Upaya penanggulangan HIV&AIDS di Indonesia telah dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan sejak tahun 1994. Selama rentang waktu itu sudah banyak kasus yang terungkap dan di tangani dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari semakin menurunnya angka kematian pada orang yang terinfeksi HIV (ODHA). Secara umum dapat di gambarkan bahwa angka kasus telah mengalami penurunan, pada tahun 2005 jumlah kasus yang terlaporkan sebanyak 859 kasus, lima tahun kemudian pada tahun 2010 sebanyak 21.591 kasus, tahun 2011 (21.031), tahun 2012 (21.511), tahun 2013 (29.037) dan tahun 2014 menurun menjadi 22.869 kasus. Untuk angka kasus AIDS baru juga mngalami penurunan pada tahun 2013 sebanyak 6.266 kasus pada tahun 2014 menjadi 1.876.
Namun dibalik itu semua ada fakta lain yang harus menjadi perhatian semua orang terutama para pembuat kebijakan. Jika di telaah dari data yang dirilis oleh Kementerian Kesehatan dapat terlihat jelas bahwa angka kasus HIV baru tidak hanya pada populasi kunci atau populasi yang memiliki perilaku beresiko tinggi untuk terinfeksi HIV ( wps, waria, pengguna narkoba suntik, LSL dan laki-laki beresiko tinggi) melainkan ibu rumah tangga.
Berdasarkan status atau jenis pekerjaan, saat ini ibu rumah tangga merupakan penyumbang angka kasus tertinggi AIDS yaitu sebanyak 6.539 (11,8%), sementara wanita pekerja seks (WPS) yang selama ini di sebut sebagai salah satu sumber penularan HIV barada pada posisi ke enam dengan angka kasus sebanyak 2.052 (3,8%). Selama periode juli – September 2014 angka kasus baru AIDS pada ibu rumah tangga sebanyak 23 orang semntara wanita pekerja seks hanya 4 orang.
KENAPA PEREMPUAN ?
Realitas ini semakin menegaskan bahwa “trend” penularan HIV&AIDS tidak lagi ada pada populasi kunci, melainkan sudah berada pada masyarakat terutama ibu rumah tangga. Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab cepatnya penularan HIV pada perempuan (ibu rumah tangga) diantaranya adalah belum tuntasnya persoalan relasi gender yang ada di tengah masyarakat, pemahaman yang salah terhadap doktrin agama, relasi kekuasaan yang timpang dalam rumah tangga, subordinasi terhadap perempuan serta tingginya stigma dan diskriminasi.
Tidak tuntasnya persoalan relasi gender, membuat perempuan sering berada pada posisi yang tidak menguntungkan. Kondisi ini sering kali membuat perempuan terpakasa harus “nerimo” (menerima saja apa adanya), walaupun hal itu merugikan dirinya secara individu. Perempuan akan semakin tidak mampu memperjuangkan haknya (dalam konteks kesehatan reproduksi sekalipun) ketika berhadapan dengan doktrin agama yang terkadang salah dalam memahaminya. Padahal jika doktrin agama ini di kaji secara lebih mendalam justru seharusnya yang dilakukan adalah memberikan perlindungan terhadap perempuan.
Ketimpangan relasi kekuasaan dan subordinasi perempuan menyebabkan perempuan lemah dalam melakukan kontrol terhadap kesehatan reproduksi. Apa lagi, jika kita amati secara seksama sebagian besar pola hidup perempuan Indonesia adalah bergantung pada pasangan dan tidak memiliki pilihan.
Stigma dan diskriminasi muncul sebagai akibat dari kurangnya informasi dan pengetahuan masyarakat tentang penyakit HIV&AIDS tak jarang bahkan stigma dan diskriminasi datangnya dari pembuat kebijakan. Beberapa factor yang sudah di bicarakan di atas sebagai pelengkap sehingga perempuan dengan virus HIV di dalam tubuhnya tak jarang memperoleh stigma yang ganda.
STRATEGI MEMUTUS MATA RANTAI PENULARAN
Istilah yang sering kali digunakan dalam penanggulangan HIV&AIDS adalah penanganan sejak di hulu hingga hilir. Penanganan di hulu terdiri dari promotif dan preventif, untuk melakukan hal ini pemerintah tidak akan mampu melakukannya sendiri. Sehingga dibutuhkan keterlibatan unsur bangsa yang lain agara terlibat aktif dalam penanggulangan HIV&AIDS. Salah satu unsure bangsa yang memiliki kekuatan dalam merubah tatanan social atau bahkan paradigma yang saat ini berkembang di tengah masyarakat adalah tokoh agama. Seluruh agama di dunia ini tentunya mengajarkan kebaikan untuk umatnya. Oleh karena itu penting sekali melibatkan tokoh agama dalam penanggulangan HIV &AIDS. Namun demikian tokoh agama tentu saja membutuhkan informasi yang lengkap mengenai HIV&AIDS juga dasar hukum yang jelas mengenai hal yang akan di sampaikan.
Dalam perspektif agama Islam ( Nahdlatul Ulama) telah mengeluarkan beberapa fatwa sebagai hasil Bahtsul masa’il yang memberikan perlindungan terhadap perempuan berkaitan dengan permasalahan HIV&AIDS. Salah satu poin dalam Bahtsul masa’il tersebut sebagai pembelaan terhadap hak perempuan adalah Bahwa perempuan boleh menolak ajakan suami untuk melakukan hubungan intim jika di ketahui suaminya ternyata telah terinfeksi penyakit menular seksual seperti HIV. Hal ini tentu saja memberikan pembelaan terhadap perempuan yang selama ini hanya mengetahui bahwa tidak boleh menolak jika suami meminta haknya dengan beberapa dalil sebagai penguat. Infromasi ini penting untuk di ketahui masyarakat sehingga dapat dijadikan pegangan dalam kahidupan sehari-hari yang tidak bertentangan dengan aturan Negara dan tidak bertentangan dengan norma agama yang dianutnya. Berkaitan dengan stigma dan diskriminasi dalam hasil bahtsul masa’il tersebut juga di sebutkan bahwa haram hukumnya memberikan stigma dan diskriminasi kepada orang yang terinfeksi HIV&AIDS.