Mohon tunggu...
Sri Nararia Anggita Damayanti
Sri Nararia Anggita Damayanti Mohon Tunggu... -

One of SA Choir (Voix de la Nation) members; Sedang dalam proses bimbingan untuk menulis*

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Human-is-me

26 Mei 2017   20:36 Diperbarui: 26 Mei 2017   20:44 506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak penjelasan yang menjabarkan tentang apa itu humanisme. Namun salah satu penjelasan yang paling singkat dan sederhana tentang humanisme adalah paham kemanusiaan. Paham kemanusiaan disini berarti suatu paham, pengetahuan, atau pendapat tentang sifat-sifat yang dimiliki oleh manusia; menjadi manusia dan memanusiakan manusia. Sifat-sifat itu biasanya dikeluarkan pada kegiatan sehari-hari tanpa disadari. Sifat-sifat tersebut dibawa tanpa sadar dalam tata cara hidup manusia itu sendiri. Tata cara hidup yang dianut oleh setiap orang.

Tingkah laku sehari-hari yang menggambarkan bagaimana manusia itu hidup itulah yang akhirnya menimbulkan anggapan adanya humanisme. Tingkah laku dan tata cara hidup yang dianut oleh orang banyak yang akhirnya menimbulkan adanya standar dalam bertingkah laku yang baik dan benar. Tingkah laku ini tidak jauh dari adanya etika baik yang telah diajarkan turun-temurun. Ajaran beretika baik ini biasanya diajarkan oleh agama masing-masing untuk menghormati setiap individu yang ada di dunia ini, termasuk juga mahluk hidup lainnya.

Sebelum melangkah lebih jauh lagi, mari kita mengenal tentang dasar dari humanisme itu sendiri, manusia. Menurut sosiolog, manusia adalah mahluk hidup yang selalu bergantung dengan orang lain. Secara hakikatnya, manusia selalu membutuhkan bantuan manusia lain dalam kehidupannya sendiri, bahkan sejak lahir hingga akhir usianya. Manusia biasanya melakukan berbagai hal yang dapat mengembangkan aspek potensi diri. Dan dengan itu, mereka telah mencoba untuk melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan, yaitu sesuatu yang sejalan dengan humanisme.

Mulai kembali lagi kepada humanisme. Kehidupan sehari-hari yang sejalan dengan humanisme yaitu kehidupan yang sejalan dengan tata cara mereka hidup, aturan-aturan hidup dalam kehidupan manusia yang seakan-akan diatur dalam anggapan humanisme. Anggapan humanime ini masih berhubungan dengan pikiran-pikiran positif manusia itu sendiri. Pikiran-pikiran positif tersebut sejalan dengan anugerah yang Tuhan berikan, yaitu akal sehat itu sendiri. Dari sana, lahirlah pikiran untuk bertoleransi, dan pikiran yang berhubungan dengan kodrat manusia atau penyetaraan level antara seorang manusia satu dengan manusia yang lannya, rasa ingin tahu terhadap diri sendiri dan sesuatu, dan sebagainya.

Namun, anugerah Tuhan, atau yang disebut akal budi itu dapat menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, akal budi yang menjadi landasan humanisme itu dapat melahirkan berbagai teori-teori cerdas. Teori-teori tersebut dapat menjadi suatu landasan atau bahkan tiang-tiang pembangun negeri itu sendiri. Contohnya adalah teori jika kita harus menghormati sesama manusia, bertoleransi terhadap sesama manusia, dan beberapa teori matematika lain yang dapat memimpin dalam pembangunan besar. Disamping itu, akal budi tersebut juga memiliki dampak buruk, yaitu dapat melahirkan berbagai pendapat dan anggapan buruk di tengah banyaknya manusia di dunia. Pendapat atau anggapan buruk ini dapat menjadi palu penghancur tiang-tiang pembangun, atau dengan kata lain dapat menjadi palu perusak bangsa. Salah satu contoh anggapan tersebut adalah anggapan bahwa manusia merupakan mahluk tertinggi di dunia ini, oleh karena itu manusia harus menundukkan mahluk lain dan bahkan alam atau manusia lain yang ada di dunia ini.

Maka dari itu, akhirnya lahirlah suatu anggapan yang disebut humanisme. Humanisme itu sebelumnya diciptakan agar adanya peraturan-peraturan agar dapat ‘mengekang’ akal budi yang buruk tersebut. Namun dalam pelaksanaannya, akhirnya humanisme yang semakin lama akhirnya menjadi besar dan akhirnya semakin mengaburkan tembok pemisah antara akal budi manusia yang baik dan akal budi manusia yang buruk. Humanisme ini lama kelamaan menciptakan warna baru yang menggabungkan warna putih dan hitam yang menjadi warna abu-abu.

Dari penjelasan diatas, dapat sedikit ditarik kesimpulan bahwa humanisme sebenarnya adalah hal yang baik. Humanisme terbentuk diatas landasan anugerah Tuhan yang diberikan kepada setiap manusia, akal budi. Akal budi yang menjadi pisau bermata dua; baik dan buruk, putih dan hitam. Humanisme ‘diciptakan’ untuk ‘mengekang’ akal budi yang buruk itu, namun dalam pelaksanaannya malah menciptakan warna baru, yaitu abu-abu. Maka dari itu, humanisme akan baik jika kita kembali kepada hakikat kita yang sebenarnya, menjadi manusia yang baik. Namun itu semua hanya dapat tergantung pada diri setiap manusia itu sendiri, kembali lagi kepada diri kita sendiri lagi; human is me, manusia adalah saya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun