Mohon tunggu...
ANGGITA MARALIA PUTRI
ANGGITA MARALIA PUTRI Mohon Tunggu... Guru - Guru SMA Negeri 10 Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara

Penikmat ilmu linguistik, pedagogik, dan psikologi. Bangga menjadi seorang muslimah dan istri dari Bapak Adi Wijoyo. Pembelajar seumur hidup. Belajar menulis di Kompasiana ;)

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Kita Sudah Makan Mi?

7 Desember 2012   15:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:02 8073
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Ketika membaca judul di atas, mungkin terkesan agak aneh untuk memaknainya. Haaaa.... mengapa kita bertanya kepada diri sendiri??? Kata “kita” merupakan kata ganti orang pertama jamak yang mencakup dua subjek yakni orang yang mengajak berbicara dan orang yang diajak berbicara. Hmmm... sepertinya ada “campur kode” bahasa pada pertanyaan tersebut, ucap saya dalam hati. Itulah yang pernah saya alami sekitar tiga tahun lalu ketika belum lama mengenal mantan pacar yang kini sudah menjadi suami, hehehe... Beliau bertanya itu kepada saya, “Kita sudah makan mi?”, lalu saya menjawab, “Saya dan kamu belum makan mie hari ini.” :D

Suami saya berasal dari suku tolaki. Suku ini merupakan suku asli di daratan Sulawesi Tenggara selain suku Muna dari Pulau Muna dan suku Buton yang berasal dari Pulau Buton. Sekitar abad ke-10 Daratan Sulawesi Tenggara memiliki dua kerajaan besar yaitu Kerajaan Konawe (Wilayah Kabupaten Konawe, Konawe Selatan, Konawe Utara) dan Kerajaan Mekongga (Wilayah Kabupaten Kolaka) secara umum kedua Kerajaan ini serumpun dan dikenal sebagai suku Tolaki.

Kembali pada “Kita sudah makan mi?”, ternyata maksud dari pertanyaan tersebut adalah apakah kamu sudah makan? Kata “kita” dalam bahasa Tolaki (juga dalam bahasa Makassar) bermakna Anda atau kamu (kata ganti orang kedua tunggal) yang bersifat formal dan sopan. Sementara itu, “mi” dalam bahasa Tolaki merupakan partikel imbuhan yang memiliki banyak makna. Pertikel “mi” dalam kalimat “Kita sudah makan mi?” berfungsi sebagai penegasan bahwa apakah kamu benar sudah makan. Beda halnya kalau kalimat, “makan mi!”, partikel “mi” bermakna mempersilakan atau mengajak. Sama artinya dengan kalimat, “Ayo makan!”. Dalam kalimat lain, misalnya ”bagus mi”, partikel “mi” berubah fungsi sebagai penegasan bahwa orang/benda yang dimaksud benar-benar bagus. Cukup membingungkan bukan? Hehehe... jangan bingung, kita dapat tarik rumus berdasarkan contoh kalimat di atas. Partikel “mi” yang diletakkan setelah kata kerja (verba) bermakna bahwa kalimat tersebut berupa kalimat imperatif (perintah atau ajakan). Contoh: (1) “Tutup mi pintu itu!” artinya tutuplah pintu itu, (2) “Ambil mi kue itu!” artinya ayo ambil kue itu atau ambillah kue itu. Nah, berbeda halnya jika partikel “mi” itu diletakkan setelah kata sifat (adjektiva) atau kata benda (nomina), maka partikel tersebut akan bermakna penegasan. Contoh: (3) “Cantik mi”, artinya orang/benda yang dimaksud benar-benar cantik, (4) “satu mi”, artinya benda/hal yang dimaksud hanya satu saja, dalam bahasa Indonesia kalimat tersebut bermakna “satu saja”. Nah, mudah bukan? :)

Oh ya, ada satu lagi pengalaman lucu saya seputar proses belajar bahasa Tolaki. Pada masa yang sama (tiga tahun yang lalu), saya bicara kepada calon suami, “Mas, nanti kita ketemu di kampus pukul 10 ya,” lalu dengan singkatnya ia jawab “iye.” Saya agak kesal mendengar jawaban itu karena pada masa itu kita belum kenal dekat, tapi mengapa ia menggunakan kata “iye”, kesannya kok kurang menghargai, ucap saya dalam hati. kata “iye” termasuk slang languagedalam bahasa Indonesia yang bermakna iya. Kata “iye” juga kerap diucapkan oleh orang Betawi dalam komunikasi sehari-hari. Huaaaaaaaa... setelah bertanya langsung kepada yang bersangkutan, saya paham dan menyadari bahwa kata “iye” dalam bahasa Tolaki (juga dalam bahasa Makassar) bermakna "iya" yang bersifat halus atau sopan. Wah, misscommunication lagi, saya jadi malu. :D

Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa ada beberapa kata dalam bahasa Tolaki dan bahasa Indonesia yang memiliki ejaan dan lafal yang sama, tetapi mempunyai artinya yang berbeda. Hal itu disebut homonim. Homonim dapat mudah menimbulkan kesalahpahaman bahasa. Saya kira itu wajar karena komunikasi antarbudaya seringkali diwarnai kesalahpahaman yang salah satunya diakibatkan oleh pengguna bahasa yang kurang memahami dengan baik makna dari salah satu unsur bahasa, yaitu kata. Saya menganggap bahwa perbedaan bahasa menjadikan hidup lebih kaya dan berwarna. Dalam komunikasi sehari-hari, saya dan suami tentu menggunakan bahasa Indonesia. Pada beberapa kesempatan, ada kalanya kami menggunakan bahasa daerah masing-masing yang tujuannya tidak lain untuk mengenalkan dan memperkaya referensi penguasaaan bahasa daerah kepada pasangan. Entah mengapa, sejak dulu, saya senang dan tertarik untuk belajar bahasa apa pun. Menurut saya, bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia ini sangat seksi untuk dipelajari karena memiliki aksen, dialek, melodi, dan kosakata yang unik dan khas. Terima kasih kepada suamiku, Adi Wijoyo, yang tidak pernah bosan menjadi kamus hidup bahasa Tolaki untukku.

Salam,

Orang Sunda yang sedang belajar bahasa Tolaki :)

Anggita Maralia Putri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun