Mohon tunggu...
anggitavela
anggitavela Mohon Tunggu... Dosen - Mahasiswa Doctoral Pasca Sarjana IAIN Metro

Dosen STIS Darusy Syafa'ah Lampung Tengah yang tengah menempuh pendidikan Doctoral Pasca Sarjana IAIN Metro pada Jurusan Ilmu Syariah.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Khitan Perempuan Dalam Perspektif 'Urf dan Kontribusinya Terhadap Pembaharuan Hukum Islam

13 Desember 2024   10:56 Diperbarui: 13 Desember 2024   10:56 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sunat perempuan adalah prosedur yang melibatkan pengangkatan sebagian atau seluruh alat kelamin wanita bagian luar. Sunat perempuan tidak dilakukan atas alasan medis, dan justru dapat menimbulkan dampak negative bagi Kesehatan perempuan serta belum terbukti bermanfaat bagi kesehatan perempuan.

Khitan perempuan merupakan salah satu topik yang kerap menjadi perbincangan dalam diskursus hukum Islam Kontemporer. Dalam tradisi Islam, khitan perempuan dikenal sebagai salah satu bentuk ibadah yang dianjurkan oleh Sebagian ulama. Namun, ditengah perdebatan global mengenai hak asasi manusia, isu ini sering dikaitkan dengan praktik mutilasi genital perempuan (FGM), yang memiliki dampak negatif terhadap kesehatan dan kesejahteraan perempuan. Oleh karena itu, penting untuk mengkaji ulang khitan perempuan dari perspektif 'urf (adat istiadat) dan melihat bagaimana konsep ini dapat berkontribusi terhadap pembaruan hukum Islam.

Khitan Perempuan dalam Perspektif 'Urf. Dalam kajian hukum Islam, 'urf merupakan salah satu sumber hukum sekunder yang diakui, khususnya ketika tidak ada dalil qath'i (tegas) yang mengatur suatu masalah. 'Urf mencerminkan praktik kebiasaan masyarakat yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. Dalam konteks khitan perempuan, praktik ini memiliki variasi yang signifikan di berbagai wilayah Muslim. Di beberapa masyarakat, khitan perempuan dianggap sebagai bagian dari identitas budaya dan simbol kesucian, sedangkan di tempat lain, praktik ini jarang ditemukan atau bahkan ditinggalkan.

Para ulama berbeda pendapat mengenai kewajiban khitan perempuan. Sebagian ulama, seperti dalam mazhab Syafi'i, menyatakan bahwa khitan perempuan adalah wajib, meskipun praktiknya berbeda dari khitan laki-laki. Sementara itu, ulama lain seperti dalam mazhab Hanafi menganggapnya sebagai sunnah atau tindakan yang tidak diwajibkan, ada yang menyatakan mubah, disisi lain ada juga yang melarang. Dalam konteks 'urf, pandangan ini memberikan fleksibilitas bagi masyarakat Muslim untuk menyesuaikan praktik tersebut dengan nilai-nilai lokal selama tidak melanggar prinsip syariah, termasuk prinsip menjaga kemaslahatan (jalb al-masalih) dan mencegah kerusakan (dar' al-mafasid).

Kontribusi Perspektif 'Urf terhadap Pembaruan Hukum Islam. Pendekatan berbasis 'urf dapat menjadi jembatan antara tradisi hukum Islam klasik dan tuntutan modernitas. Dalam konteks khitan perempuan, perspektif ini memungkinkan reinterpretasi hukum yang lebih relevan dengan kondisi masyarakat kontemporer. Misalnya, praktik yang merugikan kesehatan perempuan dan bertentangan dengan hak asasi manusia dapat ditolak berdasarkan prinsip maqashid al-shariah, yang menempatkan perlindungan jiwa (hifz al-nafs) sebagai salah satu tujuan utama syariah.

Lebih jauh, pendekatan ini dapat mendorong pengembangan fatwa atau kebijakan hukum yang lebih kontekstual. Misalnya, fatwa tentang khitan perempuan dapat menekankan bahwa praktik tersebut tidak wajib jika tidak ada manfaat yang jelas dan dapat ditinggalkan jika terbukti membahayakan. Hal ini sejalan dengan kaidah fikih yang menyatakan bahwa "al-'adah muhakkamah" (adat kebiasaan dapat menjadi dasar hukum) selama tidak bertentangan dengan syariah.

Melalui perspektif 'urf, khitan perempuan dapat dipahami sebagai praktik budaya yang harus dievaluasi berdasarkan relevansinya dengan prinsip-prinsip syariah dan kebutuhan masyarakat kontemporer. Dengan mempertimbangkan maqashid al-shariah, ulama dan pemikir hukum Islam dapat mendorong pembaruan hukum yang lebih inklusif dan progresif. Pendekatan ini tidak hanya menjaga otoritas tradisi Islam, tetapi juga memastikan bahwa hukum Islam tetap relevan dan responsif terhadap tantangan zaman, termasuk isu-isu hak asasi manusia dan kesehatan perempuan. Dengan demikian, khitan perempuan dapat direinterpretasi sebagai bagian dari dinamika hukum Islam yang terus berkembang, berakar pada tradisi tetapi terbuka terhadap perubahan demi kemaslahatan umat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun