Berbicara mengenai ibu tak pernah habisnya. Ibu memang secara fakta meninggalkan ayah. Tapi aku selalu yakin ibu punya alasan tersendiri meninggalkan ayah. Ibu seorang perempuan spesial dalam hidupku. Selain karena sudah melahirkanku, merawatku dan mengajarkanku banyak hal.
Aku mempunyai semua kecantikan yang dimiliki oleh ibu. Mata bulat ibu, kulit kuning langsat ibu, rambut hitam ikal ibu, kaki jenjang ibu hingga hidung banggir ibu. Ibu seorang pelukis. Seperti cita-citanya. Ibu mampu melukis dengan baik. Sesuai dengan apa yang hatinya inginkan. Tidak bergantung pada siapapun dan mempunyai rasa sendiri.
Ibu seseorang yang sangat pendiam. Lebih pendiam dari aslinya. Sedari kecil aku jarang sekali diajaknya bicara, walaupun mengomentari sesuatu. Aku jarang berbicara pada ibu, tapi kami sangat dekat. Ibu juga jarang mengajariku sesuatu, tapi aku mampu meniru yang ibu lakukan. Memang hubungan yang rumit dan aneh.
Keterampilanku berbicara dan bergaul dengan banyak orang didapat dari kakekku. Kakekku dari pihak ibu, dulunya seorang guru yang dikenal sangat ramah dan disayangi murid-muridnya. Sedangkan ibu, sangat menurun dari sifat nenek. Sepertinya aku termasuk gen yang berbeda. Di keluarga dari pihak ibu biasnya perempuan menjadi sedikit pendiam dan laki-laki termasuk kriteria orang yang gampang bergaul dengan semua orang.
Biasanya kita akan menemui keluarga yang anggota perempuannya ramah, bahkan terkesan sedikit cerewet. Namun itu sangat berbeda yang terjadi dikeluargaku. Perempuan menjadi sedikit pendiam, dan laki-laki menjadi orang yang mudah bergaul. Memang kami sering disebut keluarga yang aneh.
Sebenarnya, kami dididik dengan adat Jawa kuno. Kakek dan nenek sangat menjunjung tinggi adat istiadat. Sehingga kami para perempuan didalam keluarga lebih diajarkan untuk nrimo dan diajarkan untuk menjadi orang yang lemah lembut, santun, berbicara seperlunya. Maklum saja, mungkin karena ada turunan darah ningrat didarah kedua nenekku.
Ibu menuruni bakat melukis dari nenek. Sama seperti ayah yang juga seorang pelukis, yang bakatnya turun dari nenek. Tapi karena kakek super protektif terhadap nenek, akhirnya nenek harus puas menempati posisi ibu rumah tangga. Bakat nenek melukis tidak pernah mati, tapi pada akhirnya nenek menyerah kepada keadaan dan menghambakan dirinya hanya menjadi seorang ibu rumah tangga. Berbeda dengan nenek dari pihak ayah, yang bagiku punya kemandirian lebih kuat.
Oh ya, sebenarnya aku memanggil nenek dan kakek dari pihak ibu dengan sebutan eyang uti dan eyang kakung. Sedangkan dari pihak ayah aku menyebutnya embah uti dan embah kung. Itu panggilanku kesayangan untuk mereka. Tapi sekarang mereka dipanggil kakek nenek karena kami sudah tidak tinggal di pulau Jawa lagi. Sehingga menurut ayah ibu dulu, sebaiknya kami menggunakan bahasa Indonesia saja dalam penggunaan panggilan pada mereka.
Aku juga tak mengerti keputusan mereka untuk hijrah di pulau ini. Meninggalkan tanah Jawa tempat kelahiran mereka dan memilih tingga disebuah kota kecil ini. Juga meninggalkan kakek dan nenek. Orang sepertinya melihat keluarga kami sebagai keluarga yang aneh, dan kacau. Nenek meninggalkan kakek, kami meninggalkan kakek. Padahal aku melihat kemandirian yang sangat kuat dikeluargaku. Meleapskan ketergantungan, namun bukan berarti kami tidak saling mencintai.
Waktu aku kecil dulu, nenek sering menemani ibu melukis di halaman belakang rumah. Ibu pula yang selalu dimarahi nenek jika tak mampu mengerjakan lukisan-lukisan yang wajib dikerjakan dengan baik. Ibu selalu tekun belajar melukis, cerita nenek kepadaku. Tapi tak menurun kepadaku. Menggambar saja aku tidak pintar apalagi melukis. Sejak dulu aku suka sekali berakting. Ibu menyuruhku masuk sebuah teater. Tapi ayah selalu mengatakan ‘untuk apa main teater? Seperti orang gila saja’.
Ayah lebih mendukungku masuk ke dunia modelling, karena tampangku yang lumayan dan tubuhku yang semampai mendukung untuk aktivitas itu. Aku dulu sering mendengar perdebatan ayah dan ibu. Mereka jika tak pernah mengajariku melukis. Atau aku memang aneh, tak punya bakat lukis sedikitpun dari ayah dan ibu. Kadang aku juga bertanya, mengapa aku tidak memiliki bakat melukis dari ayah dan ibu. Aku juga kebingungan. Karena aku memang tidak mampu melukis. Tapi aku mampu melihat dan memberi makna pada setiap lukisan yang ada.
Suatu kali pada waktu aku masih kecil, aku diajak ayah dan ibu ke pameran lukisan teman ayah. Bertanya pada ayah,
‘apakah ini semua lukisan realis ayah?’
Ibu langsung menatapku dan seakan tak percaya mendengar ucapanku seolah aku telah begitu dewasa. Seolah aku mengerti aliran-aliran lukisan. Aku memang pernah mendengar nenek bercerita suatu sore dengan ibu mengenai lukisan realis yang dulu pernah ingin dibelinya waktu nenek sedang berada dipameran lukisan aliran realisme.
‘dimana kau melihatnya?’, tanya ayah heran.
‘aku membaca ayah. Lukisan itu termasuk aliran realisme. Aliran ini telah bosan atas kemapanan aliran romantisme. Tumbuh di Perancis ayah. Aliran ini berhubungan dengan perjuangan sosial, reformasi politik dan demokrasi ayah. Salah satu pelukis aliran ini Jean Francois Millet’, cerocosku pada ayah.
Kala itu ayah dan ibu berpadangan. Tak menyangka aku mampu menceritaka mengenai realisme. Ayah sangat bahagia aku tumbuh begitu cerdasnya, walaupun tak menuruni bakat mereka melukis.
Aku menyukai seni peran. Sebenarnya tak jauh-jauh dari seni dan sastra, karena aku dilahirkan dari keluarga yang berdarah seni. Dan ibu mengerti itu. Tapi tidak dengan ayah. Ayah selalu saja menentangku untuk menjadi seorang aktor dalam teater. Entah kenapa, padahal aku yakin ayah pasti mengerti bahwa seni peran dalam teater tak kalah indahnya dengan melukis.
Aku seringkali merengek pada ibu ingin menontot pertunjukan teater yang diadakan sebuah teater di kotaku. Kami selalu berkonspirasi berdua supaya tidak ketahuan ayah menonton pertunjukan teater. Biasanya ayah sedang melukis dibelakang rumah dan aku bersama ibu mengatakan bahwa kami ingin berbelanja.
Biasanya ayah tak terlalu menyukai rutinitas berbelanja. Jadi ayah tak akan ikut jika kami meminta izin berbelanja. Tentu saja ibu sudah memasukkan berbagai belanja bulanannya di bagasi mobil. Sehingga ketika pulang kami sudah lengkap dengan menenteng belanjaan. Kadang ayah curiga, tapi aku selalu bercerita bagaiamana adegan belanja tadi, dan pertunjukan fashion show yang aku tonton di mall tadi.
Ayah akan antusias dan menyarankanku untuk ikut salah satu perlombaan. Aku hanya tersenyum saja dan bilang pada ayah aku sangat malu jika banyak yang menontonku diatas catwalk. Biasanya ayah akan mengerti dan tetap saja sesekali menasehatiku bagaimana bekerja didunia seni tanpa materi yang cukup. Menurutnya teater tidak akan memberikan kenyamanan. Tidak akan pula memberikan ruang materi yang cukup untuk hidup. Ayah mencontohkannya mengenai hidup keluarga kami yang pas-pasan saja. Ayah memang mempunyai bengkel melukis. Tapi untuk ukuran disebuah kota kecil begini, peminat lukis masih sedikit sekali. Bengkel ayah memang hanya berada di garasi rumah, tapi ayah juga mempunyai banyak sekali fans dan anak didik yang dibinanya.
Berbeda dengan ibu. Ibu melukis untuk dirinya sendiri dan keluarganya. Biasanya ibu menghasilkan karya yang sangat baik menurut kacamataku. Ibu juga seorang relealis. Karyanya pernah dipamerkan dalam pameran kebudayaan gabungan pelukis di kotaku beberapa tahun silam. Waktu itu ibu membuat sebuah lukisan suatu keluarga yang makan dimeja makan tanpa cukup makanan. Didinding rumah dalam lukisan tersebut, terdapat sebuah lukisan karya Leonardo da Vinci.
Sebenarnya aku tak paham apa maksud ibu. Tapi aku yakin ibu menceritakan mengenai kemiskinan, ketamakan, keserakahan akan kekuasaan. Ibu melukiskannya dengan sangat indah. perpaduan warna menghasilkan beberapa warna yang sangat alami. Warna ungu sangat dominan dalam lukisan tersebut. Keanggunan karakter dalam tokoh lukisan tersebut juga menjadi sebuah hal yang sangat menarik hati dan mata.
Aku mendengar lukisan itu ditawar hingga ratusan juta oleh seorang kolektor lukisan aliran realisme. Tapi ibu belum mau menjualnya. Ibu mengatakan akan menjualnya kepada seseorang yang mampu menikmati lukisan tersebut. Bukan hanya seorang kolektor saja. Aku ingat waktu itu, ayah dan ibu akhirnya bertengkar hebat. Ayah pikir, itu harga yang sudah cukup pantas untuk ibu melepaskan lukisan tersebut. Â Tapi ibu tetap keukeuh mempertahankan bahwa lukisan itu hanya untuk orang yang mampu menikmati lukisan tersebut.
Kadang aku pusing juga melihat hubungan ayah dan ibu. Mungkin lebih rumit dari hubunganku dengan ibu. Ibu memang jarang sekali berbicara, tapi pada waktu itu kulihat ibu sangat marah dan mempertahankan argumennya. Entah karena ego pribadi ayah, atau juga karena ego pribadi ibu pula. Hingga akhirnya ibu meninggalkanku dan ayah dirumah. Hanya gara-gara perdebatan akan lukisan itu. Aku tak pernah tau kenapa ibu tidak mengajakku turut serta.
Pada malam ibu meninggalkan kami, ibu masuk ke kamarku dan mengatakan bahwa aku harus menjadi seorang aktor dalam teater dan menjadi apa mauku. Kata ibu tak akan pernah meninggalkanku. Ibu hanya ingin berjalan-jalan sebentar. Ibu meninggalkan lukisan itu kepadaku. Katanya akulah yang paling berhak.
Ibu hanya melukis untukku. Untuk keluarganya saja. (J50K 1344)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H