Mohon tunggu...
Anggi Anggriani
Anggi Anggriani Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa/politeknik negeri pontianak

jalan jalan/makan/nongkrong

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kasus Setya Novanto Korupsi E-KTP

18 November 2022   19:45 Diperbarui: 18 November 2022   19:57 1838
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

ABSTRAK
Dalam dunia politik, banyak terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Praktek-praktek politik di Indonesia seringkali mengesampingkan nilai- nilai moral dalam mencapai tujuan politiknya. Penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan serta korupsi masih marak terjadi. Tindakan menyimpang tersebut berkaitan dengan actus humanus karena hanya tindakan yang dilakukan dengan tahu-mau-bebaslah yang bisa disorot moralnya sehingga siapapun yang melakukannya harus mempertanggungjawabkan konsekuensinya. Jadi, berpolitik harus menggunakan cara yang baik dan berdasarkan prinsip reflektif hati nurani yang benar. Dalam analisis ini mengambil contoh kasus korupsi e-KTP yang dilakukan oleh Setya Novanto. Dengan harapan ada perubahan yang dilakukan oleh politisi kedepannya ke arah positif.

Pendahuluan
KTP atau Kartu Tanda Penduduk merupakan tanda pengenal bagi Warga Negara Indonesia. Dalam Undang- Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2006 Pasal 1 Ayat 14 Tentang Administrasi Kependudukan menyebutkan, "Kartu Tanda Penduduk, selanjutnya disingkat KTP, adalah identitas resmi Penduduk sebagai bukti diri yang diterbitkan oleh Instansi Pelaksana yang berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia."
KTP selain berfungsi sebagai tanda pengenal juga berfungsi untuk keperluan administrasi lain diantaranya untuk pembukaan rekening bank, pengurusan izin dan sebagainya, serta terciptanya sebuah keakuratan dari data penduduk mendukung suatu program pembangunan.
Sejak bulan Februari tahun 2011, Kementrian Dalam Negeri secara resmi meluncurkan KTP jenis baru yang disebut e-KTP atau KTP Elektronik. e-KTP merupakan pembaharuan dari KTP jenis lama yang dibuat secara elektronik, dalam artian baik dari segi fisik maupun penggunaannya berfungsi secara komputerisasi. Dikutip dari wikipedia, melalui Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan, dijelaskan bahwa: "Penduduk hanya diperbolehkan memiliki 1 (satu) KTP yang tercantum Nomor Induk Kependudukan (NIK).

Kementrian Dalam Negeri telah menyiapkan dana sebesar Rp 6 Triliun yang digunakan untuk proyek e-KTP dan program Nomor Induk Kependudukan (NIK) Nasional dan dana senilai Rp 258 Milyar untuk biaya pemutakhiran data kependudukan untuk pembuatan e-KTP berbasis NIK pada 2010 untuk seluruh kabupaten/kota se- Indonesia. Prosedur pembuatan KTP elektronik yakni perekaman data penduduk dengan menunjukkan KTP lama setelah itu tinggal menunggu hingga proses selesai dan e-KTP bisa diambil di dinas pencatatan sipil. Kemendagri bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengawasi proyek yang disiapkan Pemerintah Indonesia.
Namun pada kenyataannya tetap saja ada oknum yang tidak bertanggung jawab, yang memanfaatkan kewenangannya untuk kepentingan diri sendiri. Tindakan oknum politisi ini menyebabkan kerugian negara senilai 2,3 Triliun. Menurut jaksa, telah dilakukan tindakan yang secara langsung atau tidak langsung mengintervensi proses penganggaran serta pengadaan barang dan jasa dalam proyek e-KTP tahun 2011-2013. Banyak yang dirugikan dari kasus yang dilakukan oleh oknum politisi ini. Selain negara, masyarakat juga dirugikan karena mereka harus menunggu proses pembuatan e-KTP yang lama. Kasus penyelewengan dana proyek e-KTP ini telah menyita perhatian banyak kalangan di seluruh negeri, berbagai komentar dan kritik pedas diluapkan oleh masyarakat Indonesia terhadap Setya Novanto sebagai akibat dari kekeceweaan yang mereka rasakan.

Apa kata KPK?
Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK menemukan adanya indikasi korupsi pada proyek pengadaan e-KTP ini sehingga program ini tidak kunjung selesai. Kasus ini tidak main-main, karena dikabarkan merugikan uang negara hingga mencapai 2,3 trilyun rupiah. Nama-nama besar pejabat negara pun turut disebut-sebut ikut menikmati uang haram ini. Dikutip dari kompas.com, dalam sidang perdana kasus dugaan korupsi pengadaan KTP elektronik (e-KTP), Ketua Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyebut ada 14 anggota Komisi II DPR RI periode 2009-2014 yang mendapatkan jatah dari proyek itu dengan jumlah beragam.

Dari nama-nama pejabat yang disebut dalam sidang tersebut, ada dua nama yang cukup mengejutkan karena dikenal dekat oleh publik, yaitu Yassona Laoly yang kini menjabat Menkumham dan Ganjar Pranowo yang saat ini menjabat sebagai Gubernur Jawa Tengah. Selain itu, Ketua DPR saat ini, Setya Novanto yang saat itu menjabat Ketua Fraksi Golkar di DPR diduga cukup punya peran dalam kasus korupsi ini (detiknews.com).
Kasus korupsi mega proyek e-KTP yang dinilai sistematis dan terstrukur ini sekaligus menambah daftar panjang kasus korupsi di Indonesia yang sepertinya tak ada habisnya.

Divonis 15 tahun penjara dan denda 1miliar rupiah

Kasus korupsi e-KTP dilakukan oleh Setya Novanto yang telah berjalan hampir satu tahun. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sempat mengalami kendala untuk menjerat politikus itu. Setya Novanto sempat lolos dari penetapan tersangka kasus korupsi e-KTP sebagai dampak dimenangkannya sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada tanggal 29 September 2017. Namun ia kembali ditetapkan sebagai tersangka dengan kasus yang sama pada 10 November 2017. Perjalanan kasus dari politikus ini berawal pada tanggal 17 Juli 2017 yakni penetapan Setya Novanto sebagai tersangka kasus korupsi e-KTP oleh KPK.
Namun pada tanggal 4 September 2017 Setya Novanto mendaftarkan gugatan praperadilan terhadap KPK ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Ia meminta penetapan status tersangkanya di batalkan. Setelah menjalani serangkaian sidang, hakim tunggal mengabulkan permohonan Setya Novanto untuk pembatalan status tersangkanya pada tanggal 29 September 2017. Namun KPK kembali mengumumkan penetapan Setya Novanto sebagai tersangka korupsi e-KTP. Setya Novanto kembali menuntut hal yang sama yakni pembatalan status tersangka di praperadilan pada tanggal 10 November 2017. Sebagai buntut dari tindakan KPK Setya Novanto mangkir dari pemeriksaan KPK. Bentuk kekesalan Setya Novanto ditandai dengan mangkirnya dari pemeriksaan selama tiga kali yang akhirnya penyidik KPK menetapkan Setya Novanto dalam daftar pencarian orang (DPO).Setya Novanto dilarikan ke rumah sakit Medika Permata Hijau setelah mobil yang ia tumpangi mengalami kecelakaan tunggal. Peristiwa itu berbuntut proses hukum pengacara Setya Novanto saat itu Fredrich Yunadi dan dokter Rumah Sakit Permata Hijau Bimanesh Sutarjo.

Keduanya diduga memanipulasi data medis kecelakaan Setya Novanto agar politikus itu terhindar dari pemeriksaan KPK. KPK menahan Setya Novanto sebagai tersangka kasus korupsi e-KTP, namun sebelum diperiksa penyidik Setya Novanto mengaku sakit dan meminta diantar ke RSCM. Pada tanggal 5 Desember berkas perkara Setya Novanto telah P21 atau lengkap, dan esoknya berkas tersebut dilimpahkan ke pengadilan oleh KPK. Sidang keputusan praperadilan Setya Novanto digelar di Pengadilan Jakarta Selatan, di hari yang sama sidang perdana pokok perkara juga digelar di Pengadilan TIPIKOR. Di sidang perdana pokok perkara Setya Novanto didakwa memperkaya diri dengan menerima aliran dana e-KTP sebesar US$ 7,3 juta. Namun dalam sidang perkara itu Setya Novanto mengaku sakit diare.
Pada sidang eksepsi kuasa hukum Setya Novanto menilai dakwaan jaksa tidak cermat terkait jumlah kerugian negara dan hilangnya sejumlah nama penerima korupsi e-KTP. Namun Majelis Hakim menolak eksepsi Setya Novanto dan menilai materi dakwaan jaksa terhadap Setya Novanto telah memenuhi syarat formil dan materil. Pada tanggal 25 Januari 2018 jaksa menggelar sidang dengan agenda pemeriksaan saksi. Jaksa menghadirkan Mirwan Amir mantan anggota DPR dari Partai Demokrat periode 2009-2014. Dalam kesaksiannya, Mirwan menyebut nama mantan Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono. Setelah dicecar pertanyaan oleh pengacara Setya Novanto. Setelah itu, Partai Demokrat melaporkaan Mirwan dengan tuduhan pencemaran nama baik SBY. Sebelum menjalani sidang lanjutan Setya Novanto membuka catatannya yang bersampul hitam, salah satu awak media melihat satu halaman di catatan itu tertulis nama Nazarudin dan Edi Baskoro Yudhoyono (Ibas).
Setya Novanto memberi keterangan dalam sidang lanjutan pada tanggal 22 Maret 2018. Dia mengatakan jabatannya sebagai Ketua DPR saat itu telah dimanfaatkan oleh para pengusaha untuk memperkaya diri. Dalam pengakuannya, Setya Novanto mengatakan adanya aliran dana diterima oleh politikus partai PDIP sebesar US$ 1 juta. Setelah melalui beberapa sidang pemeriksaan pada tanggal 29 Maret 2018 jaksa menuntut Setya Novanto dengan hukuman 16 tahun penjara dan denda 1 miliar rupiah subsider 6 bulan kurungan.Dalam kasus ini, Setya Novanto dinilai menguntungkan diri dengan menerima dana sebesar US$ 7,3 juta dan jam tangan Richard Mille senilai US$135 ribu. Tanggal 13 April 2018 Setya Novanto membacakan nota pembelaan. Dalam pledoinya, Setya Novanto membantah tuduhan jaksa, dia menyebut mantan menteri dalam negeri Gamawan Fauzi punya peran lebih besar dalam penganggaran proyek sebesar 5,8 triliun rupiah itu.

Bagaimana kasus dugaan korupsi bansos ini bermula?
Pada Senin, 17 Juli 2017 KPK menetapkan Setya Novanto yang kala itu menjabat sebagai Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan e-KTP untuk 2011-2012. Penetapannya menjadikan ia sebagai tersangka keempat yang ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka setelah Irman, Sugiharto dan Andi Narogong. Setya Novanto diduga melakukan penyalahgunaan wewenang dan tindakan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi dengan ikut mengambil andil dalam pengaturan anggaran proyek e-KTP sebesar Rp 5,9 triliun sehingga merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun. Hal ini sesuai dengan pernyataan Irman dan Sugiharto di Pengadilan Tipikor. Tindakan Setya Novanto disangkakan berdasarkan Pasal 3 atau Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Keesokkan harinya, yakni pada Selasa, 18 Juli 2017 Setya Novanto mekakukanjumpa persdiGedung Kompleks Parlemen Senayandengan didampingi empat petinggi DPR lainnya, yakni Fadli Zon, Fahri Hamzah, Agus Hermanto dan Taufik Kurniawan. Dalam kesempatan itu ia mengatakan kepada para media bahwa ia menghargai proses hukum yang berlaku dan menjelaskan bahwa ia telah meminta surat resmi dari KPK terkait penetapannya sebagai tersangka. Di sisi lain ia juga mengatakan bahwa ia merasa didzalimi.
Pada 22 Juli 2017 telah terjadi pertemuan antara Setya Novanto dengan Hatta Ali selaku Ketua Mahkamah Agung dalam sidang terbuka disertasi politisi Partai Golkar Adies Kadir di Surabaya, Jawa Timur. Ahmad Doli Kurnia, Ketua Generasi Muda Partai Golkar (GMPG) kemudian melaporkan peristiwa itu kepada Komisi Yudisial (KY) pada 21 Agustus 2017. Mereka curiga bahwa Setya Novanto telah melakukan upaya kepada Mahkamah Agung agar ia bisa terbebas dari hukum, terutama lewatsidang praperadilan. Laporan GMPG ditanggapi dengan positif oleh Ketua KY Aidul Fitriciada Azhari namun dibantah oleh Setya Novanto dan Mahkamah Agung. Mahkamah Agung mengklarifikasi bahwa keberadaan Hatta Ali di Surabaya adalah murni sebagai penguji disertasi Adies Kadier dan tidak ada kaitannya dengan kasus e-KTP.
Menanggapi pelaporan Doli, Golkar kemudian memecatnya sebagai politisi di Partai Golkar.

Kesimpulan
Kasus Korupsi e-KTP merupakan sebuah kasus yang menyedot perhatian banyak pihak dikarenakan banyaknya pejabat dan tokoh-tokoh yang diduga terlibat ditambah besarnya jumlah anggaran negara yang dikorupsi. Kasus Korupsi e-KTP ini terjadi karena keserakahan dan sifat ingin memperkaya diri oleh pejabat dan pihak swasta, dimana ada prinsip "mempertahankan jarak" yang dilanggar sehingga korupsi ini dapat terjadi. Salah satu penyebab korupsi ini dapat terjadi adalah hukuman yang ringan sehingga tidak menimbukan efek jera, dimana sebenarnya pada UU Korupsi Nomor 31 Pasal 2 Ayat 2 ancaman pidana hukuman mati dapat diterapkan sesuai syarat berlaku.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun