Mohon tunggu...
Anggi Afriansyah
Anggi Afriansyah Mohon Tunggu... Penulis - Peneliti

Masih terus belajar. Silahkan kunjungi blog saya: http://anggiafriansyah.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Membaca Teman Duduk

13 Februari 2017   10:33 Diperbarui: 13 Februari 2017   10:40 1792
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: http://buku.kompas.com


Buku Teman Duduk karya Daoed Joesoef benar-benar menjadi teman duduk yang mengasyikan. Banyak sekali nilai-nilai kehidupan yang dapat direnungkan melalui cerita pendek, puisi, dan pantun yang disampaikan oleh penulis dalam karyanya ini.

Karya Daoed Joesoef  kali ini disajikan dalam bentuk cerita pendek, puisi, dan pantun namun tetap saja sangat kental nuansa akademiknya. Di setiap kisah yang disajikan sangat kental muatan perdebatan teoritik, diskursus, dan dialog sosial tanpa kehilangan nilai-nilai keseharian yang humanis. Sehingga setiap kisah memiliki bobot pelajaran yang sangat berharga. Tetapi hal tersebut tidak mengurangi keasyikan untuk terus membaca serta merenungkan seluruh kisah yang disampaikan dalam buku ini. Kesemuanya disampaikan dalam bentuk dialog yang konstruktif sehingga sangat menyenangkan untuk diikuti. Ada banyak analogi, metafora, maupun refleksi dalam kisah yang disampaikan oleh penulis.

“Rimba Antah Berantah” misalnya menggunakan metafora kehidupan hewan di hutan. Penulis menghadirkan kisah mengenai perebutan kekuasaan antar hewan yang sesungguhnya merefleksikan kondisi perebutan kekuasaan dewasa ini, di mana manusia terus bertengkar tanpa henti memperebutkan kekuasaan. Kisah ini memberi pelajaran bahwa pemerintahan akan berjalan dengan baik apabila sejak awal terdapat kesadaran penuh serta niatan yang kuat dari pihak yang berkuasa untuk melakukan pembenahan-pembenahan secara menyeluruh. Tetapi ketika niatan berkuasa adalah untuk mencapai kepentingan-kepentingan tertentu serta melupakan janji maupun sumpah yang sudah diucapkan, maka tinggal menunggu kehancuran pemerintahan tersebut (hal 6).

“Patung Guru” mengisah perjuangan seorang guru dalam membawa sinar pencerahan bagi suatu daerah. Guru yang berjasa tersebut ternyata dilupakan masyarakat seiring berjalannya waktu. Patung guru yang indah karena dilapisi emas yang memiliki sejarah panjang pendidikan di daerah tersebut ternyata dilupakan dan hanya digunakan setiap satu tahun sekali sebagai lokasi Upacara Hari Pendidikan Nasional. Dalam kisah ini guru tetap dinarasikan oleh penulis sebagai sosok yang berjuang dan berkorban hingga akhir tanpa terlalu banyak mendapat apresiasi yang layak dari masyarakat (hal 20). Kondisi yang memang terjadi hingga saat ini ketika banyak guru yang jasanya terlupakan oleh pemerintah maupun masyarakat.

Kisah “Pikir Itu Pelita Hati” menyajikan bagaimana pertarungan sengit yang terjadi di suatu kerajaan untuk memperebutkan buku yang disarikan dari pemikiran seorang cerdik cendikia selama puluhan tahun. Secara mendetil penulis menjelaskan tentang arti berpikir (hal 93). Pentingnya berpikir dibahas dengan sangat runut dan logis dalam kisah ini.

Kisah “Sungai” bercerita mengenai perjalanan air dari satu tempat ke tempat lain. Kisah panjang dengan narasi-narasi kehidupan tentang alam juga manusia yang dihidupi dan menghidupinya. Tentang air sebagai sumber kehidupan dan sulit bertahannya manusia tanpa air. Air membantu manusia membentuk kebudayaan, masyarakat, dan kehidupan ekonomi (hal 107).  

Kisah “Cina Miskin” tentang keinginan mahasiswa keturunan Cina untuk menjadi seorang presiden. Kisah yang diwarnai dengan persahabatan antara warga keturunan dan warga “pribumi”.  Bagaimana pola relasi yang terbentuk antara warga keturunan Cina dengan warga masyarakat lainnya di kehidupan keseharian. Kisah ini menyajikan beragam dialog dan perdebatan yang terjadi di antara mahasiswa Cina dengan teman-teman mahasiswa lainnya mengenai kondisi negara saat ini dan harapan di masa depan. Perdebatan tentang nasionalisme, pembangunan, civil society,negara bangsa dan isu lainnya dituturkan secara runut dan logis dalam kisah ini (hal 137).

Buku ini sangatlah menarik dan penuh dengan pesan moral. Kisah yang disajikan merefleksikan kondisi bangsa ini yang semakin meninggalkan nilai-nilai kemanusian. Penulis juga mengajak kita untuk kembali merenungi nilai-nilai yang dapat disajikan melalui pantun dan pepatah yang mulai dilupakan. Seperti yang diungkapkan penulis bahwa dalam pantun dan pepatah tersirat pesan, nasihat, petuah sebagai pegangan untuk mengarungi bahtera kehidupan (hal 212).

Buku ini dapat menjadi teman baca di kala senggang sambil merenungi laku keseharian juga kemanusiaan kita. Kita dapat belajar dari tulisan yang disampaikan oleh penulis mengenai pentingnya nilai-nilai kemanusian tersebut. Ada beberapa kisah lainnya seperti Burung Nasar, Pahlawan Tanpa Tanda Jasa, Mentimun Bungkuk dan lainnya. Selain itu juga terdapat kumpulan puisi seperti Membaca, Mari berpikir, juga Pantun Pedagogis Melayu yang sangat menyentuh dan indah.

informasi Buku:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun