Orang tua tentu punya harapan, doa-doa, impian, keinginan untuk anak-anak tercinta. Sebagai orang tua muda, kamipun demikikan. Setiap orang tua tentu menginginkan  anak-anak mereka mendapat sekolah di tempat terbaik dan kelak mendapatkan pekerjaan yang baik.
Sayangnya, seringkali harapan orang tua kepada anak begitu besar melampaui keinginan-keinginan sang anak sendiri. Orang tua lupa apa harapan-harapan anak-anak mereka. Mereka meletakan mimpi-mimpi yang tak sempat diraihnya kepada anak-anaknya. Berpikir anak-anaknya sama dengan mereka. Berharap mimpi yang belum tercapai, dicapai anak-anak mereka.
Ingin anak juara sampai melupakan kecenderungan kecerdasan anak juga pilihan-pilahan mereka. Pengalaman saya mengajar, juga cerita isteri selama mengajar, banyak memberi pelajaran berharga mengenai pola pengasuhan anak. Betapa ambisi orang tua itu sangat berbahaya. Ambisi meledak-meledak yang tak terkontrol membahayakan kondisi psikologis dan tumbuh kembang anak. Ambisi yang menjerumuskan anak pada hal-hal yang terburuk.
Anak-anak  yang berkembang pesat, sebagian besar karena mereka terlindungi dengan baik oleh keluarganya. Saya memperhatikan bagaimana anak-anak tipikal ini dalam keseharian. Mereka memiliki prestasi di bidang akademik juga membangun relasi pergaulan. Mereka datang ke sekolah dengan senang. Beberapa masih menjalin hubungan silaturahmi. Dan mereka berhasil di dunia perkuliahan. Masuk ke jurusan yang betul sesuai dengan keinginan.
Ini tentu relatif. Tapi perjuangan anak-anak ini menjadi lebih mudah karena dukungan orang tua mereka. Banyak anak-anak yang tak memiliki support orang tua, baik karena kesibukan atau penelantaran orang tua mereka. Mereka berhasil karena kerja keras berlipat-lipat. Kerja berkali-kali dibanding teman-teman yang didukung penuh orang tuanya.
Ada juga anak yang terlihat membawa beban berat ketika di sekolah. Beban berat yang dibawa dari rumah karena target-target yang diberikan orang tua, yang sesungguhnya tak sesuai dengan keinginan hatinya. Tergopoh-gopoh mencoba menyelesaikan pelajaran, masuk jurusan yang tak begitu disukainya, demi target masuk perguruan tinggi idaman orang tuanya. Berat sekali hidup anak-anak seperti ini.
Mereka hidup di bawah tekanan ambisi orang tuanya. Berpatuh-patuh karena paksaan. Beberapa beruntung melaluinya dengan sekedar mendapat nilai yang pas-pasan. Beberapa jatuh stress. Beberapa orang tua menyadari kesalahan mereka. Beberapa masih merasa bahwa itu yang terbaik. Orang-orang tuanya tetap bersikeras bahwa anak-anak mereka mampu. Dipaksakan dan patah. Anak-anak yang layu sebelum berkembang.
Saya mengenal beberapa orang yang dari orang tuanya, kakek neneknya sukses. Tak hanya sukses di bidang pekerjaan juga membangun keluarga. Tak mudah mempertahankan sukses di dua bidang tersebut. Ada orang bilang kita harus memilih salah satunya. Tapi saya tak mau memilih. Rasanya keduanya bisa dipilih. Banyak yang bisa melakukan itu, tapi juga banyak yang gagal. Ya memang ukuran berhasil gagal ada pada kita masing-masing.
Beberapa orang tua memang sudah memahami bahwa keinginan anak adalah hal penting dalam proses pendidikan. Mendengar aspirasi mereka, memahami jalan pikiran mereka, memberikan diskusi-diskusi yang konstruktif, dan membantu mereka membangun cara berpikir, memberikan kesempatan untuk memutuskan. Tak sembarang orang tua bisa melakukan hal-hal tersebut. Saya pun belum teruji.
Citra orang tua yang otoriter, disiplin, harus didengar dan dipatuhi mungkin masih melekat di sebagian masyarakat kita. Anak tugasnya mendengar dan mematuhi arahan orang tua, karena itulah yang terbaik. Saya beruntung orang tua saya tak seperti itu.
Menjadi orang tua di zaman sekarang rasanya memang lebih berat. Beragam informasi tersedia melimpah yang sangat mudah diakses oleh anak-anak. Orang tua perlu perspektif yang kaya untuk berargumentasi dengan anak-anaknya. Berbeda dengan dahulu ketika orang tua pasti punya otoritas besar.