Memasuki rimba belantara internet membutuhkan sebanyak-banyaknya amunisi kewarasan. Tak perlu dicari. Setiap saat informasi masuk ke gadget kita. Orang tak perlu tahu apakah informasi tersebut valid atau tidak. Jika informasi sesuai selera. Tanpa perlu membaca secara menyeluruh dan cermat, langsung copas dan share ke grup wa, path, facebook atau jejaring sosial lainnya. Tidak ada kehati-hatian, tabayun, atau mencari referensi tandingan.
Perbedaan cara pandang terhadap satu hal bisa membuat putus silaturahmi—atau minimal merenggangkan hubungan. Padahal pertemuan tatap muka saja jarang dilakukan. Pertemuan-pertemuan di ruang-ruang medsos justru digunakan untuk saling “bertengkar”. Debat-debat di medsos jarang sekali yang konstruktif. Debat bukan untuk mencari solusi permasalahan atau minimal saling menghormati pilihan pendapat yang berbeda. Bukan beradu argumentasi, melainkan beradu info “dari grup sebelah”. Ketika debat, yang diluncurkan adalah copas tulisan panjang—yang belum tentu juga dibaca. Yang penting sudah copas dan menyebarkan “kebenaran”. Adu copas “info grup sebelah” pun bertebaran. Tak ada ruang dialog. Tak ada titik temu.
Info dari grup sebelah seolah sudah sahih untuk disebarluaskan. Kekuatan untuk menghukum dan menghujat pihak yang berbeda pandangan. Kategori-kategori pun mudah untuk disematkan. Menghujat orang kafir, munafik, pro ahok, pro jokowi, PKI, liberal, syiah, anti islam dan bla bla bla secara mudah dicapkan kepada siapa saja yang berbeda pandangan. Semua serba hitam putih. Kalau bukan bagian kita ya golongan sebelah. Padahal yang diajak debat masih syahadat, shalat, puasa, dan bayar zakat. Mungkin yang belum pergi haji saja karena belum mampu.
Info grup sebelah adalah kunci. Seolah orang tak perlu banyak membaca buku. Tak perlu ada perpustakaan mewah yang menyediakan beragam buku berlimpah. Sebab info grup sebelah yang paling benar. Semua serba efisien. Tinggal copas dan share. Indahnya berbagi. Jangan berhenti di Anda.
Beberapa orang bahkan merasa naik kesholehannya setelah menshare ayat-ayat suci dan kisah-kisah inspiratif. Dan bahkan lupa membaca ayat-ayat suci tersebut secara langsung. Mendawamkannya setiap hari, mengimplementasikan dalam kehidupan keseharian. Ada wujud kesalehan lain saat ini. Kesalehan media sosial. Saya sih berprasangka baik saja, semoga apa yang dishare, juga diamalkan dalam kesehariannya. Tak hanya manis di medsos saja.
Google tak berarti banyak untuk mengklarifikasi setiap informasi yang masuk. Padahal untuk mengecek kesahihan informasi grup sebelah hanya membutuhkan waktu singkat. Tinggal search di google. Namun, hal tersebut tak bisa dijalankan. Sebab sejak awal kita sudah menyeleksi semua informasi yang sesuai dengan cara pandang kita. Tak ada proses pikir-pikir, tak perlu menimbang-nimbang. Tak perlu hati-hati, tak perlu takut apa yang dishare adalah tulisan fitnah, meme editan, ataupun provokasi intoleran.
Sosial media menjadi arena tempur. Menghabisi lawan tanpa ampun dapat dilakukan dengan praktis dan efisien. Literasi kita yang buruk juga berimbas pada buruknya literasi digital. Membedakan fakta dan bukan menjadi lebih sulit dilakukan.
Membaca buku rasanya semakin tak menarik. Apalagi buku-buku yang membutuhkan penelaahan serius. Membaca wa grup, status fb, dan sosial media lainnya menjadi lebih menarik. Oleh karenanya para guru dan orangtua harus lebih serius menguatkan minat baca pada anak. Gerakan Literasi Sekolah tak boleh hanya menjadi jargon-jargon semata.
Guru pun tak boleh sembarang posting di kanal-kala sosial medianya. Apalagi jika guru-guru tersebut berteman dengan para peserta didiknya. Guru harus lebih hati-hati dalam memposing apapun. Jika guru sembarangan, maka akan berakibat fatal pada pemahaman para peserta didiknya. Guru lah yang harus menjadi pusat teladan. Mereka harus memberi contoh bagaimana memilah informasi. Tak mudah percaya pada yang viral di sosial media.
Orangtua harus lebih bawel dengan anak-anaknya. Rajin bertanya dan mengajak ngobrol. Jangan sampai orang tua kaget dengan perubahan anak yang tiba-tiba senang mengkafir-kafirkan orang lain, menganggap pemerintah thogut, senang mendebat cara pandang orangtua tentang pemahaman keagamaan dan samapi menyalah-nyalahkannya. Merenggang hubungan dengan orangtua karena cara pandang yang berbeda dalam menyikapi suatu permasalahan.
Jika terus menerus begini, bangsa yang ramah hanyalah kenangan masa lampau. Karena kita lekas marah dan membenci.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H