13 Oktober 2001, 17 tahun yang lalu seorang anak perempuan dilahirkan di Rumah Sakit Angkatan Darat Kesdam Udayana Denpasar, Bali. Dia terlahir dari pasangan suami dan istri yang telah menunggu delapan tahun lamanya---untuk kehadiran seorang anak---terhitung dari hari pernikahan mereka.Â
Anak itu diberi nama Sri Nararia Anggita Damayanti---Anggita, panggilan akrabnya---yang artinya adalah wanita yang memenuhi kedudukan tertinggi, memberi kemakmuran, datang diiringi nyanyian suci dengan berapi-api, dan mampu menasehati diri sendiri. Apakah namanya terdengar aneh? Atau terlalu rumitkah? Memang benar, nama anak itu cukup sulit untuk diingat dan sedikit terdengar kejawen. Tetapi, pada kenyataannya nama anak tersebut berasal dari Bahasa Sansekerta.
Bagaimana karakter Anggita? Jika digali lebih dalam lagi, nama anak perempuan tersebut sudah mencerminkan sifat-sifat yang Ia miliki. Selain nama, sifat anak perempuan ini juga sudah bisa dilihat dari weton atau penanggalan hari lahir pada kalender Jawa (keluarganya adalah pemegang teguh adat dan istiadat leluhur). Pada penanggalan kalender Jawa, tanggal 13 Oktober 2001 jatuh tepat pada hari sabtu paing. Sabtu paing dalam penanggalan Jawa memiliki urip berjumlah 18 yang bertindak sebagai urip tertinggi.Â
Oleh karena itu, dijelaskan bahwa seseorang yang terlahir pada urip tersebut memiliki karakter lakuning geni, aras kembang. Lakuning geni, aras kembang ini memiliki deskripsi sebagai seseorang yang ambisius, loyal, dermawan, bekerja keras dalam suatu pekerjaan, dapat memahami keadaan yang sedang terjadi, cepat dalam bertindak solutif, bijaksana, memegang teguh keyakinan yang ia miliki, dan pandai mengendalikan massa. Akan tetapi, sifatnya yang keras kepala, angkuh, dan pendendam membuat dia bisa memiliki banyak musuh.
Denpasar, November 2001, masalah mulai timbul dalam keluarga kecil itu. Mamanya sudah menghabiskan masa cuti pekerjaan karena kehamilan dan kelahiran anak perempuannya itu. Ia tidak dapat mengajukan cuti yang lebih panjang lagi. Ia harus segera kembali bekerja seperti semula. Papa---yang bekerja sebagai pemandu wisata untuk turis asing---yang mengetahui permasalahan ini berpikir untuk mulai menggantikan pekerjaan mama untuk merawat anak itu dan melakukan pekerjaan rumah ketika sang mama bekerja.Â
Lalu bagaimana tentang pekerjaan sang papa? Tenang saja, papanya memiliki jadwal yang cukup mudah untuk diatur dan dapat bergantian dengan jam kerja sang mama (bekerja sebagai pemandu wisatawan asing membuat sang papa memiliki jam terbang yang bergantung pada ada dan ketiadaan tamu asing yang memesan jasanya melalui sebuah perusahaan travel).
Solusi tersebut cukup berjalan efektif selama 2 bulan lamanya. Tidak ada gangguan yang menghalangi kegiatan tukar-menukar jadwal dan waktu untuk merawat bayi yang tumbuh semakin besar itu. Tetapi, masalah yang sama muncul sampai pada suatu saat ketika masa liburan datang dan terjadi lonjakan wisatawan asing maupun domestik secara drastis.Â
Sang papa diminta menjalankan tugasnya sebagai pemandu wisata untuk mengantarkan tamu asing ke luar kota dalam perjalanan liburan selama 4 hari atau lebih. Hal ini menyebabkan gangguan terhadap jadwal yang telah dibuat oleh mama dan papa anak tersebut. Sang papa lebih sering keluar kota beberapa bulan ini dan sang mama harus tetap bekerja setelah masa cuti kehamilannya. Lalu bagaimana dengan anak itu? Anak itu terpaksa harus dititipkan kepada tetangga mereka. Berbekal susu, popok bayi, bedak, dan makanan yang diberikan kepada tetangganya, sang mama meninggalkan anak itu untuk pergi bekerja.Â
Masalah ini terus terjadi melihat keadaan papa dan mama yang sangat sibuk. Tidak ingin merepotkan karena anaknya terus-menerus dititipkan kepada tetangga, keputusan pun dibuat. Anak itu akan dirawat oleh neneknya yang ada di Banyuwangi, Jawa Timur. Sebenarnya, mama adalah orang yang terlihat paling tersakiti dalam keputusan ini.Â
Mengapa? Karena ia harus berpisah kembali untuk sementara waktu dengan anak perempuannya yang baru 3 bulan bersamanya setelah sebelumnya ia harus menunggu selama 8 tahun lamanya untuk melihatnya lahir ke dunia. Dengan berat hati mama dan papanya harus melakukan keputusan itu atas tuntutan pekerjaan yang terus bertambah.
Beberapa bulan telah berlalu, mama dan papanya sudah mulai terbiasa dengan keadaan mereka yang berada jauh dari putrinya dan melewatkan masa-masa melihat pertumbuhan sang anak pada usia dini. Hanya berlalu empat bulan lamanya, Anggita sudah tumbuh menjadi seorang anak yang lucu dan berbadan bulat. Anggi tumbuh begitu cepat. Bahkan ia sudah mampu menirukan beberapa kata yang diajarkan kepadanya, seperti mama, papa, uti, akung, ibu, dan ayah. Ia juga sudah bisa berdiri dengan tumpuan kakinya sendiri.