Bukankah sebagai badan hukum publik, pemerintah harus berpihak kepada kepentingan publik.
Memuaskan kepentingan publik adalah pekerjaan utama mereka. Tidak bisa kemudian badan hukum publik lari dari tanggung jawab perbaikan jalan dengan alasan ini dan itu.
Mulai tidak ada anggaran, belum masuk perencanaan, meminta masyarakat bersabar menunggu giliran perbaikan hingga sederet alasan klise lainnya.
Badan publik seharusnya bisa menggaransi kualitas pelayanan publiknya.
Bukankah perencanaan pembangunan termasuk anggarannya sudah dipikirkan selama setahun.
Dalam sebuah diskusi saya pernah mendengar, bagaimana kalau jalan-jalan perkotaan itu digantikan aspal alam yang awet dan tidak lekas rusak. Namun, langkah itu justru mengundang kritik dari kalangan yang lain.
Intinya kalau jalan-jalan daerah itu terlalu awet dan umur aspalnya panjang, ada kekhawatiran ekonomi tidak memutar. Sebab, pemerintah tidak bisa lagi menganggarkan perbaikan setiap tahun. Namun bisa setiap dua atau tiga tahun sekali. Ini sama halnya mematikan banyak pekerja proyek termasuk kontraktornya.
Bukankah dengan memperbaiki jalan rusak, para pekerja akhirnya dapat duit lalu dapat menghidupi anak istrinya.
Hmmm. Entahlah...
Seharusnya penyelenggaraan pelayanan publik sejalan dengan Undang-undang No 25 tahun 2009. Penyelenggaraan jalan adalah bagian dari pelayanan publik berupa barang.
Bahkan, Undang-undang No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan pasal 24 ayat 1 tegas mengatur kewajiban pemerintah sebagai penyelenggara jalan. Dimana, Â penyelenggara jalan punya kewajiban hukum segera memperbaiki jalan yang rusak.