Mohon tunggu...
Anggia Sabina Damayanti
Anggia Sabina Damayanti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung, jurusan Sejarah Peradaban Islam

Saya sangat menyukai menulis dan berinteraksi dengan masyarakat. Saya merupakan orang yang hobi travelling dan kulineran.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

(Cerpen)Pengasingan Soekarno di Ende: Dalam Kegelapan dan Kemenangan

3 Juli 2024   10:12 Diperbarui: 3 Juli 2024   14:19 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di tahun 1934, Bung Karno dipindahkan ke Ende, sebuah kota kecil di Pulau Flores. Pengasingan ini adalah salah satu dari serangkaian tindakan yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda untuk meredam semangat nasionalisme yang mulai menggelora di Nusantara. Di Ende, kehidupan yang serba terbatas tidak menyurutkan semangat perjuangan Bung Karno.

Pagi itu, Bung Karno berjalan menyusuri pantai bersama Inggit Garnasih, istrinya yang setia mendampinginya. Angin laut yang segar dan deburan ombak seolah menjadi teman setia dalam pengasingan.

"Inggit, aku merasa semakin kuat di sini," kata Bung Karno sambil menggenggam tangan Inggit. "Di tengah kesunyian dan keterasingan ini, aku menemukan kedamaian untuk merenung dan merencanakan masa depan bangsa kita."

Inggit tersenyum lembut. "Aku selalu percaya, Bung, bahwa segala sesuatu terjadi karena suatu alasan. Mungkin di sinilah kau menemukan inspirasi untuk melanjutkan perjuangan kita."

Bung Karno berhenti sejenak, memandang hamparan laut biru yang membentang luas. "Aku merasa dekat dengan rakyat di sini, Inggit. Mereka hidup dalam kesederhanaan, tapi punya semangat dan kearifan lokal yang luar biasa. Ini mengingatkanku bahwa perjuangan kita harus menyentuh setiap lapisan masyarakat."

Setelah berjalan cukup jauh, mereka tiba di bawah pohon sukun yang rindang. Pohon ini menjadi saksi bisu banyaknya pemikiran yang Bung Karno tuangkan dalam berbagai tulisan dan pidatonya. Di bawah pohon itu, Bung Karno sering duduk merenung, menulis, dan berinteraksi dengan penduduk setempat.

Di suatu sore, datanglah seorang pemuda lokal bernama Mauludin. Ia tampak canggung namun penuh antusiasme. "Bung Karno, bolehkah aku bertanya sesuatu?" katanya dengan suara gemetar.

"Tentu, Mauludin. Apa yang ingin kau tanyakan?" jawab Bung Karno ramah.

"Aku mendengar bahwa Bung Karno ingin mendirikan sekolah di sini. Apa benar itu?"

Bung Karno tersenyum. "Benar sekali, Mauludin. Aku melihat betapa pentingnya pendidikan bagi masa depan kita. Anak-anak di sini punya potensi yang luar biasa, dan mereka berhak mendapatkan pendidikan yang baik."

Mauludin tampak terharu. "Aku sangat ingin belajar, Bung. Tapi aku tidak punya biaya untuk sekolah."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun