Mohon tunggu...
Anggit Satriyo Nugroho
Anggit Satriyo Nugroho Mohon Tunggu... Jurnalis - Advokat dan akademisi

Saya adalah seorang yang berpengalaman dalam bidang jurnalistik selama hampir 20 tahun, saya juga menggeluti dunia advokasi selama 5 tahun. Selain itu saya juga miliki pengalaman sebagai akademisi. Dari pengalaman tersebut, saya memiliki kemampuan menulis terutama terkait hukm dan pers

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Perlindungan Hukum bagi Pengendara di Jeglongan Sewu

28 April 2024   07:23 Diperbarui: 28 April 2024   07:36 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KELUH KESAH itu terus berhamburan ketika bermobil di Jalan Lingkar di sebuah daerah di Jawa Timur, awal pekan lalu.

Di jalan itu, pengendara seperti saya seperti sedang melakukan uji kemahiran mengemudi. Sebab, harus pintar zig-zag kiri kanan untuk menghindari jalan berlubang.

Lubangnya pun beraneka ragam jenis. Kecil, setengah besar, sampai buesaar. Semuanya ada. Pantaslah bila disebut Jeglongan Sewu.

"Bayangkan kalau ini malam hari naik motor saat hujan hujan. Bisa selamat sampai rumah ini sudah bagus," gerutu seorang teman di samping saya.

Keluh kesah soal jalan rusak memang seperti tak ada habisnya.

Pemerintah daerah setempat  sudah melakukan perbaikan.
Namun,  titik jalan rusak seperti muncul lagi dan muncul lagi.

Jangan heran kalau sering muncul pertanyaan, jalan rusak itu muncul karena memang tidak ada perawatan ataukah jalan-jalan tersebut dirawat tapi sebenarnya ala kadarnya saja. Yang penting ditembel dan publik tidak terus-terusan ngroweng dalam bentuk apapun. Yang di radio, di medsos, di mana pun.

Tak sedikit pula gerutuan seperti ini : jalan rusak hanya diperbaiki jelang pilkada. Setelah itu, jalan rusak  dilupakan lagi.

Lalu bisakah pemerintah daerah dimintai tanggung jawab hukum soal jalan rusak itu? Adakah perlindungan hukum bagi mereka yang melintas?

Maklum saja, biasanya yang terjadi adalah saling lempar soal tanggung jawab perbaikan jalan. Ada yang bilang, jalan A tanggung jawab pemerintah pusat, jalan B tanggung jawab pemerintah provinsi, lalu jalan di kecamatan baru jadi tanggung jawab Pemda.

Meskipun pada akhirnya perdebatan semacam itu hanya merugikan saja. Toh, publik seperti kita ini yang pada akhirnya menanggungnya.

Bukankah sebagai badan hukum publik, pemerintah harus berpihak kepada kepentingan publik.

Memuaskan kepentingan publik adalah pekerjaan utama mereka. Tidak bisa kemudian badan hukum publik lari dari tanggung jawab perbaikan jalan dengan alasan ini dan itu.

Mulai tidak ada anggaran, belum masuk perencanaan, meminta masyarakat bersabar menunggu giliran perbaikan hingga sederet alasan klise lainnya.

Badan publik seharusnya bisa menggaransi kualitas pelayanan publiknya.

Bukankah perencanaan pembangunan termasuk anggarannya sudah dipikirkan selama setahun.

Dalam sebuah diskusi saya pernah mendengar, bagaimana kalau jalan-jalan perkotaan itu digantikan aspal alam yang awet dan tidak lekas rusak. Namun, langkah itu justru mengundang kritik dari kalangan yang lain.

Intinya kalau jalan-jalan daerah itu terlalu awet dan umur aspalnya panjang, ada kekhawatiran ekonomi tidak memutar. Sebab, pemerintah tidak bisa lagi menganggarkan perbaikan setiap tahun. Namun bisa setiap dua atau tiga tahun sekali. Ini sama halnya mematikan banyak pekerja proyek termasuk kontraktornya.

Bukankah dengan memperbaiki jalan rusak, para pekerja akhirnya dapat duit lalu dapat menghidupi anak istrinya.

Hmmm. Entahlah...

Seharusnya penyelenggaraan pelayanan publik sejalan dengan Undang-undang No 25 tahun 2009. Penyelenggaraan jalan adalah bagian dari pelayanan publik berupa barang.

Bahkan, Undang-undang No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan pasal 24 ayat 1 tegas mengatur kewajiban pemerintah sebagai penyelenggara jalan. Dimana,  penyelenggara jalan punya kewajiban hukum segera memperbaiki jalan yang rusak.

Bahkan, pasal selanjutnya juga memberikan kewajiban hukum kepada pemerintah untuk memberikan tanda terhadap jalan yang rusak.

Tak cukup sampai di sana, bahkan akibat tidak segera diperbaikinya jalan, lalu bisa mengakibatkan kecelakaan maka penyelenggara jalan bisa dipidana sebagaimana diatur dalam pasal 273. Ada hukuman bagi penyelenggara jalan bila jalan rusak itu memicu kecelakaan.

Namun, faktanya hingga sekarang tidak ada cerita penegakan hukum mengacu pasal tersebut. Tidak diketahui kenapa hal tersebut terjadi. Ada norma hukumnya, tapi seolah dilupakan saja.

Akan sungguh elok, mana kala penyelenggara jalan dimintakan pertanggungjawaban hukum berdasar undang-undang tadi.

Setidaknya kewajiban memperbaiki jalan rusak akan menjadi isu sentral dalam membangun perkotaan. Masyarakat pun terhindarkan dari jalan rusak.

Peran Serta Masyarakat Sorot Jalan Rusak

Lihat saja betapa kreatifnya seorang content creator di Sidoarjo mengkritisi jalan rusak.

Sayangnya konten tersebut seolah dianggap sambil lalu saja. Toh, problem jalan rusak juga belum tuntas sama sekali hingga kini.

Peran serta masyarakat sebenarnya bisa dimunculkan agar kritik terhadap jalan rusak menjadi gerakan bersama masyarakat.

Langkah hukum sebenarnya bisa ditempuh dengan menggugat pemerintah telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan alasan bahwa pemerintah tidak melaksanakan apa yang diperintahkan undang-undang.


Publik harus menggugat pemerintah telah melakukan onrechtmatige overheidsdaad atau perbuatan melawan hukum oleh penguasa.

Perbuatan melawan hukum sebenarnya sudah diatur sebagaimana pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.

Gugatan terhadap jalan rusak pernah diajukan ke PN Bekasi pada 2015. Penggugat menuntut ganti kerugian kepada pemerintah karena akibat melewati jalan tersebut ayah penggugat mengalami kecelakaan dan tewas.

Namun, sejak berlakunya UU Administrasi Pemerintahan dan Perma No 2 tahun 2019 bahwa perbuatan melawan hukum oleh penguasa menjadi kompetensi absolut pengadilan tata usaha negara.

Gugatan perbuatan melawan hukum oleh penguasa bisa dilakukan karena pemerintah sesuai dengan kewenangan penyelenggaraan jalan tidak melakukan tindakan konkret sesuai dengan perintah undang-undang.

Partisipasi lain masyarakat bisa juga ditunjukkan mengadukan tidak segera dilakukannya perbaikan jalan rusak kepada Ombudsman, sebagai lembaga pengawas pelayanan publik.

Agar saluran perlindungan hukum kepada publik yang disediakan undang-undang tak sekadar pantas-pantas saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun