Mohon tunggu...
Anggita Zahrani Putri
Anggita Zahrani Putri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Gemar menulis, segala ia tulis.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Melawan Budaya Diam: Memerangi Kekerasan Seksual di Dunia Pendidikan.

20 Desember 2024   15:10 Diperbarui: 20 Desember 2024   15:10 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Awal 2024, publik dikejutkan dengan pengungkapan kasus kekerasan seksual di Universitas Hasanuddin, Makassar. Seorang mahasiswi menjadi korban pelecehan seksual oleh dosen saat proses bimbingan skripsi. Dengan memanfaatkan posisi otoritasnya, pelaku memanipulasi situasi sehingga merugikan korban. Kasus ini mencuat setelah korban melaporkan peristiwa tersebut kepada pihak universitas, yang kemudian memicu perhatian luas dari media dan masyarakat. Pertanyaan besar pun muncul: bagaimana sebuah institusi pendidikan, yang seharusnya menjadi ruang aman, justru menjadi tempat terjadinya pelecehan seksual?

Kasus pelecehan seksual di Universitas Hasanuddin tidak hanya mencerminkan masalah individu, tetapi juga menyoroti salah satu dari tiga dosa besar pendidikan: kekerasan seksual di lingkungan akademik. Fenomena ini menunjukkan kegagalan sistem pendidikan dalam menciptakan ruang yang aman serta kondusif bagi pengembangan intelektual mahasiswa. Lebih jauh, kasus ini dapat dijelaskan melalui teori feminisme kritis, yang menyoroti bagaimana struktur patriarki dalam institusi pendidikan seringkali melanggengkan ketimpangan gender dan kekerasan berbasis kekuasaan. Menurut Sylvia Walby (1990), patriarki adalah sistem struktur sosial dan praktik-praktik yang membuat laki-laki mendominasi, menindas, dan mengeksploitasi perempuan. Penempatan perempuan dalam posisi subordinat akibat sistem patriarki memberikan kerugian signifikan bagi perempuan. Dalam konteks ini, dosen sebagai figur otoritas memiliki kekuasaan struktural yang dapat digunakan untuk menekan mahasiswa, menciptakan lingkungan akademik yang hierarkis dan tidak aman.

Pelecehan seksual di Indonesia sering diibaratkan sebagai fenomena gunung es; hanya sedikit yang terlihat, sementara kenyataannya jauh lebih besar. Kondisi ini diperparah oleh budaya diam (culture of silence) yang masih mendominasi institusi pendidikan. Korban sering kali enggan melaporkan pelecehan yang dialaminya karena takut stigma, ancaman balasan, dan minimnya tindakan tegas dari pihak kampus. Dengan tidak adanya dukungan sistemik yang kuat, korban merasa percuma untuk mencari keadilan, sementara pelaku terus dilindungi oleh posisi kekuasaannya.

Di sisi lain, budaya diam juga dipengaruhi oleh konstruksi sosial yang memandang isu kekerasan seksual sebagai aib atau hal yang tabu untuk dibicarakan. Alih-alih memberikan dukungan, masyarakat sering kali menyalahkan korban dengan dalih moralitas, pakaian, atau tindakan korban itu sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa masalah kekerasan seksual di lingkungan pendidikan bukan hanya soal individu, tetapi juga sistemik, yang membutuhkan solusi menyeluruh. Untuk memutus budaya diam, diperlukan kolaborasi antara pihak kampus, pemerintah, dan masyarakat. Kampus harus memastikan adanya mekanisme pelaporan yang jelas, aman, dan berpihak kepada korban. Selain itu, pelaku harus mendapatkan sanksi tegas agar tercipta efek jera dan membangun kembali kepercayaan mahasiswa terhadap institusi pendidikan.

Melalui teori semiotika, fenomena ini dapat dipahami melalui simbol-simbol dan makna sosial yang ada di kampus, yang menciptakan ruang diam tersebut. Kasus pelecehan seksual di lingkungan akademik dapat dianalisis sebagai sebuah teks yang memuat tanda-tanda keterkaitan dengan dominasi kekuasaan dan ketidaksetaraan gender. Simbol-simbol kekuasaan, seperti figur dosen sebagai otoritas akademik, digunakan untuk mengeksploitasi posisi yang lebih rendah, yakni mahasiswa. Komunikasi yang terjadi antara korban dan pelaku tidak hanya melibatkan kata-kata, tetapi juga mencerminkan representasi ketimpangan kekuasaan yang ada di masyarakat. Dengan kata lain, struktur hierarkis yang kaku di kampus menciptakan ketidakseimbangan relasi kuasa yang rentan disalahgunakan.

Selain itu, lambatnya respons universitas dalam menangani kasus pelecehan seksual turut memperburuk situasi. Dalam banyak kasus, laporan dari korban sering kali diabaikan atau diproses secara tertutup tanpa hasil yang jelas. Hal ini menunjukkan kegagalan institusi pendidikan dalam menjalankan fungsinya sebagai pelindung hak-hak mahasiswa. Menurut Foucault dalam teori kekuasaan dan pengetahuan, kekuasaan tidak hanya bersifat represif tetapi juga produktif, dalam arti menciptakan norma-norma sosial tertentu. Dalam konteks ini, pelecehan seksual adalah produk dari sistem yang gagal mengatasi ketidaksetaraan dan menormalisasi praktik kekuasaan. Dengan demikian, universitas yang semestinya menjadi ruang penyebaran pengetahuan justru menciptakan lingkungan yang tidak adil bagi mahasiswa, terutama perempuan.

Namun, untuk melindungi korban, negara seharusnya menjamin tiga aspek utama dalam penegakan Hak Asasi Manusia (HAM), yakni melindungi, memenuhi, dan menghormati. Sayangnya, penanganan kekerasan seksual di Indonesia masih terkendala oleh minimnya payung hukum yang jelas, termasuk upaya pemulihan fisik dan psikis korban. Kekosongan regulasi yang tegas ini memperkuat budaya diam dan semakin mempersulit korban untuk mencari keadilan. Dalam menangani masalah ini, implementasi Permendikbud No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Pendidikan perlu diperkuat. Selain itu, edukasi seksual yang komprehensif harus menjadi prioritas di lingkungan akademik untuk memutus rantai kekerasan seksual dan meningkatkan kesadaran mahasiswa serta staf akademik akan hak-hak mereka.

Pendidikan seksualitas yang komprehensif tidak hanya berfokus pada anatomi tubuh, tetapi juga mencakup aspek-aspek relasi sehat, kesetaraan gender, dan pencegahan kekerasan seksual. Dengan membekali mahasiswa dan staf akademik pengetahuan tentang hak-hak individu serta batasan personal, kampus dapat berperan aktif dalam membentuk lingkungan yang aman dan menghargai martabat setiap individu.

Kasus pelecehan seksual di Universitas Hasanuddin dan banyaknya kasus serupa di lingkungan pendidikan Indonesia menjadi alarm serius bagi dunia akademik. Pendidikan, yang semestinya menjadi pelindung dan agen perubahan, justru gagal menjalankan perannya sebagai ruang aman. Keberhasilan institusi pendidikan tidak hanya diukur dari prestasi akademik, tetapi juga dari kemampuannya menciptakan lingkungan yang inklusif dan bebas dari kekerasan. Upaya kolektif, termasuk reformasi kebijakan, edukasi yang berkelanjutan, serta penegakan hukum yang tegas, sangat diperlukan untuk memberantas dosa besar pendidikan ini. Dengan komitmen penuh dari semua pihak, pendidikan dapat kembali menjadi sarana pembentukan karakter, pemberdayaan, dan pengembangan intelektual yang bebas dari rasa takut dan ancaman.

Selain itu, peran masyarakat dalam membangun kesadaran kolektif juga tidak bisa diabaikan. Dukungan sosial kepada korban dan sikap tegas terhadap pelaku akan membantu mematahkan budaya diam. Media pun memiliki peran penting dalam menyuarakan kasus-kasus kekerasan seksual tanpa mengeksploitasi korban, tetapi dengan fokus pada edukasi dan solusi. Dengan demikian, penanganan kekerasan seksual harus menjadi tanggung jawab bersama yang melibatkan seluruh elemen, baik kampus, negara, maupun masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun