Mohon tunggu...
Anggita Danyela Simamora
Anggita Danyela Simamora Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi S1 Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia

Do well do good

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

UU ITE dan Batasan Hak Bersuara Perawat di Media Sosial: Antara Kebebasan Berpendapat dan Kode Etik Profesi

28 Desember 2024   23:09 Diperbarui: 28 Desember 2024   23:09 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum dan Keperawatan (sumber: Pinterest)

Seperti yang kita ketahui, setiap orang memiliki kebebasan untuk berpendapat di media sosial. Di era digital saat ini, media sosial telah menjadi ruang terbuka bagi semua orang untuk mengekspresikan opini. Berbagai kalangan, mulai dari masyarakat umum hingga profesional, memanfaatkan media sosial sebagai sarana berbagi informasi dan menyuarakan aspirasi. Salah satu kelompok yang aktif menggunakan media sosial adalah perawat. Sebagai tenaga kesehatan, perawat tidak hanya berinteraksi dengan klien, tetapi juga sering memberikan edukasi kepada masyarakat melalui media sosial. Namun, di balik kebebasan berekspresi, terdapat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang menjadi pedoman hukum terkait aktivitas di dunia maya.

UU ITE mulai diberlakukan pada tahun 2008 dan dirancang untuk mengatur aktivitas di dunia maya, termasuk perlindungan hukum atas transaksi elektronik. Namun, dalam prakteknya, UU ini sering digunakan untuk menuntut orang yang menyampaikan pendapat di media sosial, termasuk kritik terhadap pemerintah atau tokoh terkenal. Hal ini menimbulkan kontroversi karena dianggap membatasi kebebasan berekspresi. Sebagian masyarakat menilai UU ITE penting untuk menjaga ketertiban di dunia maya, terutama dalam mencegah berita bohong atau ujaran kebencian. Namun, tidak sedikit juga yang mengkritik UU ini karena rawan disalahgunakan, sehingga menimbulkan rasa takut untuk berbicara secara terbuka. Beberapa kelompok bahkan menyerukan agar UU ini direvisi agar lebih melindungi hak kebebasan berbicara.

Ketentuan hukum mengenai konten media sosial diatur dalam Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29 UU ITE. Pasal 27 melarang distribusi atau akses konten yang melanggar kesusilaan, mengandung penghinaan, pencemaran nama baik, perjudian, pemerasan, atau pengancaman. Pasal 28 melarang penyebaran berita bohong yang merugikan konsumen dan konten yang memicu kebencian berdasarkan SARA. Pasal 29 mengatur larangan pengiriman konten yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti secara pribadi. Jika seseorang melanggar ketentuan ini, mereka dapat dikenai sanksi pidana sesuai Pasal 45, Pasal 45A, dan Pasal 45B UU 19/2016. Aturan ini bertujuan menjaga etika bermedia sosial, tetapi juga sering menjadi perdebatan karena dianggap dapat membatasi kebebasan berekspresi.

Secara umum, perawat memiliki kode etik profesi yang menjadi pedoman dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Kode etik perawat adalah serangkaian prinsip moral dan standar profesional yang mengatur perilaku perawat, baik dalam hubungan dengan pasien, keluarga, sesama tenaga kesehatan, maupun masyarakat. Dalam konteks ini, perawat dituntut untuk menjaga kerahasiaan pasien, menghormati hak asasi manusia, serta memberikan pelayanan yang aman, bermutu, dan berdasarkan nilai-nilai keadilan. Di Indonesia, kode etik perawat disusun oleh Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) sebagai acuan untuk memastikan perawat berperilaku sesuai standar profesi dan etika.

Dalam bersosial media, perawat harus tetap mengikuti kode etik profesi yang menuntut profesionalitas, integritas, dan penghormatan terhadap privasi pasien. Namun, dengan adanya UU ITE, terdapat potensi hambatan yang dapat mempersulit perawat menjalankan peran edukatif dan advokatifnya.

Poin-poin Pasal UU ITE yang Berpotensi Menimbulkan Ambiguitas

  • Pasal 27 Ayat 3 (Pencemaran Nama Baik): Jika perawat memberikan kritik terhadap institusi kesehatan atau kebijakan tertentu di media sosial, mereka berpotensi dianggap mencemarkan nama baik. Hal ini dapat membatasi kebebasan perawat untuk menyuarakan pendapat mereka meskipun kritik itu bertujuan untuk meningkatkan mutu pelayanan.
  • Pasal 28 Ayat 2 (Informasi yang Menimbulkan Kebencian): Jika perawat menyuarakan ketidakadilan sistem kesehatan atau isu sensitif lainnya, hal tersebut dapat dianggap "ujaran kebencian," meskipun sebenarnya itu merupakan bagian dari tanggung jawab moral terhadap masyarakat dan profesi.
  • Pasal 29 (Ancaman Kekerasan atau Menakut-nakuti): Kritik yang tajam terhadap kebijakan kesehatan atau sistem kerja dapat disalah artikan sebagai ancaman, meskipun tidak dimaksudkan demikian. Hal tersebut dapat membatasi kebebasan berekspresi perawat sebagai bagian dari peran profesional mereka.
  • Pasal 27 Ayat 1 (Konten Melanggar Kesusilaan): Unggahan edukatif perawat terkait isu kesehatan (misalnya, edukasi tentang organ tubuh atau reproduksi) berpotensi dianggap melanggar kesusilaan oleh pihak yang salah tafsir, meskipun konten tersebut bertujuan baik.

Masalah Umum dalam Pasal-pasal UU ITE

  • Multitafsir dan Subyektivitas: Definisi dalam Pasal-pasal UU ITE sangat luas dan subjektif, sehingga rawan disalahgunakan untuk menjerat orang-orang yang tidak bersalah atau yang hanya menyuarakan opini.
  • Tidak Ada Batasan yang Jelas: Pasal-pasal UU ITE tidak memberikan perlindungan atau pengecualian untuk kritik konstruktif, diskusi publik, atau ekspresi opini yang sah.
  • Penyalahgunaan untuk Kepentingan Pribadi atau Politik: Kasus UU ITE sering dilaporkan digunakan untuk membungkam aktivis, jurnalis, atau pihak yang mengkritik pemerintah atau tokoh berpengaruh.

Dalam era digital, media sosial menjadi sarana penting bagi perawat untuk berbagi informasi, edukasi, dan kritik konstruktif demi meningkatkan pelayanan kesehatan. Namun, keberadaan UU ITE menghadirkan tantangan, yakni berpotensi multitafsir dan membatasi kebebasan berekspresi. Pasal-pasal ini tidak memberikan batasan yang jelas terhadap kritik profesional atau edukasi publik, sehingga rawan disalahgunakan. Padahal, perawat memiliki tanggung jawab moral untuk menyuarakan isu-isu yang berdampak pada kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan revisi atau penegasan terhadap UU ITE untuk memastikan perlindungan kebebasan berpendapat, tanpa mengabaikan tanggung jawab etis profesi. Dengan demikian, perawat dapat menjalankan peran edukator dan advokator di media sosial secara lebih aman dan efektif.

Referensi

Republik Indonesia. (2008). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Diubah melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun