Setiap pagi, pria paruh baya mempersiapkan dirinya sendiri dengan penampilan yang sederhana, kaos bekas pemberian salah satu kantor berita media cetak ternama dipilihnya dibalut dengan celana training dan tidak lupa topi berbahan jeans dikenakan sebagai penyangga atas panasnya hari di kota Denpasar yang semakin mendekati siang panasnya semakin tidak karuan. Dalam perjalanannya mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya beliau menempuh perjalanan yang bisa dibilang “cukup” melelahkan. Menuju tempat distributor koran pilihannya perlu dua kali pindah transportasi umum, yang biasa kita kenal sebagai “angkot”. Belum lagi setelah itu perlu berjalan sejauh 2 kilometer untuk mencapai tempat dimana ia ditempatkan untuk berjualan yakni Pasar Kumbasari atau yang umumnya lebih dikenal oleh khalayak umum sebagai Pasar Badung. Beliau adalah Sulisno yang kerap disapa juga sebagai cak kentul.
Di lingkungannya, cak kentul memiliki profesi yang bisa dibilang sudah hampir lapuk termakan zaman. Beliau adalah salah satu penjual koran yang masih ada dan akan terus berjualan koran yang nyatanya sudah tidak terlalu laku di era digital sekarang. Meskipun satu persatu teman-teman seperjuangan beliau sudah “menyerah” atas profesi yang usang ini, beliau enggan untuk menyerah dan tetap berjualan koran sebagai bentuk dedikasinya terhadap cara tradisional yang kerap dianggap kuno oleh berbagai pihak. Tidak bisa kita pungkiri kemajuan teknologi yang pesat kian kini mulai merebut dan mengambil alih satu persatu profesi-profesi “kuno”. Cara-cara tradisional dalam berliterasi yang kita kenal dengan menunggu berita terbaru setiap pagi melalui surat kabar yang dijual oleh tukang koran kemudian membuka dan melihat-lihat serta membaca satu persatu berita surat kabar kian kini tergantikan oleh kecanggihan teknologi yang kian hari membaur dan hidup berdampingan dengan manusia pada era sekarang. Padahal menurut beliau sendiri, cara tradisional memiliki rasa yang tidak akan tergantikan sepanjang zaman. Baginya surat kabar berita yang dicetak seperti koran yang dijual bukan hanya sekedar informasi, melainkan jembatan yang menghubungkan dia dengan para pelanggan setianya. Cak kentul masih menghargai betapa indahnya sentuhan kertas dan tinta dalam hiruk pikuk digitalisasi di era disrupsi media berita ini. Memang benar adanya, beliau yang kian hari makin resah atas pekerjaan yang ditekuninya pada akhirnya kalah semudah menggeser layar handphone.
Bisa kita ketahui dan bayangkan kembali profesi yang ditekuni cak Kentul telah menjadi bagian lanskap urban yang menghiasi kehidupan rakyat indonesia selama lebih dari dua dekade ini. “bagi saya ini bukanlah pekerjaan yang ketinggalan zaman kok.” Sahut cak Kentul setelah lama kami duduk berbincang tentang teknologi canggih yang mengusir profesinya di pinggiran sungai pasar Badung. Saya mengajukan beberapa pertanyaan yang salah satunya adalah “apakah dengan berjualan koran di era yang serba digital sekarang ini masih bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari?”. Senyuman tipis dengan mata yang menyipit termakan usia beliau terdiam sejenak, dan berkata hal-hal yang bagi saya sulit untuk dilakukan pada manusia era sekarang ini. beliau memberikan pernyataan yang cukup membuat diri saya sendiri terkejut, “memang pekerjaan ini tidak akan atau bahkan mustahil jika dipikirkan untuk mencukupi kehidupan pada zaman ini, tetapi saya tetap bersyukur kok, ini adalah salah satu mata pencaharian saya yang cocok untuk orang berumur seperti saya. Kuncinya adalah rasa bersyukur atas segala pemberian Allah SWT kepada kita, pekerjaan apapun jika kita ikhlas dan sungguh-sungguh akan terasa cukup untuk menghidupi kehidupan saya sendiri. Kalau ga percaya liat aja berita koran ini (sambil menunjukkan kasus korupsi yang sedang viral belakangan ini) mereka yang tidak pernah bersyukur pada pemberian Allah SWT yang berupa pekerjaan yang layak serta gaji yang besar tidak akan pernah merasa cukup dan selalu mencari-cari dunia yang tak akan ada habisnya, jadinya apa coba? ya ditangkep polisi juga kan hahahahaha...... ”. Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Meskipun profesi yang usang termakan zaman ini sudah hampir jarang kita temui ternyata masih ada orang yang tetap mempertahankannya bahkan memiliki prinsip serta nilai- nilai hidup yang menjadikan profesi ini lebih mulia daripada seperti kelihatannya. Hidup sederhana yang berkecukupan lebih baik daripada banyak harta tetapi tak pernah mau untuk bersyukur atas apa yang dimiliki.
Memang di zaman sekarang yang mengalami distorsi media berita menjadikan penjualan koran cak kentul tidak ramai seperti 10 tahun yang lalu, meski begitu, cak kentul enggan untuk menyerah dan percaya bahwasannya masih ada nilai yang terkandung dalam setiap koran-koran dari berbagai media cetak yang ia bawa tidak bisa digantikan dengan layar-layar canggih. Beliau menambahkan satu pendapat “koran itu lebih dari sekedar berita, tetapi tentang kualitas dan kuantitas yang terkandung didalamnya”, melalui cara tradisional seperti pencarian berita oleh para wartawan jurnalistik yang kemudian diserahkan kepada editor untuk dipilah dan disunting kembali sampai tiba saatnya dicetak secara massal untuk para penikmatnya, menjadikan berita yang ada pada koran-koran cak kentul ini memiliki kredibilitas yang tak mungkin bisa ditandingi oleh media digital apapun. Saat ditengah percakapan yang menyenangkan dengan beliau ini, ada sahut memanggil nama beliau dari kejauhan yang berarti beliau harus kembali bekerja untuk menjual koran-koran kebanggannya kepada pelanggan setianya.
Sebelum beranjak menghampiri panggilan beliau berkata “kecintaan saya terhadap cara tradisional dalam penyebaran berita menjadikan semangat tersendiri untuk terus banngkit dan tetap menekuni profesi sebagai penjual koran, toh pasti ada saja yang menunggu berita yang kredibel di koran ini setiap harinya. Yah meskipun sudah ada itu layar geser-geser punyamu” (menunjuk kepada handphone yang saya pegang selama sesi berbincang dengan beliau). “Secanggih apapun teknologi yang ada pada zaman ini ataupun 5 tahun kedepan lagi, orang-orang akan tetap menggunakan cara yang tradisional seperti membaca koran saya ini.” senyum khas beliau meninggalkan kesan yang sangat mendalam tentang bagaimana profesi pekerjaan yang kita anggap kuno bisa saja memberikan arti sendiri kepada semua orang disekitarnya. beliau mungkin hanya seorang penjual koran, tetapi bagi mereka yang mengenalnya, beliau adalah pustakawan jalanan, atau bahkan seseorang dengan segudang pengalaman yang tak ternilai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H