“Boleh cium pipi?”
Karin, wanita dihadapanku, hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Aku sudah menduga.
“Boleh peluk? Mungkin saja
ini pertemuan kita yang terakhir..”
Dia masi tersenyum, kali ini makin lebar. Aku mulai salah tingkah.
“Baiklah..”
Ruang tunggu bandara ini mendadak terasa penat. Jeda ini menyesakkan. Aku memandang perempuan dihadapanku. Dua tahun aku menunggunya. Dan dua tahun pula dia selalu diam. Kini aku hanya ingin memeluknya. Tak lebih dari itu. Mengekalkan apa yang aku rasa disepersekian detik sebelum dia kembali ke kotanya.
“Aku takut, ketika kau
memelukku, aku bisa merasakan
apa yang ada dihatimu.. “
Dia akhirnya membuka suara.pelan.
“Lalu kenapa? “
“Aku takut rasa itu menulariku dan membuatku terjatuh juga..”
“Kau takut jatuh cinta padaku? Seperti yang selama ini kau tau pasti aku rasakan?”
“Mungkin begitu.. “
Kali ini dia menunduk, aku tak bisa menatap matanya.
” Jangan takut. Kalau kau takut, kau justru akan semakin gampang jatuh. Kau lucu.. “
“Masalahnya, peganganku sudah tak sekuat dulu, dan aku hampir jatuh.. “
” Aku tak pernah tau tentang itu.. “
Aku merasakan keraguannya. Ntah kenapa, aku malah melihat peluang kecil. Dia lalu melanjutkan,
” jatuh itu rasanya tak pernah enak. Pasti sakit. Aku pernah jatuh, dan kali ini aku tidak ingin jatuh lagi. “
” Kau harus benar- benar jatuh untuk tahu kalo ini samasekali tidak sakit.. Aku bisa pastikan itu..”
Ya.. Kini aku sudah mirip sales menawarkan dagangan bermerk cinta.
“darimana kau tau ini tidak akan sakit?”
Kini dia menatapku, mencari jawaban. Aku tersenyum,
“Biarkan aku memelukmu, rasakan yang ada dihatiku, dan jatuhlah bersamaku. Kau akan tau rasanya..”
..
…
Sial.. Jeda lagi. Sepertinya aku salah ucap. Jangan- jangan sekarang dia menganggapku penggombal yang sedang mencari-cari kesempatan. Kunyalakan rokokku,berharap asapnya mampu mengisi keheningan.
“Boleh peluk?”
..
…
Aku pasti bermimpi. Aku melihat matanya, dan ya.. Aku melihat kesungguhan itu.. Aku benar-benar melihatnya..
“Kau siap jatuh bersamaku?”