Menjadi ayah keren rasanya semakin sulit di era saat ini. Definisi ayah keren tentu berbeda-beda. Definisi ayah keren bagi saya ada pada ayah saya. Saya memanggilnya Bapak. Sudah jadi ayah dari satu anak pun saya masih merasa peluang saya menjadi ayah keren masih sangat jauh. Tapi tentu saya tak berputus asa. Saya selalu berusaha tampil menjadi ayah keren, walaupun ternyata gak keren-keren juga. Jauh sekali dari keren bahkan. Hehe.
Malam ini saya mau bercerita tentang Bapak yang saya anggap sangat keren. Ini memang terlalu narsis juga melankolis. Tapi rasanya saya perlu menceritakan ini agar menjadi ingatan bagi saya pribadi. Bukankah tulisan itu abadi. Setiap orang pasti punya kisah pribadi dengan Bapaknya masing-masing. Begitu juga dengan saya. Kenangan dengan Bapak, jika diingat-ingat memang tak pernah ada habisnya. Doa saya, semoga saya bisa menjadi anak yang membanggakan bagi Bapak, juga Mamah. Karena Mamah saya juga tak kalah keren.
Bapak saya keren bukan karena ia sosok yang punya uang banyak, pintar, gayanya oke dan predikat mentereng lainnya. Bagi saya Bapak keren karena ia mendedikasikan hidupnya untuk kami putra putrinya, yang bahkan tak selalu menuruti seluruh anjurannya. Ya, memang itu pasti yang dilakukan setiap orang tua, memberikan jiwa raga untuk anaknya. Tapi tetap saja saya menganggap Bapak juara nomor satu seluruh dunia, seperti kata Andrea Hirata di salah satu novelnya.
Bapak bukan orang kaya, ia berasal dari salah satu daerah di Jawa Barat yang tak terlalu baik dalam konteks pendidikan. Bersyukur Aki merupakan orang yang peduli terhadap pendidikan. Ia menyekolahkan anak-anaknya di tengah segala keterbatasan. Aki Mantri, ia biasa dipanggil. Mendedikasikan seluruh hidupnya untuk dunia pendidikan, pensiun sebagai kepala sekolah. Anak-anaknya mendapatkan cukup pendidikan. Dua anaknya sampai level perguruan tinggi. Anak-anak lainnya sampai level sekolah menengah.
Dulu masih ada SPG (Sekolah Pendidikan Guru). Bapak punya kesempatan sekolah sampai diangkat PNS Guru. Dulu gaji guru tak sebaik sekarang. Tak banyak orang mau jadi guru. Bapak dan Ua hanya menunggu satu tahun setelah lulus SPG dan kemudian diangkat menjadi guru. Kondisi yang jauh berbeda dengan sekarang, orang berlomba-lomba untuk menjadi guru (PNS).
Ketika Bapak dan Mamah diangkat menjadi guru gaji mereka pas-pasan sekali. Saya ingat, kami baru punya rumah dengan kondisi seadanya ketika saya sudah kelas 3 SMP. Sebelumnya kami tinggal di perumahan SD yang hanya punya satu kamar, kamar Bapak dan Mamah. Pindah ke rumah sendiri dan punya kamar baru saya nikmati di kelas 3 SMP. Bapak dan Mamah mengajarkan saya untuk tak terlalu ngoyo dalam hidup. Bahwa kehidupan harus dijejaki tahap demi tahap, tak usah terburu-buru. Sulit jika melihat kondisi saat ini, di mana orang berlomba-lomba untuk menampilkan apa yang dimilikinya. Berlomba-lomba untuk memiliki banyak hal, mengejar kebahagiaan yang terkadang semu.
Tapi saya dan adik saya selalu bahagia. Bapak dan Mamah bukan tipikal orang tua pelit. Rasanya hidup saya dan adik saya enak-enak saja. Saya dan adik masih punya “kemewahan” berlangganan Majalah Bobo, dibelikan baju baru ketika lebaran, punya sepatu baru di tahun ajaran baru, diajak jalan-jalan ke beberapa tempat dan “kemewahan lainnya”. Padahal Mungkin saja orang tua saya membiayai kami ngos-ngosan, kami tak pernah tahu.
Bapak beberapa kali berjualan apa saja, di samping berprofesi sebagai guru. Mulai dari membuat ukiran nama di kayu, jualan bensin (ketika itu masih sangat jarang pom bensin), jualan eceran, gorengan, dll. Walaupun Bapak dan Mamah selalu bilang, mereka jarang untung karena tak ada bakat menjadi pedagang. Saya dan adik saya sih senang-senang saja, karena kami bisa menikmati jajanan gratis setiap hari.
Saya dan adik beruntung, karena Bapak dan mama mendidik kami dengan sangat baik. Ia sangat percaya dengan kami. Ia percaya pendidikan dapat merubah kehidupan. Ia menginvestasikan semua yang dimilikinya agar saya mendapat pendidikan terbaik. Ia mendorong kami untuk terus bersekolah. Ia selalu bilang tak bisa mewariskan harta. Pendidikan satu-satunya harapan agar kami bisa berdiri kokoh secara mandiri.
Bapak, sosok ayah yang melankolis. Ketika saya mondok di pesantren, Bapak, Mamah dan adik saya mengantar ke pesantren. Kami sekeluarga naik Bus Budiman ke Tasikmalaya karena tak punya cukup uang untuk menyewa mobil dan mungkin dengan pertimbangan bahwa naik transportasi umum lebih praktis dan murah. Setelah berpesan agar saya menuntut ilmu dengan baik di pesantren, ia tak menangis, tegar sekali. Mamah sosok yang paling melankolis di keluarga tak bisa membendung air matanya.
Saya sok tegar, anak kelas satu SMA yang pura-pura kuat karena malu kalau menangis,hehe. Ternyata, menurut cerita Mamah dan adik saya, Bapak tak mau makan ketika di tempat peristirahatan. Ia menahan rasa sedihnya. Ia merasa sedih meninggalkan saya di pesantren, tapi tak mau menunjukan itu ke saya. Ia berusaha tegar.