Polarisasi akibat sentimen agama selalu memicu ketegangan di masyarakat dan sangat berbahaya. Polarisasi agama terjadi ketika masyarakat terbagi menjadi kelompok-kelompok yang saling bertentangan dan cenderung memperkuat identitas agama mereka. Hal ini seringkali terjadi di mana satu kelompok agama berusaha untuk menguasai atau mendominasi kelompok agama lainnya.  Telah terjadi sejumlah insiden polarisasi agama, khususnya di masa Pemilu.Yaitu pada pemilihan Gubernur beragama Kristen, Basuki Tjahaja Purnama. Beberapa kelompok Muslim menuduh Basuki Tjahaja melakukan penistaan, dan kerusuhan tersebut mengakibatkan kematian lebih dari 20 orang. Ada juga isu PKI(partai Komunitas Indonesia)menimpa Presiden Jokowi pada Pemilu 2019.  Para peneliti menemukan bahwa polarisasi yang terjadi pada Pemilu 2019 kemungkinan besar akan berulang di Pemilu 2024. Ia memprediksi di 2024 terjadi pengelompokan calon presiden dan wakil presiden di dua kutub dan masing-masing dipersepsikan mirip dengan situasi Pemilu 2019, atau ada yang mengonstruksikan untuk menjadi mirip, sehingga polarisasi serupa akan muncul kembali.
  Laboratorium Psikologi Politik Fakultas Psikologi Universitas Indonesia melakukan analisis terhadap 43 juta tweet sebelum, selama, dan sesudah Pilpres 2019 dan dilakukan Social Network Analysis dengan mengikuti tagar #pilpres2019, #2019gantipresiden, dan #2019tetapjokowi. Studi kedua selama 6-28 Februari 2023, pada 1.190 responden di 33 provinsi dengan metode penarikan sampel stratified random sampling. Ada 17 figur politik di Twitter yang diamati.
  Berikut alasan polarisasi akibat sentimen agama pada pemilu 2024 bisa menjadi bahaya.Berpotensi memicu konflik dan perpecahan di masyarakat,dapat menyebabkan peningkatan ketidaksepakatan dan ketegangan antara berbagai kelompok, serta dapat menghambat upaya untuk mencapai kesepakatan dan solusi yang diterima secara luas,polarisasi agama juga dapat mengancam stabilitas dan harmoni dalam masyarakat serta dapat mengarah pada konflik dan kekerasan
  Namun, ada beberapa upaya yang bisa dilakukan untuk mencegahnya, antara lain:
pendidikan dan kesadaran tentang pentingnya hidup berdampingan dan berdemokrasi dengan cara yang sehat dan damai, serta menjunjung tinggi toleransi antar umat beragama.Melakukan kampanye politik yang fokus pada program dan visi-misi, bukan pada identitas agama atau SARA (Suku, Agama, Ras, Antargolongan).Mendorong partai politik untuk mengajukan kandidat dan menunjukkan visi-misi yang pro-toleransi dan pro-kerukunan antar umat beragama, serta menyebarkan kampanye yang mengedepankan narasi positif di dalamnya.Perlu adanya pengawasan dan kontrol terhadap media sosial dan jejaring media agar tidak dijadikan ajang propaganda dan penyebaran informasi hoaks yang berpotensi memicu perpecahan.Memberikan respons tegas terhadap perilaku yang menyerang dan menistakan agama tertentu secara tidak bertanggung jawab, baik dari segi hukum maupun sanksi sosial. Memperkuat pengawasan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan aparat keamanan selama masa kampanye dan pemilu.
Kesimpulan :
Polarisasi sangat berbahaya bagi kesatuan dan persatuan Bangsa Indonesia kita, karena mengakibatkan perpecahan sosial, ketidakstabilan politik, ketidakseimbangan kekuasaan, berkurangnya kualitas debat dan dialog politik.
Menyebarkan kedamaian, dengan praktek toleransi dan saling menghormati adalah kunci terciptanya perdamaian di negeri ini. Selain itu, giat-giat kreatif seperti pembentukan komunitas baik secara langsung ataupun melalui sosialisasi berjejaring, seperti melaluinya iklan layanan masyarakat, diskusi-diskusi online, dan aksi nyata praktek perdamaian, seperti merayakan hari besar agama lain dengan pembagian sembako dan bantuan sosial lainnya tanpa melihat unsur sara di dalamnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H