Mohon tunggu...
Anggi Afriansyah
Anggi Afriansyah Mohon Tunggu... Penulis - Peneliti

Masih terus belajar. Silahkan kunjungi blog saya: http://anggiafriansyah.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Beratnya Hidup dengan Kebencian

25 Februari 2016   10:47 Diperbarui: 25 Februari 2016   18:18 654
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Ilustrasi - memaafkan (Shutterstock)"][/caption]Tanpa sadar sering kali kita hidup dengan kebencian-kebencian yang mengakar pada hati maupun pikiran. Benci ketika orang lain lebih sukses. Benci ketika orang lain hidup lebih bahagia. Atau bahkan benci ketika segala sesuatu yang terjadi tidak sesuai dengan semua harapan dan cita-cita. Yang namanya kebencian hanya membuat hidup menjadi tidak menarik. Karena kita hanya menilai hidup dengan sudut pandang negatif.

Bisa juga kita membenci sesuatu pada diri orang lain yang sesungguhnya sudah tidak ada. Sifat buruk orang lain misalnya. Kita benci kepada mereka yang malas, menunda janji, berkata bohong dll. Ketika orang tersebut sudah berubah, kebencian tersebut masih tetap tertancap dan dijadikan patokan. Kita masih mengecap perilaku yang sesungguhnya sudah ditinggalkan orang tersebut. Orang tersebut sudah jauh berubah, tapi kebencian kita masih mengakar. Stigma kepada orang tersebut tidak berubah. kita masih menjadikan masa lalu sebagai patokan. Kita terjebak nostalgia (seperti kata Raisa).

Memang sulit menjadi orang pemaaf. Tapi percayalah, maaf membuat hidup kita lebih lapang. Secara praktik memang sulit melakukan ini. Tapi sejarah mencatat orang-orang yang bisa memaafkan perilaku buruk orang lain kepada dirinya adalah orang hebat. Memaafkan memang bukan melupakan. Kita bisa saja memaafkan setiap yang orang lakukan tapi tidak untuk melupakan.

Narasi kebencian ini berbahaya jika ada di tiap individu. Kita selalu diliputi rasa curiga, antipati. Pikiran kita tidak jernih melihat tindakan yang dilakukan kepada orang lain. Kita selalu menilai orang lain dari aspek negatif. Kita selalu mereka-reka, menganalisis yang sesungguhnya belum tentu dilakukan orang lain.

Suudzonisme (isme tentang rasa curiga, istilah ini sebetulnya hanya direka-reka) dikedepankan sehingga tidak ada ketenangan dalam hidup. Kewaspadaan tentu beda dengan suudzon. Kewaspadaan dibangun oleh kehati-hatian, sedang suudzon dibangun oleh kebencian.

Hidup yang kita jalani akan makin tidak menyenangkan jika pikiran-pikiran diwarnai oleh ketidaksukaan kepada orang lain. Bukankah hidup itu seperti drama. Di mana setiap orang menjalani peran masing-masing agar drama yang dijalani menjadi lebih menarik. Ada tokoh antagonis, protagonis, pemeran utama, dan pembagian peran lainnya. Jika semua memerankan tokoh protagonis drama akan kurang ramai. Anggap saja begitu.

Lelah? Tentu saja hidup itu melelahkan. Tapi bukankah itu yang sering kali menjadi proses pembelajaran? Kita dibenci orang, diolok-olok, direndahkan, dianggap tidak kompeten, dianggap pemalas. Banyak cap atau stigma yang bisa menempel kepada kita. Apa yang perlu kita lakukan? Pembuktian? Bisa saja. Diam saja? Juga bisa. Semua berserah kepada kita. Kita bisa pilih apa yang harus kita lakukan. Apa yang perlu kita sikapi ketika beragam cap hadir menyasar diri kita.

Ada juga kalanya kita menjadi pembenci orang lain. Sikap kita bisa jadi tepat, tapi juga tak tepat. Manusia punya keterbatasan dalam memprediksi apalagi menilai. Kita bisa salah menilai karena keterbatasan-keterbatasan. Makanya jika tak tahu apa-apa lebih baik tak menilai sesuatu, tapi rasa-rasanya sebagai manusia kita tak bisa. Kita cenderung ingin menilai segala sesuatu, bahkan yang belum kita tahu dengan pasti. Tinggal apakah penilaian itu pas atau tidak pas.

Saya masih mencoba menjadi orang yang tak diliputi kebencian akut. Memang berat. Apalagi saat ini sepertinya kecenderungan untuk saling membenci semakin kuat baik atas nama agama, suku bangsa, etnisitas, kelompok kepentingan, orientasi politik, beda pemikiran, beda tempat nongkrong, beda pengajian atau apa pun itu. Berat memang. Apalagi setiap saat kebencian itu bisa disebarkan melalui media sosial. Rasa-rasanya hidup dengan banyak informasi tidak selalu menyenangkan. Limpahan informasi seringkali membuat saya limbung. Memilah informasi yang penting memang tak mudah. Apalagi membuang rasa benci kepada sesama. Tugas yang sangat berat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun