Setiap orang diyakini ingin memiliki kehidupan yang bahagia. Harta melimpah, karir terarah dan profesi di balik jas yang gagah. Eksistensi kehidupan manusia seperti tak henti-hentinya berlomba mengejar kebahagiaan tanpa batas dan menghindari penderitaan. Tidak dapat dielakkan bahwa kebahagiaan ini berperan penting dalam kehidupan dan berdampak besar terhadap cara manusia menjalani hidup.Â
Lalu apa itu kebahagiaan? Dimana kebahagiaan itu berada?Â
Pertanyaan ini seringkali muncul ke permukaan kepala kita. Dalam realitasnya kebahagiaan hanyalah sebuah euforia yang dirasakan ketika individu memperoleh suatu dambaannya. Kebahagiaan itu hanyalah karya manusia yang abstrak. Setiap manusia dapat sempurna dalam mempersepsikan tentang kebahagiaannya sendiri.Â
Kita putar kendali pada definisi menurut ahli kebahagiaan Martin Seligman menurutnya kebahagian adalah cerminan dari rasa puas, kepuasan yang timbul dari adanya kenikmatan yang tinggi atas segala pencapaian.Â
Baginya setiap celah dan ruang kehidupan manusia hanyalah untuk meningkatkan kepuasan dirinya yang mana hal ini menjadi kompas bagi kita dalam mencari jalan menuju kebahagiaan. Namun sejauh ini tidak ada definisi kebahagiaan yang mutlak.Â
Individu memiliki takaran yang berbeda yang tidak berlaku bagi semua orang. Setiap penikmatnya hanya dapat memaknai kebahagiaan sesaat ketika mereka merasakannya.
Jika ditelisik lebih dalam kebahagiaan ibarat fatamorgana dan bidang yang semu. Orang-orang pergi dengan topeng baik memasang lengkung senyum menertawakan kehidupan, berdiskusi tentang kefanaan dunia, ramai berdialog tentang apa yang membuat hidup layak untuk dijalani, mencari-cari peluang untuk memenuhi segelintir ambisi. Semua ini mereka lakukan untuk kebahagiaan yang samar.Â
Jika kebahagiaan ini menjadi sebuah dambaan, layak kah setiap orang merasakan kebahagiaan? Jika iya, mengapa masih ada yang orang yang  merasa tidak pernah bahagia selama hidupnya?Â
Mulanya, warna-warni kebahagiaan tidak hanya ditentukan oleh variasi individu tetapi juga pengalaman. Kehadiran individu lain ini tidak menutup kemungkinan membuat kita menyandarkan dan mengikuti definisi sejahtera dan bahagia menurut orang lain.Â
Tidak jarang diri seringkali memancing kebisingan dalam benak mengapa potensi kita tidak sama dengan orang lain. Ironisnya orang yang sudah mencapai taraf hidup yang layak sekali pun kadang masih merasa dirinya belum bahagia.Â
Secara harfiah tidak bahagia ini dapat disebabkan oleh beberapa hal. Salah satunya adalah adanya tekanan untuk menaruh kepuasan pada tingkat tertinggi. Padahal individu sendiri diberikan potensi untuk merasakan emosi positif dari setiap lingkungan yang dijejaki.Â
Menariknya menaruh kepuasan tertinggi ini justru membuat individu menjadi kurang menghargai apa yang dimiliki secara optimal. Sehingga semakin tinggi puncak kepuasannya justru semakin rendah individu merasakan kenikmatannya.Â
Kepuasan seakan-akan menjadi kontradiksi dengan kebahagiaan. Sejatinya kebahagiaan ini ibarat sebuah siklus. Periode antara bahagia dan tidak ini akan selalu beriringan. Individu tidak akan selamanya merasakan bahagia pun tidak akan selamanya merasakan tidak bahagia.Â
Merangkul Ketidakbahagiaan dan Membingkai Ulang Rasa Syukur
Mari kita jelajahi ruangan ini dengan sekedar mengingat seberapa besar kenikmatan yang  dirasakan. Membuka folder memori dalam benak pada file bernama kebajikan. Berapa banyak file yang belum kita buka untuk sekedar dibaca dan dihargai?
"It's an affirmation of goodness. We affirm that there are good things in the world, gifts and benefits we've received." -Robert Emmons
Begitu Kata Emmons. Memahami bahwa hidup merupakan sintesis perasaan dan pengalaman, baik dan buruk, membantu kita menerima dan menghargai seluruh pemberian dari hidup.Â
Salah satu formulasi terbaik dalam memberi penghargaan atas apa yang diperoleh dari hidup adalah dengan bersyukur. Bersyukur atas keadaan puas dan menerima segala situasi saat ini terlepas dari apakah itu sejalan dengan apa yang kita harapkan atau tidak.Â
Mengubah mindset dan fokus pada apa yang menjadi jalan bagi kita, berhenti mencari validasi eksternal apakah kita sudah cukup atau belum dan berhenti membandingkan diri kita dengan orang lain. Jadikan ketidakbahagiaan menjadi dorongan yang mampu mengubah arah dari tidak berarti menjadi berarti.Â
Refleksi Diri dengan SyukurÂ
Menurut pionir Psikologi Positif Martin Seligman (2004) gratitude atau syukur merupakan suatu perasaan berterima kasih sebagai respon ketika mendapat keberuntungan atau hadiah, dimana hal tersebut memberikan dampak positif dan memberikan kedamaian. Baginya dengan melatih rasa syukur akan meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan.Â
Seligman menemukan beberapa hal sederhana untuk menanamkan rasa syukur ini yang ia sebut sebagai "Three Good Things".Â
Pertama, sisihkan waktu beberapa menit setelah menyelesaikan hari yang panjang dengan duduk nyaman di kursi atau tempat tidur. Siapkan buku catatan dan pena kemudian pejamkan mata. Telusuri kembali kegiatan yang dilakukan  sepanjang hari tersebut.Â
Kedua, tuliskan hal-hal baik yang cukup membuat tersenyum dan bahagia pada hari itu.Â
Ketiga, bagian ini sangat dianggap penting oleh Seligman yaitu merefleksikan diri yang berperan yang menciptakan momen kebahagiaan tersebut.
Tiga formulasi tersebut dianggap sederhana tetapi bermakna banyak. Setelah melakukan apa yang disebut "Three Good Things" tersebut lalu renungkan dan tanyakan pada diri sendiri "mengapa peristiwa tersebut terjadi pada saya?". Akan ada titik dimana seseorang yang telah mampu mengaplikasikan kesederhanaan cara ini akan membantu mereka menyadari bahwa dirinya memegang kendali dan mampu menciptakan momen baik setiap harinya. Â
Kepiawaian Seligman dalam menciptakan cara menanamkan rasa syukur dalam kehidupan membantu kita menyadari bahwa sekecil apapun persembahan hidup akan selalu bermakna jika kita menerima dan menghargainya.Â
Dunia ini terlalu sering memaksa kita untuk menjadikan kepuasan sebagai rangkaian dalam proses kebahagiaan. Penting rasanya menilai kepuasan tanpa harus bahagia terus menerus.Â
Mulailah memberikan pengingat bahwa kita cukup dengan apa yang kita miliki seperti keluarga yang lengkap, lingkungan yang positif, dan mengidentifikasi hal-hal yang sering dianggap remeh.Â
Faktanya sekecil bangun tidur dalam keadaan sehat, berkumpul bersama keluarga di meja makan, menikmati sarapan pagi tanpa terburu-buru. Dengan terus menanamkan rasa syukur dapat memandu kita menemukan makna kebahagiaan yang lebih mendalam.
Referensi
Fleming, Andrew W., "Positive Psychology "Three Good Things in Life" and Measuring Happiness, Positive and Negative Affectivity, Optimism/Hope, and Well-Being" (2006). Counselor Education Master's Theses. 32.
Seligman, Martin E.P. (2002). Authentic Happiness: Using the New Positive Psychology to Realize Your Potential for Lasting Fulfillment. New York, NY: Free Press.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H