Akhirnya perjalanan ke Jakarta yang hanya memakan waktu satu jam ini kuhabiskan juga. Aku buru-buru keluar dari dalam pesawat karena benar-benar penerbangan kali ini membuatkan setengah gila dan sakit jiwa sekali. AC tanpa freon sungguh menyiksa. Semua penumpang merasakan sensasi panas yang luar biasa sekali. Rasanya seperti dalam panggangan roti dan akhirnya kami keluar dengan lumasan mentega yang telah mencair.
Suasana menjadi begitu kacau dan kurasakan pula sedikit umpatan kesal yang terlontar dari seluruh penumpang. Jika kelakuan mereka begini terus, kupastikan sebentar lagi pesawat ini akan tutup karena mendapatkan cemoohan komplain dari setiap konsumen dan pelanggan.
“pesawat ini sudah kayak Jakarta ya mba, panas dan macet”, ungkap laki-laki penghisap rokok tersebut sambil berjalan mengimbangiku.
Aku terkejut mendengar suara laki-laki penghisap rokok ini. Tadinya kami tidak dapat satu sheet. Aku berada duduk di deretan paling depan, dan kulihat tadi dia duduk didamping serorang perempuan bersepatu widges warna orange, di urutan paling belakang. Kupikir dia sudah melupakanku karena sibuk berbincang dengan perempuan bersepatu widges warna orange tersebut. Rupanya perempuan tersebut ditinggalkannya begitu saja sambil menggeret sebuah koper berukuran mini mencoba mendekat ke arahku.
Aku mencoba tersenyum, walau dalam keadaan mual. Rasanya baru sekali ini kurasakan mual yang tak terkira didalam pesawat. Benar-benar sebuah penerbangan yang sangat kacau. Sambil mengibas-ngibaskan rambut ikalku yang tergerai panjang, aku mencoba mengibas-ngibasakn pula majalah yang kutenteng.
“yah begitulah transportasi di negara tercinta kita pak”, ungkapku konyol sedikit malas diperhatikan.
“tapi saya tidak mengira saja mba, saya masih bisa berjalan disamping mba, saya pikir kita akan tewas dalam pesawat tadi”
“iya, Ac tanpa freon, guncangan yang sangat dahsyat, kursi yang tidak nyaman, pramugari yang menyebalkan, kue yang hampir basi”, ungkapku menimpali ocehan laki-laki penyuka rokok tersebut.
Laki-laki tersebut tersenyum dan memandangku dengan puas, mungkin pikirnya dia berhasil menarik perhatianku. Lalu pembicaraan ini akan terus berlanjut. Setidaknya perjalanan dari pesawat hingga ruang tunggu tidak akan membosankan. Biasanya aku pula tidak ingin meladeni orang-orang yang baru saja kukenal. Tapi tak apalah, sekali-sekali punya relasi aneh seperti ini juga menyenangkan. Setidaknya aku mengingat ayah dan melihatnya juga sepertinya merindukan sosok anaknya dalam ragaku.
“benar sekali mba, transportasi di Indonesia memang kacau sekali mba. Setidaknya saya tadi berdoa, jikalau Tuhan masih mengizinkan saya ingin sekali meminta maaf kepada istri saya mba”
Dahiku mengkerut, mendengar curhatan tiba-tiba laki-laki penyuka perokok ini.
“saya sudah tidak pulang satu tahun mba, saya ini senasib dengan Bang Toyib mba”
Aku tergelak mendengar ocehan laki-laki penyuka rokok ini. Langsung saja pandanganku mengingat bait-bait lagu Bang Toyib, yang sedikit nakal dan jenaka, sudah tiga kali lebaran tak pulang-pulang.
“kenapa tertawa mba? Kenyataannya memang begitu”, ungkapnya sedikti kesal kepadaku, karena aku tergelak seperti ingin meledek ungkapannya.
“saya merasa aneh saja pak. Kenapa pula bapak merasa senasib. Seharusnya istri bapak yang mengatakan begitu”, ungkapku geli dan sebenarnya aku merasa memang jenaka sekali.
“iya ya mba”, ungkapnya belagak bingung.
“tapi sungguh panas sekali tadi ya mba dan gila negara ini. Masih saja menyediakan barang rongsokan untuk warganya. Jangan-jangan pesawat tadi dibeli dari hasil pesawat tak terpakai China lagi ya mba”, ungkapnya mengalihkan pembicaraan, seperti kepergok malu terhadap ucapannya sendiri.
“waduh saya mana tau pak, yang saya atau seharusnya armada pesawatnya harus sudah memenuhi standar penerbangan. Tapi tadi, memang belum memenuhi standar deh pak”, aku juga akhirnya berbasa-basi.
“iya, yang saya sebel tadi pramugarinya berlagak cuek waktu bagasi diatas saya penutupnya tidak rapat lagi. Sehingga saya harus bolak balik menutupnya biar tidak menimpa saya”
Sambil mendengarkan cerita laki-laki penyuka rokok tersebut, aku mengaktifkan ponselku dan langsung mengirimkan pesan singkat ke Robert.
‘Beb dmn? Aku di ruang tunggu, cepet ya beb. Kangen’
‘Messege sent’
Akhirnya sampai juga di ruang tunggu. Kulihat sekelilingku, tapi Robert belum terlihat batang hidungnya. Ingin kucoba menelpon, tapi Robert tentu saja tak akan mengangkat jika sedang berada dirumahnya. Lagipula tak enak saja berbicara pada Robert didepan laki-laki penyuka rokok ini yang setengahnya lucu ini.
Akhirnya aku menemukan bangku yang cukup nayman untuk duduk, yang jelas aku mencari posisi yang aman. Agar waktu Robert datang, dia dengan cepat akan membawaku masuk ke mobilnya dan membawaku ke hotel.
“mba mau kemana? Siapa tau kita satu tujuan”
“terima kasih pak, saya dijemput teman saya”, ungkapku sopan menolak bantuannya yang sebernya diungkapkan secara tidak langsung.
“oiya mba, saya tunggu saja sampai teman mba menjemput. Disini rawan lho mba, nanti malah diganggu orang. Saya sering memikirkan anak saya yang sudah saya tinggalkan selama bertahun-tahun. Mungkin saja sudah seusia mba sekarang”, katanya gamang dan memulai curhatan versi Bang Toyib lagi.
“oh, terima kasih pak, tapi saya sudah biasa sendiri”, ungkapku sesopan mungkin dna menghindar dari curhatannya lagi.
“saya juga sedang menunggu sopir mba, boleh saya masih berbincang dengan mba”, ungkapnya seperti tau saja perasaanku yang sikapku yang mulai menjaga jarak.
Waduh dalam hatiku, laki-laki ini pemaksa juga rupanya. Tapi kulihat benar-benar laki-laki ini sedang galau sekali. Seperti katanya, nasibnya seperti bang Toyib yang sudah tiga kali lebaran tak pulang-pulang. Sedangkan ingin sekali pulang tapi tak berani pulang.
“kenapa bapak tak pulang-pulang?”, keberanianku bertanya muncul karena iba melihatnya.
“ingin pulang mba, tapi apa istri saya masih mau menerima laki-laki seperti saya ini mba?”, katanya pilu. Pilu sekali.
“saya melukai hatinya mba. Seperti negara ini telah melukai warga negaranya, dengan menyediakan alat transportasi rongsokan”
Keningku sedikti berkerut, walaupun aku tau maksud arah dan tujuannya berbicara. Tapi aku masih seolah tak peduli. Aku tak ingin menyentuh perasaannya dan aktivitas pribadinya. Itu ruang sangat privasi sekali.
“sedangkan saya sibuk menghambur-hamburkan uang dari hasil kerja kerasnya pula mba. Saya bertemu seorang perempuan, dan tertarik padanya. Saya nikahinya secara siri mba, tanpa sepengetahuan istri saya. Tapi istri saya yang kedua ini, juga mempunyai pacar. Saya sangat cemburu mba, dia seperti lonte saja mba”
“maksud bapak?” kataku sedikit geram mendengar ucapannya yang terakhir sekali.
“dia juga punya simpanan laki-laki mba. Itu sangat menyakiti hati saya mba”, katanya dengan sangat enteng sekali
“lha apa bedanya dengan bapak?” kali ini aku mulai mencercanya.
Kali ini keningnya yang mengkerut melihat responku yang terlampau emosi saja. Geram rasanya mendengarnya mengatakan itu. Seolah-olah perempuan hanya mainannya saja.
“tapi tidak begitu seharusnya perempuan mba. Seharusnya dia setia dan memperlakukan kami ini selayaknya diperlakukan mba, coba saya ini dikasih service gitu mba”, ungkapnya menyalahkan istrinya.
Aku tertawa dan melihat sosok Robert dari kejauhan dan melambaikan tanganku. Tapi ditengah perjalanan ke arahku. Kulihat Robert bertemu dengan seorang laki-laki yang kuduga salah satu koleganya. Aku langsung mengalihkan perhatianku ke laki-laki penyuka rokok ini agar temannya tidak curiga melihatku dan Robert. Sebenarnya kau sedikit kesal dengam tragedi bertemunya Robert dengan temannya ini. Aku sudah sangat merindukannya dan ingin sekali memeluknya tapi alhasil kami harus menunda pertemuan kami.
“service yang bagaimana pak?”
Aku spontan saja bertanya untuk mengalihkan perhatian. Untung saja, laki-laki peyuka rokok ini tidak memperhatikan lambaianku. Kegalauannya dengan versi curahatan Bang Toyib sepertinya menimbulkan perasaan yang sangat kacau juga terhadap dirinya.
“yah seperti makan, kebutuhan hidup saya sampai maaf di kasur ya mba. Dia kalo dirumah tidak pernah secantik pacar saya itu mba. Terus jarang sekali berdandan atau pakai pakaian yang saya mau”, curhatnya panjang lebar.
Aku semakin geram saja sebenarnya, tapi aku benar-benar tak mungkin meladeninya. Jika salah satu kolega Robert tau mengenai hubungan kami, aku tak tau bagaimana jadinya kami berdua nantinya.
“hey, pak. Perempuan dan laki-laki itu sama-sama nikotin. Sama-sama pula sebuah ac, jika tanpa freon dia akan membuat penghuninya kepanasan”, kali ini aku sedikit berbahasa langit dan mengabaikan sopan santun.
“mengapa seperti nikotin mba? Mengapa pula seperti ac mba?” sepertinya laki-laki penyuka rokok ini kebingungan.
Aku tersenyum simpul. Kali ini aku mengulurkan tanganku dan meminta rokok kepadanya. Kuhisap dalam-dalam hisapan pertamaku, dan kuhembuskan asapnya dengan perasaan bahagia. Kulirik tampangnya yang melongo melihat caraku menghisap rokok.
“sudah dibilang nikotin dalam rokok ini dapat menimbulkan berbagai penyakit pak”, kataku menghisap dalam-dalam rokok tersebut dan kusemburkan asapnya yang mengepul tepat pada raut muka laki-laki penyuka rokok.
Sambil menghindar dan mengerutkan dahinya, laki-laki itu sibuk menutup hidungnya. Dan kuulangi lagi hingga dia terbatuk-batuk.
“begitulah pak, tak ada yang peduli. Bahwa menghisap nikotin dan tar dari asap lebih berbahaya untuk orang lain. Berupaya melindungi tapi ternyata menyakiti. Berupaya hemat malah melukai” kataku tersenyum simpul sambil mengawasi gerak Robert.
“saya semakin tidak mengerti”
“jika Bapak menyebar benih, maka begitu pula yang akan didapatkan”. Aku melanggeng pergi saja. Jenuh. Laki-laki penyuka rokok yang aneh ungkapku.
“aneh”, ungkapnya samar-samar.
Aku kembali kehadapannya dan berkata. “bapak yang aneh, meninggalkan dan tak mau ditinggalkan. Sadar dong, kita perempuan ini bukan pelayan”
Laki-laki penyuka rokok yang aneh itu tersentak. Mungkin saja tau jawabannya. Aku melengos menghampiri mobil Robert.
---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H