Wabah coronavirus disease 2019 atau COVID-19 yang melanda seluruh negara di dunia menyebabkan krisis ekonomi berat. Salah satu upaya dari pemerintah untuk mencegah penyebaran COVID-19 dengan membuat kebijakan pembatasan fisik (physical distancing), mulai dari Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sampai Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).Â
Banyak aspek kegiatan yang terpaksa dihentikan, seperti pada aspek ekonomi sehingga mengakibatkan banyak masyarakat yang kehilangan penghasilan. Oleh karena itu, pemerintah harus memberikan fasilitas untuk segala kebutuhan masyarakat dan dapat memberikan kepastian bagi kesejahteraan masyarakat.
Pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial didapatkan bahwa ukuran tingkat kesejahteraan dinilai dari kemampuan untuk memenuhi kebutuhan material yaitu pendapatan, kebutuhan pangan, sandang, dan kesehatan dan spiritual yaitu pendidikan, keamanan, dan ketentraman hidup.Â
Pemerintah bertanggung jawab atas kesejahteraan masyarakat akibat konsekuensi kebijakan yang diambil dengan menyiapkan dana ratusan triliun biasa disebut bantuan sosial (bansos) untuk meringankan beban masyarakat yang terdampak COVID-19, terutama masyarakat menengah ke bawah. Namun, penyaluran bansos dalam situasi dan kondisi darurat COVID-19 mengalami penyimpangan yang dilakukan oleh pejabat, sehingga penyaluran kepada masyarakat tidak maksimal dan tidak tepat sasaran.
Tindak pidana korupsi terkait pengadaan bansos COVID-19 yang dilakukan oleh pejabat Juliari Peter Batubara selaku Menteri Sosial menyebabkan kerugian negara.Â
Sejak awal kemerdekaan sampai pasca reformasi bangsa Indonesia menghadapi permasalahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang telah menjadi sebuah budaya dan dianggap sebagai sesuatu yang wajar. Korupsi pada dasarnya berasal dari proses pembiasaan pelanggaran hukum yang akibatnya menjadi suatu kebiasaan buruk di Indonesia. Itulah sebabnya, terlebih pada masa pandemi COVID-19, masyarakat sering menuntut penegakan hukum terhadap Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) untuk memberantas para tindak pidana korupsi di Indonesia.
Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis telah menjadi suatu kejahatan luar biasa (extraordinary crime) karena merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat. Maka dari itu, dalam upaya pemberantasannya pun harus menggunakan cara-cara luar biasa.
Di sisi lain, peraturan perundang-undangan yang digunakan sebagai salah satu alat untuk memberantas korupsi selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan, sehingga KKN semakin merajalela dan kerugian negara meningkat hingga mencapai triliunan rupiah.Â
Kegagalan ini memunculkan akibat yang fatal bagi bangsa Indonesia yaitu kerusakan sosial yang berupa lunturnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, keadilan sosial semakin memburuk, kerugian yang ditanggung negara demi kepentingan pribadi atau kelompok.
Pada era saat ini, dukungan penegakan hukum terhadap tindak pidana dapat menyokong tercapainya good governance dan pembangunan ekonomi bangsa Indonesia. Hal ini sesuai dengan tujuan dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Untuk itu, diperlukan suatu metode penegakan hukum yang luar biasa, melalui pembentukan lembaga yang memiliki kewenangan luas, mandiri, dan khusus yang bebas dari segala kekuatan untuk memberantas korupsi dengan cara yang optimal, terpusat, efektif, dan transparan serta berkelanjutan.
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme atau yang biasa disebut dengan KKN kini menjadi perbincangan di setiap lapisan masyarakat. Bukan lagi menjadi sebuah fenomena KKN di Indonesia telah menjadi hal yang sangat biasa karena tidak hanya terjadi di pemerintahan pusat tetapi juga terjadi di pemerintahan daerah bahkan di pemerintahan desa.Â