Mohon tunggu...
Anggie D. Widowati
Anggie D. Widowati Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Psikolog, Pegiat Literasi

Penulis Novel: Ibuku(Tidak)Gila, Laras, Langit Merah Jakarta | Psikolog | Mantan Wartawan Jawa Pos, | http://www.anggiedwidowati.com | @anggiedwidowati | Literasi Bintaro (Founder)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ospek, Kekerasan Warisan

13 September 2014   11:52 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:49 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Usai menjemput anak sekolah, sambil menikmati makan siang, saya menyalakan televisi. Suguhan berita-berita Nasional memenuhi ruangan. Mulai berita politik, ekonomi, daerah, kesehatan, entertein dan juga berita kriminal. Salah satu berita kriminal itu menarik perhatian saya.

Kaget campur geram hati saya ketika layar televisi menampilkan sebuah peristiwa ospek di Universitas Lampung. Dari sebuh candid camera direkam sebuah peristiwa tahunan yang biasanya diberlakukan untuk mahasiwa baru di sebuah universitas.

Semua mahasiswa baru itu mengenakan jas almamater berwarna biru muda. Kepalanya pelontos. Mereka diarak oleh beberapa mahasiswa dengan berpakaian bebas, bahkan ada yang bercelana pendek memasuki sebuah lapangan. Setelah sampai di lapangan, mereka disuruh tidur tengkurap dengan kepala menghadap tanah. Dan para seniornya hilir mudik ke sana kemari memeriksa setiap mahasiswa sambil teriak-teriak. Bila ada ada yang mengangkat muka dari permukaan tanah, kepalanya akan di dorong kembali menghadap tanah.

Miris hati saya melihat perilaku kekerasan justru terkuak dari sebuah lembaga pendidikan tinggi. Orang-orang terpelajar, harusnya mulai membuka diri pada sebuah pandangan yang manusiawi, bukannya mengajarkan kekerasan pada yunior pada khususnya dan pada masyarakat luas pada umumnya. Resiko-resiko kekerasan semacam itu pastilah sudah mengintai. Apalagi ospek sudah pernah menelan korban jiwa.

Di negara maju, seperti Amerika misalnya, ketika seorang anak masuk sekolah, mereka akan mendapatkan perlindungan kesehatan dan jiwa, atau semacam asuransi. Bahkan mereka juga harus memberikan health report yang dikeluarkan oleh pemerintah setempat. Sehingga kesehatan mereka selalu terpantau. Bagaimana dengan kita? Kalau sampai ada yang meninggal di ospek, ramai sebentar di media massa, lalu hilang lagi seperti tak pernah terjadi apa-apa. Begitu murahnya harga nyawa di negara Pancasila sini.

Kenapa masih terus berulang? Kenapa universitas bisa kecolongan peristiwa ini? Seharusnya memang cara-cara ospek semacam ini sudah ditiadakan. Dan setahu saya memang sudah dilarang. Biasanya itu hanyalah kegiatan yang dilakukan oleh organisasi mahasiswa di dalam sebuah universitas.

Pengenalan mahasiswa baru dan "uji mental" semacam ospek ini, mungkin perlu. Hanya caranya saja yang harus dirubah. Misalnya dengan mengadakan bakti sosial pada masyarakat sekitar kampus. Kampanye anti narkoba keliling kota, Atau mungkin kegiatan yang butuh nyali, seperti mengajar dan memberikan penyuluhan kesehatan di desa-desa. Yang jelas, kegiatan itu bersentuhan  langsung dengan masyarakat, bermanfaat bagi masyarakat, agar kelak mahasiswa pun tidak hanya menjadi intelektual yang elitis. Allahualam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun