Jika waktu dapat diputar, bisakah kau mengejarku kembali? Untuk sekedar memberiku rasa kecupan.
Maaf mas, aku ingin mengatakannya dengan jujur, tidak bisa membohongi hati. Pertama kali aku melihatmu, tak ada kata lain yang ingin aku ucapkan. Kamu representasi seorang Almarhum Dalimin Yudho Atmojo. Satu-satunya laki-laki dalam hidupku, yang merepresentasikan sosok seorang bapak. Ingin kukatakan dan kupeluk kamu kala itu mas, atau sekedar mengajakmu mencuri waktu untuk sekedar mengobrol atau memintamu mendogeng. Seperti yang sering dilakukannya padaku. Atau aku hanya ingin mendengar apa yang kau lakukan. Tentu saja dengan bahasa tubuhmu yang ekspresif.
Aku seperti menemukan sosok yang kucari dalam hidup ini. Tentu saja aku sudah merasa mengenalmu dan dekat denganmu dengan merepresentasikan sosok Almarhum Dalimin Yudho Atmojo. Kamu cerdas, tegas, kreatif, rasional, penuh aturan, pemarah, perfeksionis, dan penuh kasih sayang mas. Dulu aku ingat sekali waktu masih kecil, Almarhum Dalimin Yudho Atmojo akan selalu memindahkanku kala aku tertidur pulas diruang tamu dengan menggendongku. Atau Almarhum Dalimin Yudho Atmojo akan menceritakan sebuah dongeng kepadaku sebelum aku tidur. Keesokkan harinya Almarhum Dalimin Yudho Atmojo akan mengajakku berburu dan mengenalkan banyak hal didunia ini kepadaku. Banyak binatang yang kami buru, tapi aku tak pernah ingin memakan hasil buruannya. Apakah itu rusa, ular atau binatang-binatang lainnya.
Almarhum Dalimin Yudho Atmojo juga mengenalkanku teknik melukis, memetik gitar, meniup harmonika yang aku tidak berbakat dibidang itu. Dia mengenalkanku pada roman-roman karangan Sutan Alisyahbana kala aku kecil dan serial Wiro Sableng 212 kesukaannya, hingga aku hampir membaca seluruh serialnya. Sesekali dia akan bercerita mengenai pengalamannya dikala pada masa perjuangan kemerdekaan. Dia menceritakan bagaimana perjuangannya selama di Papua, mengendong Jendral Sudirman karena sakit ditengah perperangan dan harus berlari selama berkilo-kilo meter hingga mendapatkan tempat yang aman untuk mendaratkan helikopter.
Dia juga bercerita bagaimana berapa banyak anak-anak Papua yang tidak bersalah harus tewas ditangannya karena salah sasaran peluru. Atau karena sedang ditengah hutan, dia merasa dirinya terancam dan secara tidak sengaja membunuh masayarakat sipil. Tentu saja, aku tau seumur hidupnya dia merasakan trauma mendalam akan hal itu. Dia menceritakannya dengan raut kesedihan yang mendalam. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk pensiun dini dan berdikari menjadi seorang petani sebagai trahnya.
Dia tidak menjadi petani saja, dia mengajar disebuah desa transmigrasi di Kabupaten Lahat dan sempat dipercaya menjadi seorang kepala sekolah. Siapa yang tidak mengenalnya kala itu, bahkan nama belakangku ‘Rahayu’, bertutur tentang perjuangan etnis yang dia perjuangkan dan diingat oleh masyarakat. Pemerintah membagi blok-blok suku didaerah transmigrasi tersebut, dan akhirnya terjadi perang suku. Kala itu dia sedang menjadi mediator suku yang terpecah dan selamat dari penembakan saat aku lahir. Mungkin akulah satu-satunya cucu yang diberi nama istimewa olehnya. Bahkan hingga memberiku nama ‘Angger’, yang bagiku sangat istimewa.
Dia bercerita bahwa ‘Angger’ selain berarti dari bahasa Sansekerta dia juga menceritakan harapannya padaku sebagai anak dan cucu tertua. Dia ingin aku menjadi seorang pemimpin yang berani dan tangguh untuk diriku sendiri. Katanya nama ini biasanya disematkan untuk seorang laki-laki, tapi baginya tak ada batas antara laki-laki dan perempuan untuk menjadi tangguh.
Dia hidup ditengah lahan yang diinvasi oleh perusahaan sawit hingga akhirnya dia memilih pindah kedaerah Muara Bulian Jambi. Dia pindah karena ingin membantu anak laki-lakinya yang sedang dalam kesulitan. Anak laki-lakinya bekerja disebuah perusahaan sawit ternama dan memiliki jabatan yang strategis. Tapi karena jiwa pemberontaknya yang tinggi, dia ikut berdemo bersama masyarakat memperjuangkan hak atas tanah ulayat yang diinvansi oleh perusahaan tersebut. Kondisi perekonomian keluarga yang morat marit, keinginan hati kecil yang teramat kuat, akhirnya membuat anak laki-lakinya memutuskan keluar dari perusahaan tersebut dan menjadi seorang petani. Dia bekerja keras membangun lahan diusianya yang senja untuk membantu anak laki-lakinya.
Tentu saja aku marah waktu itu, karena bukan mama atau kami yang dibantunya. Hingga akhirnya, dia harus menjalani sisa hidupnya dengan kanker paru-paru dan stroke yang melandanya karena terlalu letih bekerja. Sekarang aku baru tau, bahwa dia terlalu sayang padaku dan mama. Membiarkan kami sendiri.
Dia tidak bisa lagi bercerita kepadaku. Bahkan dia tidak bisa melihatku meraih gelar sarjana yang dia cita-citakan. Dia hanya membawa fotoku kemana-mana menggunakan toga dan memeluknya hingga menangis tersedu-sedu. Dulu katanya aku harus sekolah tinggi dan belajar sampai kapanpun untuk menjadi tangguh. Aku tau, sebenarnya bukan kanker paru-paru dan stroke yang membunuhnya tapi trauma-trauma pasca perang yang membunuhnya. Dia tidak mendapatkan recorvery sebagaimana harusnya, sebagaimana layaknya sebagai salah seorang anggota Kopasus. Banyak sekali yang aku ingin tulis tentangnya, kasih sayangnya yang membuat aku merasa cukup.
Dialah embah kakungku mas. Laki-laki satu-satunya dalam hidupku sesungguhnya, yang hidup membara, berapi-api dalam darahku. Sayang, aku tidak mengenalnya terlalu dalam dan aku sangat menyesali itu. Waktu kamu memarahiku ketika aku menelpon dimobil aku sangat terkejut, marahmu sungguh mirip dengan Alm. Dalimin Yudha Atmaja dan aku menangis susungguhnya mas k ala itu. Ingin kupeluk dirimu dan kukatakan, tapi aku tak kuasa mas.
Kamu juga memarahiku karena tanpa ekspresi waktu itu. Mana mungkin aku mengabaikan bahasa komunikasi nonverbal. Bahasa itulah yang paling penting dan tak pernah bohong. Kamu lupa aku sarjana komunikasi yang belajar mengenai komunikasi nonverbal. Maaf mas, aku terlalu asyik membayangkan cerita-ceritanya mengenani jalanan Yogjakarta yang pernah almarhum ceritakan. Imajinasiku bermain, dan rasanya aku tak ingin diganggu. Dia pernah menceritakan rumah Afandi yang dia lewati dan dia ingin kami mempelajari seni untuk hidupku. Dia menceritakan bagaimana bolak balik Yogjakarta ke Muntilan hanya untuk menemui istrinya. Oh, Tuhan aku bahagia sekali waktu itu mas. Aku membayangkan Prambanan dalam frame kecil almarhum. Bagaimana almarhum menceritakan dongeng-dongeng Jawa kuno. Ataupun masa-masa kecilnya yang sangat fantastis.
Sungguh mas, ingin kukatakan padamu bahwa imajinasiku ini tentangnya, dan ternyata tentangmu jua. Kamu laki-laki yang sangat aku inginkan. Karena representasiku tentang laki-laki sepertinya mas. Laki-laki biasa saja, yang berdongeng dan bercerita penuh ekspresi dan menciumiku dengan penuh sayang. Sepertinya, aku tidak mengenalmu dengan lama dan dalam. Tapi kamu hidup dalam hatiku.
Jalanan Jogjakarta sudah kukenal dengan cerita-ceritanya, dalam dongeng-dongengnya. Dialah embah kakungku mas. Satu-satunya laki-laki yang merepresentasikan sosok seorang bapak mas. Aku menemukannya didirimu mas. Maaf mas, kanker paru-paru pernah merenggut orang yang aku sayangi, dan izinkan aku hanya sekedar mengantarkan buah padanya. Mungkin itu saja yang bisa aku lakukan mas untuk memenuhi rasa hormatku.
Kadang, dia menciumku dengan seluruh kumisnya hingga aku berlarian meminta perlindungan mama. Dia masih melakukan itu hingga aku mulai dewasa. Itu hal yang paling aku tidak sukai, ternyata paling aku rindukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H