Mohon tunggu...
Angger Wiji Rahayu
Angger Wiji Rahayu Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Bermimpi menjadi penulis. Karena dunia yang kita lihat hanyalah representasi. www.anggerwijirahayu.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ibu dan Status Perempuan Kepala Keluarga

22 Desember 2011   16:13 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:53 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tak ada kata seindah bagi Ibu.

Saya mulai membayangkan 20 tahun silam saya tanpa ibu. Hak asuh jatuh ke tangan ayah dan saya terpisah dari ibu. Ibu mendapatkan hak asuh kami (saya dan adik laki-laki), karena dua hal. Pertama karena kami masih balita dan kedua karena ibu kuat secara ekonomi.

Kedua alasan tadi sejatinya dalam kacamata saya masih saja melemahkan kaum perempuan. Pertanyaannya, jika kami tidak dalam kondisi balita apakah hak asuh akan jatuh ketangan perempuan? Pertanyaan kedua, bagaimana bila ibu saat itu tidak kuat secara ekonomi? Apakah hak asuh tidak jatuh ke tangan perempuan? Dan laki-laki dianggap mampu menjadi perwalian kami.

Sebenarnya saya sangat kecewa ketika ibu menceritakan alasan hakim memutuskan alasan hak asuh jatuh ke tangan ibu. Bagi saya, hakim kala itu tidak menunjukkan keadilan yang berpihak kepada ibu. Karena, pada saat itu seharusnya alasan hak perwalian jatuh ketangan ibu bukan kedua hal tersebut. Dalam kacamata saya, seharusnya hakim menjatuhkan hak tersebut karena ayah dianggap tak mampu memenuhi peran dan tanggungjawabnya sebagai seorang ayaha. Termasuk pemenuhan tiga hak konstitusional anak (pendidikan, kesehatan dan bebas dari kekerasan).

Tidak pernah saya bayangkan jika harus tinggal bersama ayah. Walaupun saya yakin, ayah juga orang tua yang akan sangat menyangi kami (walaupun saya tau, hingga saat ini tidak ada pemenuhan tiga hak konstitusional yang dipenuhinya kepada kami). Tak ada satupun anak broken home yang tidak pernah memimpikan mempunyai orang tua lengkap satupun di dunia ini. Rasanya iri sekali, ketika kita melihat setiap pagi teman-teman diantar ayah atau ibunya ke sekolah. Sedangkan kami tidak pernah merasakan itu. Atau diambilkan raport oleh ayah. Bagi kami, itu bukan masalah.

Ibu harus bekerja ekstra lebih banyak. Bekerja di ranah produktif dan domestik. Dua pekerjaan ini harus secara penuh menjadi tanggungjawabnya dan dilakoninya dengan bersama. Tanpa ada pembagian pekerjaan secara merata. Pertama untuk memenuhi kebutuhan kami dan kedua, baginya untuk mensetarakan status sosial kami. Bahwa peran ayah dan ibu tetap menjadi hak kami sebagai seorang anak.

21 tahun ibu menjadi perempuan kepala keluarga. Status Janda (Baca : perempuan kepala keluarga) tidak pernah membuatnya goyang sedikitpun hingga saat ini. Walaupun tak luput tudingan miring sering menghampiri.

Tak bisa saya bayangkan bagaimana ibu menangis sesenggukan di kamar, hanya karena tak mampu membeli buku yang ingin kami baca kala itu. Walaupun tak ada niat melukai hati ibu, tapi tetap saja ibu selalu mengatakan bahwa pendidikan hal nomor satu dan buku adalah jendelanya. Atau hati kami yang terluka karena ibu dituding mencari uang tidak halal, karena mampu menyekolahkan kami dengan baik. Tak ada satupun orang yang boleh menjudge, karena mereka tidak pernah tau derai tetesan darah ibu untuk kami.

Sungguh tak bisa kubayangkan menjadi ibu. Seorang perempuan tangguh yang mengabdikan dirinya sebagai seorang pegawai negeri biasa tapi mempunyai integritas yang sangat tinggi. Suatu kali kami ibu pulang sangat sore, kami hanya berdua saja dirumah. Kami mengeluh kepada ibu, kenapa pulang lama sekali. Ibu hanya berkata "ini adalah bagian dari tanggungjawabnya menyelesaikan semua pekerjaan dengan tuntas". Kala itu aku masih duduk di bangku kelas 4 Sekolah Dasar.

Status perempuan kepala keluarga memang bukanlah hal yang mudah untuk dijalankan. Sesekali ibu dilamar seorang laki-laki beristri, dengan tujuan membantu ibu untuk menyekolahkan kami. Tapi ibu menolak dipoligami. Ibu menolak membahayakan diriku sebagai seorang anak perempuan dari resiko pencabulan dan pemerkosaan serta melukai anak-anak lainnya. Tentu juga perempuan lainnya dan ibu menolak dikasihani karena ekonomi.

Status Janda merupakan politik seksual, yang menempatkan perempuan kepala keluarga menjadi sosok yang demikian miring untuk kepentingan garis kekuasaan laki-laki. Berbeda sekali jika kita mengasumsikan dengan seorang duda. Dikepala kita akan timbul langsung asumsi "duren" (duda keren). Praktek ini sejatinya menunjukkan bahwa posisi perempuan masih saja diidentikkan dengan ketubuhannya yang bersifat aib.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun