Surabaya – Gaya retorika persuasi Bung Tomo pada pidato 10 November 1945 merupakan simbol perlawanan dari rakyat Surabaya dan pemuda Indonesia yang ada di kota Surabaya. Perlawanan tersebut sebagai wujud simbolisasi dari rasa cinta tanah air yang menuntut jiwa dan raga untuk selalu memperjuangkan hal yang dicintai. Bahkan akan ada rasa yang kuat dalam mempertahankan tanah air ketika penjajah ingin menguasai wilayah Indonesia. Bentuk upaya pemertahanan tanah air ini menjadi bukti dari aksi yang dilakukan oleh pemuda di Surabaya dalam suatu pertempuran. Pertempuran tersebut dikenang sebagai pertempuran kota Surabaya dan penanda lahirnya hari Pahlawan.
Pertempuran kota Surabaya atau biasa disebut sebagai Pertempuran 10 November 1945 merupakan perang yang terjadi antara pemuda-pemuda Indonesia menentang pasukan Inggris di kota Surabaya. Pertempuran terjadi setelah adanya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 27 Oktober – 20 November 1945. Dengan berbekal semangat proklamasi dan kepemudaan, pemuda-pemuda Indonesia tidak gentar dalam menghadapai pasukan Inggris yang berbekal senjata.
Peran Retorika Persuasi dalam Pidato Bung Tomo
Sikap semangat juang pemuda-pemuda Indonesia selalu tertanam dalam diri mereka. Tentunya, hal itu tidak terlepas dari adanya salah satu pentolan pemuda Indonesia yang berhasil mempertahankan semangat juang para harapan bangsa. Pentolan pemuda tersebut saat ini dikenal sebagai sosok yang memiliki pengaruh dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia melalui pidatonya, yaitu Sutomo atau Bung Tomo.
Pidato yang disampaikan oleh Bung Tomo tersebut, terdengar dan tertangkap secara jelas bagaimana makna dan kepada siapa pidato tersebut ditujukan. Pidato Bung Tomo secara jelas bertujuan mengajak rakyat dan pemuda Indonesia yang ada di Surabaya untuk selalu menanamkan prinsip keberanian dan semangat dalam melawan pasukan Inggris. Tentunya, tujuan membakar semangat pemuda adalah untuk mempertahankan bangsa Indonesia.
“Tetapi inilah jawaban kita, selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah yang dapat membikin secarik kain putih, merah dan putih, maka selama itu tidak akan kita akan mau menyerah kepada siapa pun juga. Saudara-saudara rakyat Surabaya… siaplah keadaan genting! Tetapi saya peringatkan sekali lagi, jangan mulai menembak, baru kalau kita ditembak, maka kita akan ganti menyerang mereka itu. Kita tunjukkan bahwa kita ini adalah benar-benar orang yang ingin merdeka. Dan untuk kita saudara-saudara, lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka. Semboyan kita tetap, merdeka atau mati!!!” seru Bung Tomo dalam pidatonya.
Penyampaian pidato oleh Bung Tomo melalui radio diucapkan dengan nada yang tinggi, membara, lugas, dan tegas. Sasaran dari pidato Bung Tomo tersebut adalah rakyat Surabaya dan pemuda Indonesia yang ada di Surabaya. Sebagaimana amunisi dalam wujud motivasi bagi para pejuang bangsa dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Pemuda-pemuda harapan bangsa paham betul pentingnya mempertahankan kemerdekaan. Hal itu, dapat dilihat dari bagaimana antusiasme dalam melawan pasukan musuh. Dapat dikatakan bahwa pidato Bung Tomo dipahami betul dengan ditunjukkan adanya semangat bahwa ada negara yang harus dipertahankan.
Ada Udang di Balik Batu
Melansir dari laman resmi CNN Indonesia, peristiwa 10 November awal mulanya berawal dari pasukan Inggris mendarat di Surabaya pada 25 Oktober 1945. Kedatangan pasukan Inggris ke Indonesia awalnya hanya bertujuan membebaskan tawanan perang dari Jepang. Namun, ada udang di balik batu, pasukan Inggris memiliki maksud lain. Adapun maksud tersebut, yaitu menolong Belanda dalam merebut kemerdekaan Indonesia. Tentunya, hal itu membuat Indonesia sebagai tuan rumah menjadi geram.
Amarah nan Membara