Mohon tunggu...
Angger Wiji Rahayu
Angger Wiji Rahayu Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Bermimpi menjadi penulis. Karena dunia yang kita lihat hanyalah representasi. www.anggerwijirahayu.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Bagian 17: Bertemu Sarah

7 Februari 2012   15:09 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:57 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Aku keluar kamar menggunakan jeans biru dongker dan selarik kaos berlengan panjang yang ku matchingkan dengan blazer casual senada dengan warna jeans. Beginilah enaknya jadi pekerja seni dan tidak terikat dengan birokrasi, kita bisa membuat diri kita senyaman mungkin dengan pakaian yang kita sukai.

Tak bisa aku bayangkan nanti jika aku setiap hari harus melapor ke kantor, atau wajib datang ke ke kantor absen. Haduh, bukan sekali pekerjaan yang menyenangkan bukan? Entah pula karena aku lahir dari keluarga yang benar-benar bebas berekspresi. Ibu dan ayah tak pernah punya waktu yang tetap untuk bekerja. Kadang pagi, kadang siang kadang malam. Tergantung kebutuhan. Aku pula terpola seperti itu, belajar buka buku kadang iya kadang tidak. Tapi aku tak pernah absen dari ranking satu dikelas.

Semua mata tertuju padaku waktu aku memasuki restoran. Mungkin karena aura bahagiaku yang keluar. Teringat pesan pendek Sandi tadi. Sinta menyambutku dan memperkenalkanku pada beberapa orang yang menatapku tadi.

‘hai teman-teman, ini mbak Lea temannya mbak Rara dari teater Kotak’, Sinta memperkenalkanku.

Aku menyalami mereka satu persatu. Tapi aku seperti melihat Sarah diantara sepuluh orang yang sedang berkumpul ini. Tapi aku lebih tertarik dengan seseorang yang mirip sekali dengan Sandi. Bahkan menurutku sama. Cara menatapnya, cara menjabat tanganku. Lembutnya tangannya hingga gerak-geriknya. Tapi dia bukan Sandi. Bukan Sandi tentunya. Aku tau aroma tubuhnya, tau tatapannya, tau pula caranya ketika bertemu aku.

Bagas. Bayu. Andi. Wahyu. Hendra. Hamid. Leo. Dewi. Sarah.

Glek. Benar Sarah, walau aku sudah lama tak bertemu padanya, tak tau kabarnya tapi aku amsih ingat bentuk tubuhnya. Dia terlihat gendut, mungkin karena sedang hamil. Karena aku mendapat cerita Robert kemarin, bahwa mereka menikah karena alasan itu. Perut Sarah telah membuncit. Tapi aku bingung kenapa dia ada disini. Ataukah dia salah satu peserta acara ini? Oh, Tuhan aku tak peduli padanya, ternyata dia juga pecinta seni.

Oh, Tuhan aku tau bahwa Robert mencari jejakku dalam tubuh Sarah. Tuhan jangan biarkan kami dalam keadaan sulit. Tuhan hindari pembicaraan ataupun hal lain mengenai Robert. Tak mungkin aku malah mengahadapkan diriku pada masalah ini. Aku takut sekali Sarah mulai menuduhku menggoda suaminya atau menganggapku seorang perempuan perusak rumah tangga. Oh Tuhan, jauhkan Robert dariku. Jauhkan bayangannya, jauhkan kesedihanku terhadapnya, jauhkan lukaku ini.

‘mbak Le, sarapan dulu ya’, Sinta mengingatkanku.

Aku gelisah sambil mengambil makananku. Aku mengambil salad buah, susu coklat dan dua potong roti bakar di bufe. Aku hampir saja menjatuhkan sebuah mangkok karena aku gugup dan gelisah. Beberapa pelayan dengan ramah membantuku membawakan piring yang hampir jatuh.

‘mbak mau duduk dimana? Biar saya bantu bawakan’, ungkap pelayan tersebut ramah.

‘saya duduk dikelompok itu’m ungkapku sambil melihat kearah tim.

Laki-laki mirip Sandi tersebut melihatku dan menyediakan tempat duduk tepat disampingnya. Aku tambah kikuk, dihadapanku ada dua manusia yang mengingatkanku pada dua orang yang ada dalam hidupku.

‘maaf telat, mari sarapan’, ungkapku mengakrabkan diri.

Oh Tuhan, Sarah mengikuti gerak gerikku. Laki-laki mirip Sandi yang aku tak hafal namanya ini menatapku juga dan sepertinya ingin mulai mengajakku ngobrol.

‘Lea, sudah lama di teater?’, akhirnya dia menyapaku pula.

‘iya, lumayan sudah hampir lima tahun’, ungkapku sambil menyendokkan makanan.

‘aku sering mendengar namamu, tapi baru sekali ini kita bertemu. Dulu waktu kamu pementasan lakon Marini karya Rara aku meilihatmu pentas’, ceritanya.

‘oh ya, waktu pementasan peringaran hari bumi kemarin? Kok kita gak berkenalan?’, ungkapku.

‘kamu waktu itu langsung menuju Jakarta kata Rara, ada pertemuan komunitas teater disana. Kebetulan aku sedang di Bengkulu dan memang  kenal dengan Rara sejak program dari kementrian pariwisata tiga tahun lalu. Rara banyak bercerita tentangmu.’, ungkapnya panjang lebar.

Aku tersenyum menjawab ucapannya dan melanjutkan makanku kebingungan apa yang harus aku jawab dengan perbincangan dengan laki-laki mirip Sandi ini Tuhan.

‘Sandi juga banyak cerita tentangmu’, ungkapnya datar.

Glek. Akhirnya aku terhenti makan, dan menatap matanya. Iya aku bertemu Sandi dalam mata itu.

‘maksudmu? Sandi?’, aku kelabakan.

‘Sandi itu kakak sepupu saya. Kebetulan ayah kami kembar. Banyak orang yang mengira kami juga kembar. Padahal kami hanya sepupuan’, ungkapnya.

‘Oh, iya aku ingat Sandi pernah bercerita tentangmu’, ungkapku kikuk.

‘Sandi akan pulang sebentar lagi. Aku tak menyangka itu benar kau Le’, katanya datar menatapku tajam.

‘Sandi banyak menceritakanmu, tapi tak pernah mengenalkannya padaku. Hingga kita bertemu disini’, lanjutnya.

‘iya dia akan pulang. Mungkin dia akan bekerja disini atau menikah disini. Entahlah’, ungkapku asal.

‘Sandi hingga saat ini belumm punya pacar lagi. Memang kau benar-benar hebat Le. Wajar saja Sandi tergila-gila padamu’, ungkapnya tak malu-malu.

Semua mata memandang pembicaraan kami. Aku menajdi risih sekali. Kali ini aku tak mampu menguasai keadaan dan tak mampu menguasai pembicaraan.

‘Kak Bayu kenal sama mbak Lea’, ungkap Sinta menyelamatkanku.

‘Lea ini pacarnya sepupu saya, tapi saya belum pernah bertemu langsung.’, ungkap Bayu menyelamatkanku pula dari kegugupan.

Glek. Pacar? Oh My God, kenapa aku jadi begitu kikuk di lingkungan ini. Padahal aku tadi begitu bersemangat. Entah karena ada Sarah disana yang tersenyum menang, mengetahui aku masih berstatsus pacaran. Atau karena ungkapan Bayu tadi yang masih memberiku gelar pacar Sandi.

‘waduh, saya gak jadi lajang deh mau kenalan sama mbak Lea’, seloroh Andi membuyarkan kekakuanku akhirnya.

Semua orang tertawa dan membuatku tersipu-sipu.

‘kalo Sarah dan Dewi tentu saja kita gak mungkin menaksirnya. Sinta apalagi. Nah, diantara sarang penyamun seni ini Cuma Lea lah yang bisa dijadikan sasaran cinta selama seminggu ini. Duh, pasti bukan aku saja yang patah hati’, seloroh Andi lagi.

Semua menyambut tawa termasuk Bayu yang melirik nakal kepadaku. Haduh, hanya dikomunitas ini saja sepertinya yang memujiku berlebihan.

‘sepertinya kita pernah bertemu Lea’, kata Sarah, menusuk jantungku.

‘mungkin saja mbak. Mungkin kita satu sekolah’, ungkapku sopan.

‘ya, ya kamu temannya Rara kan?’, katanya meyakinkanku.

‘iya Larasati mba’, ungkapku.

‘turut berduka ya atas kepergiannya. Saya mendengar kaulah yang paling dekat dengannya hingga menjelang akhir hidupnya’, katanya

‘Iya mbak, sekarang dia sudah tenang’, kataku datar mencoba sesopan mungkin.

‘maafku dan suami karena tidak bisa datang. Aku mendengar Rara sangat menyukai suamiku dulu’, katanya.

Semua orang melihatku dan meminta jawabanku.

‘waduh, sepertinya nostalgia nih’, seloroh Andi cuek. Smeua orang tersenyum melihatku.

Aku bingung sebenarnya apa yang akan aku jawab. Sarah menyingungku atau memang dia mengatakan tulus apa yang kurasa.

‘iya mbak. Saya mengerti’, kataku teringat Rara pedih.

‘Lho Rara mana ni Le?’, kata Bayu.

‘Rara teman SMA bay, bukan Dea Larasati, Rara yang kau kenal’, kataku sambil meminta perlindungannya.

‘wah sepertinya suamimu dulu sangat menggoda Sarah. Sekarang suamimu bekerja dimana Sarah?’ kata Wahyu sambil menunjukkan tampang usilnya.

‘bekerja di Departemen Keuangan yu. Sedang sibuk sekali sekarang. Dulu tanya saja sama Lea, dia tau banyak. Bahkan yang dulu ada dua orang sahabat yang sama-sama menyukai suamiku. Sepertinya aku menjadi perempuan beruntung.’, kata Sarah sambil menatapku.

Aku kelabakan dengan sangat. Sungguh Sarah sepertinya tau hubunganku dengan Robert. aku mengeram dalam hati. Tapi Sarah sungguh keterlaluan, seharusnya dia tidak mengatakan itu padaku didepan semua orang yang baru aku kenal ini. Sepertinya Bayu mengetahui apa yang aku rasa, Bayu memberi isyarat mata kepadaku agar aku diam saja.

‘pasti Lea juga dulu sangat digandrungi banyak laki-laki bukan?’, ungkap Bayu mencoba menengahiku.

‘aku yakin juga begitu. Sekarang aja duh, kalau bukan sepupumu saja, sudah aku ajak ribut dulu deh’, ucap Andi sambil tersenyum manis kepadaku.

‘oh tidak bisa. Sepupuku laki-laki istimewa, sangat pantas untuk Lea. Kamu jangan macem-macem ndi, sepupuku sebentar lagi kelar studynya dan pulang ke Indonesia’, seloroh Bayu sambil tersenyum kepada Andi.

‘waduh sepertinya pagi ini session perkenalan sudah jauh ni untuk mbak Lea. Ayo bergegas kakak-kakak, kita ada session perkenalan di ruangan’, kata Sinta memcah guyonan.

Ah, terselamatkan pagi ini. Aku terselamatkan dengan Sinta. Bayu berdiri dan menggeser kursiku. Bayu benar-benar mirip dengan Sandi. Selalu saja sopan denganku dan menempatkanku seperti putri.

Sepertinya seminggu ini akan sangat menyenangkan, tapi juga akan sangat melelahkan hati. Karena mau tak mau sepertinya aku harus menyiapkan diri bertemu dengan Robert. Atau menghadapi sindiran-sindiran Sarah. Bayu menarik mendekatiku dan berbisik.

‘tenang saja, jangan takut dengan Sarah, memang dia comel’, kata Bayu.

Aku tersenyum simpul saja dan bingung mengapa Bayu sepertinya membaca pikiranku. Tapi aku tak ingin menduga-duga, biarlah menjadi rahasia saja. Pertempuran akan dimulai, bagaimana bisa aku hanya mengambil bagian menjadi prajuritnya saja. Aku harus menjadi ahli strategi  yang ulung, mampu membaca situasi dan mampu bekerja dengan tim. Mungkin itu yang akan aku raih dalam trainning kali ini. Aku bukan hanya ingin menjadi pemain teater saja. tapi aku pula ingin menggunakan strategi untuk memainkan aktornya.

Atau nantinya aku hanya menjadi penonton saja. Aku berniat tak akan mempedulikan masalah pribadi dan Sarah. Apalagi Robert. Aku menyakinkan diri sambil berjalan ke ruangan. Kulihat Sarah juga sepertinya tak ingin pula dihambat cita-citanya walau sedang hamil. Kulihat dia tengah mempersiapkan notebooknya dan mengambil posisi jauh dari AC. Didalam perutnya ada anak Robert, anak orang yang pernah kusayang.

Aku memilih duduk Bayu. Sepertinya sedikit nyaman duduk disampingnya. Tentunya aku dapat melihat dengan jelas guratan Sandi untuk sementara. Andi mencoba duduk disampingku, tapi kulihat Bayu mengepalkan tangannya. Kelakuan mereka seperti anak-anak tapi Andi memang laki-laki tanpa menyerah. Aku suka laki-laki speerti ini. Seperti Sandi. Bukan Robert. bukan Robert yang membuat aku dan Sarah berjarak. Bukan Robert yang membuat Sarah jadi bukan Sarah. Dan aku hampir pula menjadi bukan aku.

Bayu tersenyum melihatku terpekur. Aku rasa dia tau apa yang aku rasakan. Merindukan Sandi. (J50K 1512)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun