berasal dari Jawa Timur, khususnya Surabaya dan Jombang. Kesenian Ludruk dikenal sebagai seni drama yang dimainkan oleh sekelompok orang dengan iringan musik tertentu. Dalam pertunjukannya, Ludruk sering mengangkat persoalan sosial masyarakat serta kisah-kisah inspiratif yang dikemas dengan lawakan para pemainnya.

Ludruk pertama kali dikenal dengan nama Ludruk Bandhan pada abad ke-12. Pertunjukan ini berkaitan dengan ilmu kanuragan yang dimiliki oleh para pemainnya dan diiringi oleh alat musik kendang dan jidor. Seiring berjalannya waktu, Ludruk Bandhan berkembang menjadi pertunjukan Lerok Pak Santik pada abad ke-17 hingga 18. Lerok adalah alat musik yang dipetik seperti kecapi, sementara Pak Santik adalah tokoh yang memperbarui Ludruk. Pertunjukan ini kemudian dikenal dengan nama Besutan sebelum akhirnya menjadi Ludruk seperti yang kita kenal saat ini.

Perkembangan Ludruk tidak lepas dari sosok Cak Durasim yang memperkenalkan seni pertunjukan ini pada masa pendudukan Jepang. Pertunjukan Ludruk oleh Cak Durasim digelar di daerah Genteng Kali, Surabaya, dan diberi nama Ludruk. Selain sebagai hiburan rakyat, Ludruk juga berfungsi sebagai media kritik sosial terhadap penguasa. Fungsi primer Ludruk meliputi aspek ritual, estetis, dan hiburan. Sementara fungsi sekunder Ludruk mencakup pendidikan, penebalan solidaritas, dan menumbuhkan kebijaksanaan.

Sejak awal, Ludruk digunakan sebagai alat perjuangan sosial dan politik. Pada masa penjajahan Belanda, Ludruk digunakan untuk menyampaikan kritik sosial kepada pemerintah Hindia Belanda melalui parikan atau pantun yang dikemas secara halus. Kritik ini terus berlanjut pada masa pendudukan Jepang dengan Cak Durasim sebagai tokoh utamanya. Salah satu parikan terkenal Cak Durasim berbunyi "Bekupon omahe doro, melok Nippon tambah sengsoro," yang artinya "Bekupon rumah burung dara, ikut Nippon lebih sengsara." Parikan ini mengkritik pemerintah Jepang yang membuat rakyat semakin menderita. Akibat kritiknya tersebut, Cak Durasim ditangkap oleh Jepang dan dijebloskan ke dalam penjara di Genteng Kali, tempat di mana ia akhirnya meninggal dunia.

Melalui Ludruk, kita dapat melihat seni tradisional ini berperan penting dalam perjuangan sosial dan politik di Indonesia. Kesenian ini tidak hanya sebagai hiburan, tetapi juga sebagai sarana untuk menyampaikan pesan dan kritik kepada penguasa, menumbuhkan solidaritas, dan mendidik masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun