Mohon tunggu...
Anggie D. Widowati
Anggie D. Widowati Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Psikolog, Pegiat Literasi

Penulis Novel: Ibuku(Tidak)Gila, Laras, Langit Merah Jakarta | Psikolog | Mantan Wartawan Jawa Pos, | http://www.anggiedwidowati.com | @anggiedwidowati | Literasi Bintaro (Founder)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Haruskah Saya Gembok Akun-Akun Itu? Belajar dari Kasus Flo

3 September 2014   10:06 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:45 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14096882461458155496

[caption id="attachment_340820" align="aligncenter" width="320" caption="Akun Twitterku"][/caption]

Saya memiliki beberapa akun di medsos, seperti Twitter, Instagram, Path, juga Facebook. Bahkan di Facebook saya membuat dua akun, maksudnya untuk menampung pertemanan yang sudah tidak muat di akun sebelumnya. Sebagai penulis freelance saya  merasa membutuhkan akun-akun itu untuk mempromosikan tulisan-tulisan dan buku-buku novel saya.

Bukan hanya itu, saya juga punya akun di Kompasiana, Blog, Google Circle, dan LinkedIn. Begitulah saya selalu membuat pertemanan, mengekspresikan diri dan mempromosikan diri lewat dunia maya. Sejauh ini tidak ada masalah, meskipun saya kategori orang yang tidak ribet menyeting akun-akun itu sedemikian rupa.

Sudah lama saya memiliki akun di Path, namun saya mengira kalau Path itu hanya untuk mengupload foto-foto seperti instagram. Ternyata bisa juga untuk curhat. Saya tahu hal itu tentu saja setelah ramainya kasus Flo yang kemudian menjadi isu nasional.

Belakangan ini, beberapa teman di twitter mengobrol, bagaimana diantara mereka menggembok akun mereka, sehingga hanya bisa dibaca oleh follower yang mereka inginkan.  Saya tidak tahu apakah ini berkaitan dengan kasus Flo, atau memang demi keamanan pribadi saja.

Yang jelas, memang seseorang tidak bisa sembarangan curhat di media sosial karena media ini terbuka bebas dan bisa diakses oleh siapa saja. Bahkan di Path yang pertemanannya terbatas pun omongan kita bisa tersebar kemana-mana.

Saya bukan menganjurkan untuk menggembok akun-akun anda rapat-rapat, agar terlindungi dari orang-orang yang tak bertanggungjawab. Tetapi saya ingin menggambarkan betapa luas dan rawannya dunia maya, dan bicara sembarangan bisa menjadi bumerang bagi diri  sendiri. Apalagi sekarang sudah ada UU IT.

Orang sekelas Flo yang berpendidikan tinggi pun bisa terjebak dalam "kebebasan" dunia maya, dan terpaksa mendekam di tahanan. Apalagi orang biasa semacam saya, bila tidak bisa menahan diri di ruang publik yang bernama alam maya ini.

Well, perdebatan mengenai kasus Flo masih terus bergulir,  banyak pro dan kontra. Semoga bisa diambil jalan tengah yang bisa menyenangkan semua pihak. Untuk mengusir Flo dari Jogja juga tidak mungkin karena masih terikat dengan pendidikan S2 yang sedang ditempuhnya. Ada yang meminta pengaduannya dicabut, namun di satu sisi ketersinggungan pihak tertentu juga bisa dianggap wajar.

Jadi, bagi saya ini adalah pelajaran berharga bagi Indonesia. Dunia maya yang lagi booming ini, dunia yang seharusnya membuat kita semakin dewasa. Saling bertukar ilmu, berbagi kebaikanlah dan manfaatkan akun-akun anda. Dan sopan santun tidak hanya di tuntut didunia nyata, tetapi dimana pun anda berada, termasuk ketika berselancar di dunia maya.

Jakarta, 3 September 2014

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun