Ilmu ekonomi sejatinya merupakan ilmu yang digunakan saat rumah tangga atau masyarakat harus mengatur kehidupan dengan melakukan pilihan-pilihan terbaik untuk memaksimalkan kepuasan menggunakan sumber daya terbatas yang mereka miliki. Walaupun begitu, pada akhirnya pihak yang harus membuat keputusan nantinya bisa dalam skala lebih kecil yakni individu, atau skala lebih besar seperti pemerintah. Salah satu hal penting yang bisa ditarik dari prinsip dasar ilmu ekonomi adalah bagaimana seseorang bisa membuat pilihan terbaik dalam hidup. Artikel ini tidak akan membicarakan bagaimana peran ilmu ekonomi dalam mendasari keputusan pemerintah mengambil kebijakan yang tepat atau keputusan pengusaha untuk memaksimalkan profit mereka, namun akan membahas secara lebih mikro bagaimana individu bisa menggunakan seni memilih menggunakan ilmu ekonomi. Kita adalah manusia, makhluk sosial, yang secara rasional pasti ingin selalu mendapatkan yang terbaik dalam hidup ini. Pada umumnya, keputusan yang dibuat oleh manusia dibatasi oleh terbatasnya sumber daya yang dimiliki. Sumber daya ini bukan hanya uang, tapi bisa juga berupa waktu atau tenaga. Selain itu untuk mengambil keputusan terbaik juga didasari atas pilihan-pilihan apa saja yang kita miliki. Pertanyaan dalam mengambil keputusan terbaik dari sekian banyak pilihan yang ada yakni, mana yang harus kita pilih? Pertanyaan tersebut dapat dijawab menggunakan dasar logika ilmu ekonomi. Dalam ilmu ekonomi, pilihan bukan hanya didasari oleh biaya yang tersurat (eksplisit), namun juga biaya yang tersirat (implisit). Terdapat juga konsep opportunity cost atau biaya pengorbanan yang timbul untuk menggunakan sumber daya bagi tujuan tertentu, yang diukur dengan manfaat yang dilepas karena tidak digunakan untuk tujuan lain. Secara singkat, konsep memilih menggunakan ilmu ekonomi dapat digambarkan melalui diagram berikut.
This image is courtesy of Anggita Cinditya Contoh sederhana dalam mengambil keputusan dari beberapa pilihan yang tersedia adalah dalam keputusan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi atau langsung terjun ke dalam pasar tenaga kerja selepas SMA. Biaya yang dikeluarkan jika memilih untuk meneruskan pendidikan tentunya terdiri dari biaya eksplisit berupa biaya kuliah dan alat-alat penunjang kuliah. Namun ilmu ekonomi juga memperhitungkan biaya implisit berupa gaji yang "hilang" karena tidak mengambil kesempatan untuk bekerja. Lalu kenapa seseorang memilih untuk kuliah? Hal ini tentunya berdasarkan pertimbangan bahwa dengan gelar pendidikan yang lebih tinggi maka di masa depan pendapatan yang diperoleh juga akan lebih tinggi ketimbang pendapatan untuk pekerja tingkat SMA. Bahkan setelah lulus sarjana maka (sebagian besar) orang akan mendapatkan penghasilan yang lebih tinggi dari lulusan SMA yang telah bekerja bertahun-tahun. Hal ini tentu dengan asumsi bahwa orang tersebut mampu membiayai kuliahnya hingga mampu memasukkan option "kuliah" dalam keputusan hidupnya. Harus diingat bahwa opportunity cost hanya memperhitungkan manfaat yang hilang dari pilihan terbaik kedua yang seseorang miliki. Istilah bahasa inggrisnya adalah the value of the next best alternative foregone. Jadi jika kita memiliki 3 alternatif pilihan yang harus diambil, misalnya:
- Investasi di deposito dengan net benefit sebesar 15 juta rupiah
- Investasi di reksadana dengan net benefit sebesar 23 juta rupiah
- Investasi di ORI (Obligasi Retail Indonesia) dengan net benefit sebesar 11 juta rupiah
Tentunya kita harus memilih alternatif yang memiliki opportunity cost paling besar, yakni investasi di reksadana (yang jika tidak kita ambil maka kita akan kehilangan manfaat sebesar 23 juta rupiah). Lalu berapakah nilai opportunity cost dari ketiga pilihan di atas? Apakah sebesar 26 juta rupiah (15 juta rupiah dari deposito + 11 juta rupiah dari ORI)? Bukan, opportunity cost dari pilihan di atas adalah sebesar 15 juta rupiah, karena manfaat terbaik kedua terbesar yang hilang adalah dengan tidak berinvestasi di deposito. Logika ini bisa digunakan dalam kehidupan sehari-hari, dimana kita sebaiknya membuat prioritas terbaik dari segala pilihan yang ada, sebelum memutuskan pilihan yang harus kita ambil. Ingatlah untuk selalu mempertimbangkan biaya tersurat dan tersirat, bukan hanya biaya yang tertera di atas kertas. Dan di luar itu semua, ada faktor-faktor yang menjadi preferensi masing-masing orang yang tidak dapat diperhitungkan secara ekonomi, misal kepuasan batin atau prestige. Keterbatasan yang kita miliki sebaiknya tidak membatasi ruang gerak, melainkan mendorong kita mengambil keputusan terbaik dari berbagai alternatif yang ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H