Bapak jarang sekali marah, tapi kalau marah, menyeramkan rasanya. Ketika saya tak juga menyelesaikan S2 saya, Bapak tak pernah menegur saya dengan langsung, dia menyampaikan pesan lewat Mamah dan Istri saya. Tak pernah marah. Tapi saya tak punya muka kalau bertemu. Hanya diam tak bisa memulai pembicaraan. Tapi Bapak selalu percaya saya bisa menyelesaikan apa yang sudah saya mulai. Dia selalu yakin bahwa saya bisa jadi orang yang bermanfaat bagi orang lain. Dia selalu yakin dengan kemampuan saya di saat saya, mungkin tak yakin. Dia memberikan semua yang dia miliki untuk kami. Dalam diamnya dia selalu memberikan semua kekuatannya untuk kami. Memang saya anak durhaka. Belum dan tak akan bisa membalas semua kebaikan Bapak dan Mamah. Saya dan adik saya sekarang adalah berkat perlindungan doa orang tua kami yang kokoh, ditambah doa mertua saya yang juga luar biasa baik.
Terlalu berat bagi saya menyaingi sosoknya. Bapak, bukan orang yang pandai mengaji. Dia selalu bilang ilmu agamanya sangat sedikit, makanya dia menitipkan kami untuk mengaji ke orang yang dianggap memiliki ilmu agama yang baik. Bapak tak pernah berkata-kata tentang ilmu agama, ia hanya mencontohkan kepada kami. Dengan menjaga shalat dengan baik, wirid yang konsisten setelah shalat. Ia tak pernah menceramahi kami. Bapak menyontohkan kepada kami, agar setia berziarah ke makam orang-orang tua di kampung halaman.Â
Mendoakan aki, ua, dan adiknya yang sudah meninggal. Ia bilang, Bapak mau agar kami juga melakukan hal yang sama. Ia mau kami yang mengaji untuknya di saat ia sudah tak ada (selalu sedih ketika ia berucap seperti ini, Sehat kan Bapak dan Mamah Ya Allah). Sesuatu yang dicontohkan bukan dikatakan. Saya ingat ketika saya masih kecil, agar saya mau berjamaah shalat wajib, berjamaah taraweh, shalat jumat, ia tak pernah ceramah, ia hanya mengajak dan mencontohkan. Dia juga berpesan, jangan lupa kirimkanFatihah untuk seluruh keluarga yang sudah meninggal setiap sehabis shalat, sesuatu yang sering saya lupakan.
Bapak ibarat cahaya yang menyelimuti keluarga kecil kami. Menerangi jalan saya yang gelap. Di usia menjelang 30 tahun, saya selalu menganggap sebagai anak kecil jika di hadapan Bapak. Jika saya, istri dan anak saya datang ke rumah terasa betul betapa bahagianya Bapak. Ketika kami akan pulang, terasa betul betapa Bapak menahan tangis, karena cucunya akan pergi. Hehe. Padahal Hampir dua kali dalam sebulan kami datang berkunjung. Dia sangat menyayangi cucunya. Ya siapa kakek yang tak sayang cucunya. Ada yang bilang, cucu selalu lebih disayangi dibanding anak, itu jelas terlihat. Â Apalagi ini cucu pertamanya. Ah saya harus bersaing dengan Bapak saya agar pesona saya di hadapan anak saya tak kalah mentereng. Berat sekali.
Cerita tentang Bapak masih sangat banyak. Mungkin suatu saat bisa saya buatkan satu buku khusus membahas Bapak, juga Mamah (aamiin). Saat ini saya hanya bisa terus mendoakan, semoga Bapak dan Mamah selalu dalam kondisi sehat juga selalu mendapat limpahan berkah dari Allah SWT. Semoga Bapak terus bisa mengabdikan dirinya di dunia pendidikan, dunia yang sangat ia cintai.
Terima kasih untuk selalu percaya Pak, Mah, terima kasih telah memberikan doa-doa kokoh bagi kami anak-anakmu. Kami mencintaimu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H