Mohon tunggu...
Angger Wiji Rahayu
Angger Wiji Rahayu Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Bermimpi menjadi penulis. Karena dunia yang kita lihat hanyalah representasi. www.anggerwijirahayu.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

(J50K) Bagian 3: Lukisan Ibu

4 Januari 2012   16:37 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:20 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1325685660483629076

Di dalam mobil aku masih saja merasa kesal dengan obrolan yang tak menentu tadi, dengan laki-laki penyuka rokok tersebut. Rasanya, kaki ini ingin kembali dan mendampratnya. Robert menarikku dalam pelukannya dan mengecup lembut keningku. Tarikan tangan Robert seperti biasanya membuatku tersentak. Robert memandangiku dengan caranya, dan aku seperti biasanya akan menjadi luluh melihat tatapan matanya yang sangat dalam ini.

Love is blind. Benar jika ada yang bilang bahwa cinta itu adalah buta. Cinta membuat aku benar-benar tergila-gila padanya. Pada matanya yang berbinar, pada tangannya yang kekar. Pada kata-kata cintanya. Pada seluruh rasa yang tak bisa aku ungkapkan sendiri dan membuat aku tak tersadar.

‘mau nginep dimana nih sayang?’ kali ini Robert mencoba mengambil alih kekesalanku.

‘aku ingin mencoba JW Marriot sayang’

‘iya sayang. Mau makan apa kita? Pasti sudah lapar ya?’

Hal seperti ini yang tak bisa kulupa dari Robert, selalu saja pintar mengalihkan perhatianku yang kadang-kadang cepat sekali terbawa emosi. Aku sering kali mengatakannya emosi jiwa, karena kadang sebuah masalah bukan saja mengundang sakit hati tapi jiwa juga ikut menjadi sakit.

Kepintaran Robert mengambil hatiku dengan hal seperti ini memang membuat aku sangat jatuh cinta kepadanya. Kadang kala aku berfikir bahwa aku terlalu berlebihan dengan cintaku, yang kahirnya membuatku mencintainya dengan membabi buta.  Sebenarnya sungguh aku terlalu takut kehilangannya. Aku pula terlalu takut mengatakan pada dunia aku mencintainya. Aku pula terlalu takut nantinya harus menghadapi kenyataan bahwa semua ini tak seindah yang kubayangkan.

Dahi Robert berkerut melihatku yang terlalu mencari jawaban pertanyannnya mau makan apa. Robert menarikku dalam pelukannya.

‘kali ini kita aku ingin mencoba makanan Chinnes sayang’, aku mencoba mengalihkan perhatiannya.

‘serius sayang? Sejak kapan nih mau makanan Chinnes?’ tanyanya heran kepadaku.

Aku tersenyum nakal, dan melirik matanya dengan syahdu. Sebenarnya aku memang tak terlalu menyukai makanan Chinnes, tapi Robert sangat menyukainya. Biasanya aku memang selalu saja memaksa menuruti mauku. Tapi kali ini, entah angin dari mana aku ingin sekali menuruti maunya Robert.

‘serius beb. Masa aku bohongan. Kita coba dulu ya, siapa tau nanti aku menjadi suka’, ungkapku asal untuk menyakinkannya.

‘berati hari ini hariku ya sayang’, ungkapnya nakal kepadaku.

Aku sebenarnya ingin tergelak mendengar ucapannya kali ini. Terasa biasa tapi asing sekali. Sebenarnya aku juga kadang-kadang membencinya dengan kalimat mesranya. Benar-benar membunuhku. Benar-benar membuatku tak bisa menjadi diri sendiri.

Aku hanya mengerlingkan mataku saja dan membelasi rambutnya. Pikiranku masih melayang  ke pembicaraan aneh dengan laki-laki penyuka rokok tadi. Aku keheranan kenapa aku mampu mengatakan selugas tadi dan dengan sadar. Tapi aku tak mampu bersikap seperti yang kuungkapkan tadi. Aku hanya mampu mengungkapkan tanpa mampu melakukan. Tepatnya mungkin seperti itu.

‘turun yuk sayang’, ungkap Robert sambil membukakan pintu untukku.

Benar-benar aku tak bisa mengelak jika aku sedang kalut. Aku tergugup dan melemparkan seulas senyum kepadanya. Kadang senyum juga bisa dimanipulasi untuk menutupi perasaannku yang sedikit kacau kali ini.

‘lets go, kita habiskan makanan kali ini’, kataku berbasa basi.

‘iya sayang ayo’, ungkap Robert bingung.

Kami memesan tempat duduk paling sudut, mengjadap sebuah kolam ikan kecil yang kurasa memang dibuat untuk mempercantik dan menarik suasana di rumah makan tersebut. Rumah makan ini kecil sekali dan terasa seperti bukan tempat yang nyaman. Tapi sebenarnya interior ruangannya membuat nyaman sekali. Pada makanan pembuka kita akan disuguhkan beberapa cemilan ringan dan teh.

Tanpa bicara Robert menarik tangganku dan mengajakku kedepan sebuah lemari pendingin yang besar sekali, memilih makanan yang ingin kami santap. Dia mengambil beberapa sayuran, dan tofu. Aku mengambil lumpia dan bakso. Dia melirik kepadaku tanpa bicara dan menyodorkanku sayuran kepadaku. Aku ambil sayurannya dan menyerahkan pada pelayan.

Mungkin saja Robert terheran-heran melihatku. Mengambil sayuran dan menuruti semua maunya. Kugenggam tanggannya erat sekali ketika berjalan ke meja makan. Kutatap tubuhnya yang kekar sambil berjalan tanpa berpaling. Sungguh laki-laki ini membuatku gila. Membuatku menutup mata dan mampu melupakan Sandi.

Sandi. Ya Sandi.  Tak akan terlupa, cinta pertamaku. Orang yang mengatakan cinta pada malam perkemahan liburan. Orang yang membuatku ingin selalu saja pulang telat kerumah dan menyukai rambut ikalku. Matanya yang sedikit sipit, kulitnya yang kuning kecoklatan.

‘ada apa sayang? Kok dari tadi sepertinya melonggo saja? Ada yang dipikirkan’, brondongan pertanyaan Robert membuyarkan bayangan Sandi lagi.

Mungkin selalu saja begitu, Robert benar-benar ditakdirkan untuk menghilangkan bayangan Sandi. Robert memang ditakdirkan untuk membuat hatiku menutup mata mengenai Sandi dan membuat aku melupakan semua kenangan bersama Sandi.

‘gak ada apa-apa beb. Tiba-tiba aku merindukan ayah saja. Ada seorang laki-laki yang kutemui tadi di pesawat. Dia penyuka rokok. Cara laki-laki itu menghisap rokok sangat mirip sekali ayah. Aku jadi tiba-tiba merindukannya’, cerocosku padanya.

Robert senyum simpul kepadaku dan memegang tanganku dengan lembut.

‘itu wajar sayang, semua orang akan merindukan sosok seorang ayah pada hidupnya. Tidak ada yang salah dengan merindukan ayah. Kenapa jadi tiba-tiba aneh sayang?’, tanya Robert menyelidik.

‘gak apa-apa beb, tiba-tiba saja juga merindukan ibu. Entah kemana ibu sekarang ya beb. Bagaimana rupa ibu ya beb. Apakah ibu merindukanku saat ini beb?’, ungkapku pilu.

Robert memegang tanganku dengan mesra dan membelai rambutku dengan lembut. Aku tau dari caranya memegang pasti Robert sedang menguatkanku. Robert memang selalu mengerti keadaanku. Robert selalu saja membuatku nyaman menceritakan masalah-masalah dalam hidupku. Membuatku yakin bahwa hidup ini bukan hanya mengenaiku saja. Tapi juga mengenai orang lain.

Pramuniaga datang dan menghidangkan teh tawar kepada kami.

‘bisa diganti dengan air putih mba?’, tanya Robert sopan.

‘iya pak, ada yang dibutuhkan lagi?’, ungkan pelayan juga sopan .

‘mungkin tissu saja mba’, Robert meminta dengan sopan pula.

‘sebentar ya pak’

Aku memandang adegan ini. Robert memang dengan sangat sopan sekali memperlakukan orang lain. Begitu yang selalu dilakukannya padaku pula. Pokoknya benar-benar Robert laki-laki tipeku sekali. Mungkin saja ibu pula mempunyai perasaan yang sama terhadapku. Menyukai laki-laki lembut dan sopan terhadap perempuan. Memanjakan dan membuatku bagaikan seorang ratu.

‘kapan kita akan mencari ibu?’

Deg. Jantungku serasa berhenti berdetak. Sandi pernah mengatakan hal yang sama kepadaku mengenai ibu. Sandi pula mengatakan padaku bahwa aku harus mencari ibu. Jantungku bergetar hebat, Sandi benabenar kembali ke hatiku kali ini.

‘iya nanti setelah akhir tahun ini selesai beb. Aku ada beberapa pekerjaan yang harus dikerjakan dengan cepat. Tapi bukan maksudku ibu tidak menjadi prioritas.’, ungkapku diplomatis.

‘iya sayang, kita harus mencari ibu sampai ketemu ya. Kamu yang kuat ya sayang. Aku mencintaimu’, ungkapku mesra.

‘aku juga beb’, kataku mesra.

Aku takkan pernah melupakan ibu. Sebenarnya ada hal rahasia yang aku simpan mengenai ibu dari ayah. Aku tau, ibu tetap melukis dan selalu melukis. Aku akan mencarinya kemanapun. Hingga aku menemukan ibu kembali. Melukis bersamanya dan bercerita mengenai sebuah pagi yang indah dengan menghirup secangkir teh.

Takkan terlupa suatu pagi aku hanya berdua bersama ibu. Ibu mengajarkanku cara melukis. Dia tarik  sebuah garis tengah dalam kanvas dan memulai menggambarkan sebuah pagi untukku dari guratan garis tersebut. Takkan pernah terlupa olehku, bagaimana hasil lukisan ibu mengenai pagi untukku. Sebuah mata yang indah dengan untaian rambut hitam panjang. Sungguh aku menyukai lukisan ibu.

Lukisan ibu selalu membuatku terperangah setiap kali menyambut pagi. Seperti Robert pula, yang selalu menghargai guratan lukisan ibu. Robertlah yang hanya mau mendengarkan ocehanku mengenai lukisan ibu secara berulang-ulang. Beribu kali, dengan cerita yang sama.

Kuhabiskan malam bersamanya, dengan bayang-bayang lukisan ibu. Aku mendesah.

J50K (1171)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun