Mohon tunggu...
Anggi Yessika Situmorang
Anggi Yessika Situmorang Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Sumatera Utara

Mahasiswa S1 Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Sumatera Utara

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mencapai Kesetaraan Gender di Organisasi Melalui Pendekatan Kritis Teori Feminisme

8 Januari 2023   19:36 Diperbarui: 8 Januari 2023   19:42 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Perempuan dan laki-laki berbeda. Perbedaan perempuan dan laki-laki dapat dibedakan menjadi perbedaan biologis dan perbedaan dari hasil proses sosialisasi. Perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki sering disebut sebagai seks (jenis kelamin). Perbedaan antara perempuan dan laki-laki  dari hasil dari proses sosialisasi sering disebut sebagai gender.Perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki dapat dilihat dari karakteristik  biologis antara keduanya, baik ciri-ciri yang bersifat primer maupun ciri-ciri yang bersifat sekunder.

Karena konstruksi sosial dan budaya, perempuan dan laki-laki memiliki peran, fungsi, tanggung jawab, sikap dan perilaku yang berbeda. Ini biasanya disebut gender. Perbedaan ini terbentuk dari proses pembiasaan yang terus menerus, sehingga terinternalisasi dalam diri setiap orang, setiap keluarga, dan setiap masyarakat.

Teori komunikasi kritis membahas berbagai topik yang relevan, termasuk bahasa, struktur organisasi, hubungan interpersonal, dan media. Isu gender pun merupakan pendekatan khusus yang dipengaruhi oleh teori kritis feminis.

Apalagi saat ini, isu gender yang mengakibatkan kesenjangan gender dalam berbagai bidang pembangunan menjadi isu utama dan tujuan bersama secara global. Pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Developmen Goals (SGDs) mempunyai salah satu tujuan diantaranya adalah menuju mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan kaum perempuan.

Namun, masalah ketidaksetaraan gender tercermin dari rendahnya kualitas hidup dan peran perempuan, tingginya tingkat kekerasan terhadap Perempuan yang diukur dengan angka Indeks Pembangunan Gender (Gender-related Development Index atau GDI) dan angka Indeks Pemberdayaan Gender (Gender Empowerment Index atau GEM).

Kenyataan proses untuk memperjuangkan gender ini masih sangat panjang, apalagi hambatan terbesarnya adalah masih kuatnya budaya patriarki yang akhirnya mengakibatkan posisi gender yang tidak setara dimana perempuan menjadi korban utamanya.

Salah satu contoh persoalan ketidakketidaksetaraansetaraan gender ini dapat dilihat dalam bidang pendidikan dimana laki-laki mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan hingga ke jenjang yang lebih tinggi karena nantinya laki-laki akan menjadi kepala keluarga dan sebagai pencari nafkah sehingga pendidikan sangat diperlukan jika menginginkan kehidupan ekonominya baik, sedangkan perempuan tidak perlu pendidikan yang tinggi karena nantinya perempuan akan menjadi ibu rumah tangga yang hanya bekerja di rumah.

Contoh lainnya adalah masih sangat rendahnya partisipasi perempuan Indonesia di parlemen. Menurut data dari World Bank (2019), negara Indonesia menempati urutan ke-7 se-Asia Tenggara untuk keterwakilan perempuan di parlemen. Rendahnya angka keterwakilan perempuan di parlemen sedikit banyak berdampak pada isu kebijakan terkait kesetaraan gender dan belum mampu merespon masalah utama yang dihadapi oleh perempuan.

Isu gender begitu mengisi kehidupan organisasi. Banyak para ahli komunikasi organisasi mengadopsi teori aliran feminis sebagai dasar kerja mereka. Organisasi, baik tradisional ataupun birokratis sangat patriarki. Mereka lebih jauh menunjukkan bahwa perempuan memiliki cara pandang unik dalam melihat dunia dan menciptakan berbagai makna melalui interaksi.

Kalangan ahli feminis yakin bahwa perempuan dalam organisasi bisa terpinggirkan dalam kehidupan berorganisasi karena konsep yang digunakan dalam memahami kehidupan organisasi cenderung bias laki-laki  dan bahwa struktur bahasa di organisasi juga bersifat patriarki.

Dalam pendekatan organisasi, terlihat sebuah temuan bahwa karakter yang paling dihargai adalah karakter tipe laki-laki seperti agresivitas, dan kompetitf. Sebaliknya, karakter tipe perempuan seperti intuisi, emosi, empati, kerukunan, dan kerjasama tampaknya kurang dihargai dalam kehidupan orgnisasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun