Ketika kerja bakti di lingkungan rumah kemarin untuk pertama kali saya mencoba mesin potong rumput. Saya penasaran bagaimana menggunakan mesin tersebut. Harapannya ketika rumput samping rumah sudah tinggi, maka saya bisa memotong sendiri.
Ketika mulai mencoba, ternyata menggunakan mesin potong ini tidak terlalu sulit. Meskipun jelas saya tidak seprofesional pemotong rumput yang sesungguhnya. Saya menikmati getaran mesin pemotong, deru mesin yang bising, dan bau rumput yang berhamburan. Awal memotong saya masih menyimak paparan Romo Haryatmoko di diskusi P2G yang dibawakan oleh Bung Feriyansyah. Jadi sambil memotong sambil mendengarkan paparan romo untuk mengenai strategi membangun daya kritis para siswa.
Menggendong mesin tidak terasa berat. Demikian juga dengan tuasnya. Perlahan saya coba memotong rumput. Tidak presisi, sehingga bolak balik. Keringat cukup mengalir deras. Enak juga, bisa sekalian berolah raga. Juga melatih fokus. Sebab bahaya sekali jika tidak fokus. Bisa-bisa salah potong. Saya juga sadar ketika sudah mengoperasikan mesin, saya tidak menggunakan perlengkapan yang memadai. Tidak memakai sepatu, sarung tangan atau kaca mata. Makanya saya berusaha fokus. Hingga bahan bakarnya habis. Diisi. Mulai potong lagi.
Hingga tiba momen  tetangga yang lain bilang sudah cukup  potong rumputnya karena hampir adzan magrib. Ketika bahan bakar diisi dan mesin diturunkan tangan kanan dan kiri sudah terasa pegal. Tapi saya tetap ingin berusaha menggunakan lagi. Saya kira hanya penyesuaian saja. Setelah tiba di akhir dan selesai ternyata tangan saya kaku sekali. Tidak bisa mengangkat.
Ketika hendak mengambil air untuk buka puasa saya butuh topangan dua tangan. Bapak-bapak yang lain tertawa. Kata mereka kenapa tidak gantian saja. Seorang bapak yang benerapa minggu lalu menggunakan mesin ini baru membuka cerita. Dia bilang, Pak Anggi saya merasa sakit badan hingga seminggu. Waduh. Saya tidak merasa sakit badan. Tapi tangan saya sulit digerakan dan bergetar. Terutama jari sebelah kiri. Tiba di rumah, saya sulit memegang sendok dan piring. Hingga akhirnya disuapi oleh istri. Anak kami hanya tertawa-tawa. Ketika mandi saya berusaha ekstra menggunakan gayung.
Setelah mandi. Seluruh tangan saya balur menggunalan conterpain. Setelah tarawih saya mencoba mengetik. Tidak bisa. Semua tangan bergetar. Jari-jari tidak bisa digerakan. Akhirnya saya tutup kembali laptopnya. Ada kekhawatiran, sampai kapan ini tangan akan bergetar. Memegang barang sulit sekali. Mengetik hape perlu kerja keras. Memegang gelas saja harus dua tangan yang meraih. Lemah sekali. Hingga saya browsing di youtube cara menggunakan mesin pemotong. Nampaknya ada yang salah dalam teknik saya memotong rumput. Belajar melalui pengalaman memang yang terbaik. Ketika terbangun sahur, tangan kiri masih belum bisa optimal digerakan. Masih bergetar jari-jarinya. Saya coba buka laptop, masih belum bisa mengetik. Baru di pagi hari saya coba gerakan jari-jari untuk mengetik dan alhamdulillah sudah pulih meski masih terasa sulit menggunakan jari kiri.
Di tengah tangan yang lemah dan bergetar, saya coba membayangkan. Orang-orang yang sehari-hari bekerja dengan menggunakan tenaganya. Angkat barang ini dan itu. Bekerja sehari penuh. Mungkin awal-awal sangat tersiksa. Pulang kerja pertama tidak hanya merasa sakit badan dengan baluran dan tempelan koyo, tetapi sakit hati karena kerja begitu berat namun upah begitu kecil. Berpanas-panasan dan mengangkat beban berat. Lulus dari SMA/SMK tetapi tak punya pilihan selain menjadi pekerja kasar. Ingin mundur tetapi tak ada pilihan. Ingin menangis tetapi ingat di rumah ada keluarga yang harus diurus. Ada banyak kebutuhan yang harus dipenuhi. Anak harus makan, mereka juga harus sekolah.
Memiliki ragam pilihan ketika bekerja tentu menjadi kemewahan. Tidak semua orang memiliki kemewahan memilih pekerjaan yang mereka inginkan. Banyak orang yang harus berjibaku untuk hidup. Melakukan pekerjaan-pekerjaan yang sulit. Pekerjaan yang berat karena mengandalkan stamina dan tenaga. Kekuatan fisik menjadi andalan. Salam hormat untuk mereka. Potong rumput kali ini memang penuh hikmah.
Difoto A Dadih Heryana dengan caption darinya "Akibat dari pandemi yang berkepanjangan seorang peneliti LIPI beralih menjadi seorang tukang potong rumput".
NB: Rasanya di masa pandemi banyak orang-orang yang terkena PHK dan melakukan apapun demi hidup. Semoga sehat dan mendapat pekerjaan yang baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H