Cinta bukan sekedar soal menerima apa adanya. Cinta adalah harga diri. Cinta adalah rasionalitas sempurna (Sepotong Hati Yang Baru, hal. 51)
Awalnya Sudah lama saya tahu bahwa Tere Liye adalah seorang penulis yang cukup produktif. Saya sendiri tidak begitu tahu persis kapan Tere Liye merilis karyanya yang pertama. Yang jelas, hingga saya menamatkan pembacaan buku ini, kesannya sebagai penulis produktif belum berubah dalam imaji saya. “Sepotong Hati Yang Baru” adalah perkenalan saya yang pertama dengan sosok kepenulisan Tere Liye. Terima kasih kepada istri saya yang mengantarkan saya pada karya-karya Tere Liye. Ada beberapa buku yang judulnya saya cukup kenal menghiasi rak di kamarnya. Akhirnya, akhir bulan ini saya putuskan untuk mulai membaca buku-buku itu satu per satu. Dimulai dari yang paling tipis. Edisi Perkenalan Kumpulan cerpen ini berisi delapan cerita pendek yang lumayan panjang. Maksudnya, tanpa mengurangi takdir cerpen yang hanya habis dibaca sekali duduk, beberapa cerita didalamnya punya alur yang sangat detail dan dinamis. Saya kagum pada kekuatan penceritaan dan gaya bahasa sang penulis. Dengan begitu padu, menjadikan buku ini tidak sekedar kumpulan cerpen biasa. Cerpen pertama “Hiks, Kupikir Itu Sungguhan” berkisah tentang kisah muda-mudi yang berada di ambang kegalauan masa mudanya. Tere Liye berhasil mengangkat sebuah fenomena kecil menjadi objek cerita yang ringan namun nyata dan ada dalam keseharian kita. Terlebih dengan boomingnya media sosial, terutama Facebook, membuat cerita ini begitu lekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Tentang cinta yang bertepuk sebelah tangan, tentang sebuah perasaan bernama GR alias gede rasa. “Kisah Sie Sie” adalah cerpen yang menurut saya cukup dinamis dan lugas dalam penceritaan. Dengan alurnya yang demikian, saya merasa seperti membaca sebuah kisah nyata di tabloid khusus perempuan. Penulis mengangkat satu fenomena yang telah terjadi berulang-ulang di Singkawang, Kalimantan Barat. Soal pernikahan WNI keturunan/peranakan Tionghoa dengan WNA yang sengaja datang kesana. Alasan ekonomi seringkali menjadi faktor yang menyebabkan para perempuan muda disana rela untuk diperistri orang asing dan dibawa ke negaranya. Saya kagum dengan tokoh Sie Sie yang menepati janjinya untuk mencintai suaminya apa adanya walau harus mengalami berbagai penolakan dan siksaan. “Sepotong Hati Yang Baru” kiranya mewakili seluruh penjiwaan atas penulisan buku ini. Banyak alasan yang menyebabkan seseorang patah hati. Tak terkecuali, satu keputusan yang diambil menjelang hari pernikahan yang menghancurkan semua imaji tentang cinta dan kebahagiaan itu sendiri. Bagaimanapun susahnya, si Aku dalam cerita ini berhasil menumbuhkan sepotong hati yang baru untuk mengganti sepotong lainnya yang terlanjur dibawa pergi sang mantan kekasih. Dengan potongan hatinya yang baru ini, ia berhasil menolak si mantan untuk kembali mengikat janji. Sebuah pembalasan yang setimpal. Siapa menabur, maka dia akan menuai. Legenda Sam Pek dan Eng Tay yang tersohor itu kini diceritakan kembali dalam “Mimpi-Mimpi Sampek Engtay”. Tere Liye menulis kembali cerita ini dengan detail yang cukup istimewa. Saya teringat kembali sebuah yel yel wajib di kalangan mahasiswa, “Mahasiswa Bersatu Tak Bisa Dikalahkan”. Khusus untuk Sam Pek dan Eng Tay berlaku “Dua Cinta Bersatu Tak Bisa Dikalahkan” walau kadang maut akhirnya memisahkan. Moral dari cerita tentang ketulusan adalah hal yang selalu menarik untuk diceritakan kembali, apapun bentuknya. “Itje Noerbaja & Kang Djalil” adalah cerpen yang unik. Saya kembali teringat pada kalimat-kalimat pengantar cerpen dalam kumpulan cerpen Seno Gumira Ajidarma, “Sepotong Senja Untuk Pacarku” dimana terdapat kalimat dengan ejaan lama. Hal ini saya temukan kembali pada cerpen ini. Cerpen yang berkisah tentang usaha pergerakan dari para babu dan centeng di zaman kolonial Belanda. Kisah romantis dan heroik ini seakan mengingatkan kita kembali pada sejarah yang tak tercatat. “Kalau Semua Wanita Jelek” adalah cerita yang berbau feminin. Seorang perempuan tentu mendambakan tubuh ideal yang diterjemahkan dalam bahasa umum sebagai langsing atau kurus. Terkadang, hal yang demikian itu menyesatkan. Bahwa sesungguhnya kecantikan itu relatif. Mungkin benar adanya pepatah lama itu, kecantikan sesungguhnya terpancar dari hati. Seperti halnya legenda Sam Pek dan Eng Tay, kisah Sri Rama dan Shinta tidak pernah selalu kadaluwarsa untuk diceritakan kembali. “Percayakah Kau Padaku?” adalah gugatan untuk Rama. Ketulusan cinta rama pada Shinta diuji disini. Personally, kisah Rama-Shinta sejatinya adalah kisah romantis karena mereka saling mencintai. Namun, belakangan ini saya memang meragukan ketulusan Rama pada Shinta. Bisa jadi Rahwana lah yang benar-benar mencintai Shinta dengan tulus. Kalau Rama masih cinta pada Shinta , mengapa ia mesti meragu pada Shinta yang telah diculik dan diselamatkannya dari api cinta Rahwana? “Buat Apa Disesali...” adalah sebuah kisah cinta klasik (entah juga klise) yang menimpa Hesty dan Tigor. Bagian terbaik cerita ini adalah sisipan lirik lagu yang dinyanyikan sepenuh jiwa oleh Rita Effendy, ‘Selamat Jalan Kekasih”. Konklusi Secara keseluruhan, saya menikmati pembacaan perkenalan saya dengan Tere Liye. Buku ini adalah buku sekuel dari serial ‘Berjuta Rasanya’. Tak harus membaca edisi pertama untuk memahami edisi sekuel ini. Tulisannya tidak hanya mengalir dengan bahasa yang mudah dipahami. Penulis pun piawai dalam memainkan karakter sekaligus menyertakan beberapa pelajaran dan makna yang hidup ini sediakan. Judul : Sepotong Hati Yang Baru Penulis : Tere Liye Penerbit : Mahaka Publishing Tahun : 2012 Tebal : 206 hal. Genre : Kumpulan Cerpen Dharmawangsa, 28 Februari 2015.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H