Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara adalah 'menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat' (Dewantara, 1936). Pandangan Ki Hajar Dewantara tersebut memandang pendidikan bukan hanya ditujukan bagi individu pembelajar, namun juga kodrat dirinya sebagai bagian integral komunitasnya. Aspek sosial merupakan aspek penting yang menjadi bagian pembentuk sekaligus menjadi tujuan pendidikan itu sendiri. Dalam hal pendidikan dan pengajaran, Ki Hajar Dewantara secara tegas memisahkan keduanya. Pengajaran (onderwijs) adalah proses pendidikan dalam 'memberi ilmu atau berfaedah untuk kecakapan hidup anak secara lahir dan batin (Dewantara, 1936). Sementara pendidikan (opvoeding) adalah 'tuntunan dalam hidup tumbuhnya anak-anak'.
Secara garis besar, filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara adalah pendidikan yang humanis, yang menghargai kebebasan dan kemerdekaan anak, yang menjunjung tinggi nilai-nilai budaya setempat, dan menjunjung tinggi rasa kebangsaan. Akan tetapi sangat membuka ruang kepada anak untuk berkenalan dengan gagasan-gagasan baru serta tidak takut dengan ide-ide baru. Upaya untuk mendidik anak tersebut tidak terlepas dari Tripusat Pendidikan: Lingkungan Keluarga, Lingkungan Sekolah, dan Lingkungan Masyarakat (Wiryopranoto et al., 2017). Ketiga unsur tersebut adalah stakeholder sekolah yang wajib turut terlibat dan bersinergi dalam unsur sekolah, khususnya, Ki Hajar Dewantara menempatkan guru sebagai figur sentral dalam filosofi pendidikannya. Figur guru harus memenuhi Trilogi Kepemimpinan yang diformulasi oleh Ki Hajar Dewantara yang menjadi semboyan pendidikan Indonesia yaitu: Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani. Semboyan ini berarti guru harus bisa menjadi panutan dan teladan, guru harus mampu membangun dan mencetuskan ide-ide, dan guru harus mampu menjadi pendorong, motivator, dan pembimbing.
Banyak hal yang related antara pemikiran Ki Hajar Dewantara dengan konteks kurikulum pendidikan Indonesia saat ini. Kurikulum Pendidikan Indonesia saat ini adalah Kurikulum MERDEKA yang berlaku pada setiap jenjang sekolah. Kurikulum Merdeka adalah kurikulum dengan pembelajaran intrakurikuler yang beragam di mana konten akan lebih optimal agar peserta didik memiliki cukup waktu untuk mendalami konsep dan menguatkan kompetensi. Guru memiliki keleluasaan untuk memilih berbagai perangkat ajar sehingga pembelajaran dapat disesuaikan dengan kebutuhan belajar dan minat peserta didik. Projek untuk menguatkan pencapaian profil pelajar Pancasila dikembangkan berdasarkan tema tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah. Projek tersebut tidak diarahkan untuk mencapai target capaian pembelajaran tertentu, sehingga tidak terikat pada konten mata pelajaran. Hal yang related tersebut di antaranya: (1) Ki Hajar Dewantara sangat menjunjung tinggi Agency anak sebagai manusia. Yang dimaksud sebagai Agency adalah kekuatan, daya, dan kemerdekaan untuk bertindak atau memilih tindakan sendiri dengan sadar (Bandura, 1986; Hitlin & Elder (2007).Â
Dalam konteks pembelajaran kurikulum Merdeka, Learner Agency adalah ketika proses belajar melibatkan aktivitas dan inisiatif dari anak melampaui input yang diberikan oleh guru dalam pembelajaran. Memberikan kebebasan dan kemerdekaan pada anak untuk bereksplorasi dalam pembelajaran, melatih anak untuk berpikir mandiri, kreatif, inovatif, dan kolaboratif. Sehingga filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara ini masih sangat relevan dan bahkan dapat diterapkan dalam rangka mempersiapkan diri untuk hidup pada abad 21 dimana beberapa skill menjadi sangat fundamental diantaranya Critical Thinking, Creativity, Communication, dan Collaboration yang tentunya juga sangat relevan dengan Kurikulum Merdeka. (2) Ki Hajar Dewantara juga menjunjung tinggi kedudukan peserta didik dalam pendidikan. Slogan Ki Hajar Dewantara dimana guru harus 'menghamba pada anak' seringkali menjadi slogan guru dimana guru diharuskan untuk mengikhlaskan diri dan mengobarkan diri untuk anak. Dalam konteks pendidikan kontemporer, slogan tersebut tidak dapat diterapkan secara literal untuk saat ini. Pendidikan modern mendorong pergeseran peran guru-peserta didik dari yang dulunya guru sebagai otoritas tunggal di kelas menjadi guru sebagai co-learner. Relasi kuasa antara guru- peserta didik dihilangkan sehingga dapat menciptakan ruang kolaborasi antara guru- peserta didik dan sesama peserta didik. Dalam konteks pendidikan mutakhir, kalimat 'menghamba pada murid' sebagai anjuran Ki Hajar Dewantara untuk mendedikasikan tenaga dan pikiran untuk kepentingan pendidikan anak dengan memberi peran yang semakin besar kepada anak sehingga proses co-learning terbentuk dan pembelajaran kolaboratif menjadi sebuah budaya di sekolah. Dari pendapat yang kedua menjadi fokus utama dari pemikiran Ki Hajar Dewantara kesamaan dengan Kurikulum merdeka adalah adanya kolaborasi antara semua unsur pembelajaran di kelas.
REFERENSI
Dewantara, K.H. (1936). Dasar-dasar Pendidikan. Keluarga, Th. I No.1,2,3,4., Nov, Des 1936., Jan, Febr. 1937
Dewantara, K.H. (2009). Menuju Manusia Merdeka. Yogyakarta: Leutika.
Wiryopranoto, S., Herlina, N., Marihandono, D., Tangkilisan, YB., Tim Museum Kebangkitan Nasional. (2017). Ki Hajar Dewantara: Pemikiran dan Perjuangannya. Jakarta:Museum Kebangkitan Nasional.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI