Mohon tunggu...
Angger Wiji Rahayu
Angger Wiji Rahayu Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Bermimpi menjadi penulis. Karena dunia yang kita lihat hanyalah representasi. www.anggerwijirahayu.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

(J50K) Bagian 14 : Laki-laki Bang Toyib

25 Januari 2012   01:26 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:29 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

(Pemerkosaan, perampok uang rakyat dan narkoba tidak dapat diselesaikan dengan hukum adat. Harus diselesaikan dengan hukum legal formal.  Itu bentuk kejahatan yang tidak manusiawi)

Pagi tadi, tiba-tiba aku terseret mengikuti acara Sosialisasi Seni Budaya disebuah Kabupaten. Karena berkaitan dengan seni budaya, perwakilan dari teater, aku yang berangkat. Pagi-pagi sekali aku berangkat dari rumah Rara. Rara masih harus bertugas mengedit dua naskahku. Satu naskah monolog dan satu naskah pementasan teater yang belum rampung aku kerjakan. Rara ngotot ingin membacanya hari ini. Katanya biar cepat ketauan dimana kelemahan naskah yang aku buat. Mengkoreksinya dan mulai menyiapkan pementasan lagi.

Sebenarnya aku tidak terlalu menyukai acara seperti ini. Namun dalam acara tersebut, berbagai stakeholders terlihat tercantum dalam undangan. Peserta acara tersebut berasal dari tokoh adat, tokoh agama, kepala desa, pihak keamanan serta pihak pemerintahan. Acara ini difasilitasi oleh sebuah badan yang dibentuk untuk memfasilitasi kelompok adat dinegeri ini.

Dalam TOR yang kudapat, acara ini bertujuan untuk menyamakan pendapat mengenai bagaimana hukum adat dapat digunakan bersama untuk menyelesaikan permasalahan di masyarakat. Serta penguatan bagaimana peningkatan apresiasi terhadap kegiatan seni budaya. Aku sebenarnya malas sekali mengikuti acara yang semi seremonial seperti ini.

Tapi Rara sungguh membuatku yakin melangkahkan kaki keruangan ini. Acara ini terlihat sederhana sekali, tapi banyak sekali hal yang bisa kuamati dari kacamataku sebagai perempuan dan sebagai kaum muda. Mulai dari perspektif yang digunakan hingga muatan yang dibahas. Ayo kita mulai dengan apa yang menjadi sudut pandang para tokoh adat ini. Aku mulai berpikiran nakal. Aku bisa menggunakan kelompok ini untuk memfasilitasi pula isu yang dibawa Teater Kotak. Atau sumber inspirasiku untuk menulis naskah lagi. Mungkin ini juga yang direncanakan si nakal Rara.

Namun, ada beberapa perasaan yang sedikit menggelitik pada acara tersebut. Hanya ada satu perempuan, dua orang termasuk aku dari sekitar 50 peserta yang hadir. Termasuk narasumber. Tentu saja, dilevel pelaksanaan dan pengambil kebijakan mengenai hukum adat, serta pengembangan seni budaya dimasing-masing level, laki-laki paling mendominasi. Menurut ketua badan adat tersebut, posisi perempuan biasanya ditempatkan sebagai pengembang seni budaya untuk hanya urusan perempuan saja.

“pemimpin sekarang masih banyak yang budak (berumur muda), sejak ditetapkan peraturan bahwa pemimpin harus mempunyai pendidikan minimal. Sehingga budak-budak ini masih banyak belum mengerti masalah adat budaya, serta seni”, Ketua Badan Adat.

Glek, kalimat itu sangat menohokku. Jelas-jelas seorang tokoh adat mengatakan hal demikian. Mendeskreditkan kaum perempuan dan kaum muda tentunya. Masa karya kami akan muda masih dibilang tidak mengerti dengan aturan-aturan adat. Duh, rasanya ingin kupotong sekaligus pidato laki-laki tersebut, dan mencercanya dengan berbagai pertanyaan dan sanggahan. Tapi hal tersebut tak mungkin kulakukan, aku hanya peserta biasa disini dan tetap menjaga etikaku, sebagai bagian respekku terhadap kaum tua.

Tentu saja dari pendapat itu, golongan muda masih dianggap belum berperan penting dalam hukum adat dan pelestarian seni budaya. Minimnya partisipasi kaum muda juga didorong oleh anggapan bahwa kaum muda belum dapat dipercaya dan mampu menjadi teladan.

Laki-laki tersebut melanjutkan pidato pembukaannya, aku sudah mulai malas mendengar sebenarnya, namun aku pikir lebih lanjut, hal inilah kadang pula yang membuat kaum muda belum dihargai karyanya. Permasalahannya mengenai ‘respek’ menurutku. Kadang kaum muda melupakan mengatakan dengan lugas bahwa karya kaum tua berkualitas. Kaum muda sibuk belajar karya lama untuk menyempurnakan karyanya. Atau seringkali kita menyebutnya moderenisasi. Sehingga karya-karya orisinil hanya dianggap kuno tradisional dan antik dan hanya punya kelas tertentu saja.

Karya-karya seni WS Rendra, Afandi, Raden Saleh, Iwan Fals dan sederet maestro seni lain dibidangnya menurutku karya-karya yang tiada usang dimakan zaman berkualitas dan bukan hanya antik tapi memiliki sense of art yang sangat tinggi.

Aku menggarisbawahi suatu hal dalam acara ini bahwa yang turut berpartisipasi dalam penentuan hukum adat dan pelestarian seni dan budaya, partisipasi kaum muda dan perempuan masih sangat rendah sekali. Sehingga ketika aku berbicara mengenai seksualitas dan politik, semua akan memandang bahwa itu bukan urusan laki-laki melainkan urusan para perempuan.

Geram sekali rasanya menuliskannya dalam catatan hari ini. Itu realita yang harus disadari dan segera aku tersadar. Aku hanya mencatat didiaryku catatan-catatan kecil mengenai peretemuan itu. Sambil menulis, mataku tapi tak dapat lari dari seorang sosok laki-laki paruh baya yang menghisap rokok dalam-dalam. Sepertinya wajahnya tidak terlalu asing. Oh my God sepertinya aku bertemu laki-laki penyuka rokok itu lagi. Laki-laki seperti ayah yang menyukai rokok dan menghisapnya dalam-dalam.

Aku tak habis pikir mengapa bisa bertemu laki-laki ini disini, pada kesempatan ini. Dia memandangku juga dan sama terkejutnya melihatku. Mungkin pula karena aku satu diantara dua perempuan dalam forum itu. Lalu dia menyunggingkan sebuah senyuman kepadaku. Bagiku senyumannya senyuman maut, yang sedang menggoda dan mengajak bertemu diakhir sesi diskusi. Huft, aku malas bertemu laki-laki itu, tapi tak mungkin aku menghindar, inilah saatnya Teater Kotak memperkenalkan dirinya dengan berbagai lapisan masyarakat.

Selama ini stakeholders yang kami bangun hanya sebatas lingkungan seni teater saja. Sesekali job-job manggung yang kami terima juga bukan berasal dari kalangan seni saja. Namun tetap saja harus ada gebrakan baru yang kami buat, agar nafas, dan isu yang kami perjuangkan juga menjadi isu banyak kalangan.

Kali ini beberapa praktisi hukum bicara mengenai realitas kehidupan hukum saat ini, termasuk si laki-laki penyuka rokok tersebut. Aku bingung bukankah dia bukan seorang praktisi hukum. Oh, sepertinya dia juga berbohong padaku kala itu. Sehingga membuatku geram pula. Apa maksudnya membohongiku kala itu. Kudengarkan apa masukannya, dia mengajukan usul mengenai beberapa hal. Kasus-kasus seperti pemerkosaan, perampok uang rakyat dan narkoba menurutnya tidak dapat hanya diselesaikan dengan hukum adat saja. Kasus tersebut masuk keranah hukum legal formal. Katanya lebih lanjut bahwa hal tersebut merupakan bentuk kejahatan yang tidak manusiawi.

Aku terpana terhadap paparannya dan ide-idenya. Diakhir sesi dia mengungkapkan bahwa ini harus menjadi kesepakatan bersama dan dimasukkan dalam sebuah kebijkan yang tertulis dan disepakati bersama. Aku mengangguk setuju dan mendukung idenya yang yang kuanggap layak pula untuk didukung. Laki-laki penyuka rokok sepertinya mendekatiku saat coffe break.

‘mbak ini yang kita bertemu di bandara kemarin ya? Yang satu pesawat dengan saya?’ katanya cukup sopan kepadaku.

‘oh, iya pak. Kita bertemu di bandara’, kataku menimpali dengan cukup sopan pula.

‘kenapa kita bertemu disini ya mbak?’, katanya mengajakku ngobrol.

‘kebetulan teater saya mendapat undangan pak’, ungkapku sambil tersenyum membayangkan kebingungannya waktu itu.

‘mba pekerja seni ya? Wah, gak saya kira’, katanya heran.

‘lho kenapa pak?’, aku juga bingung.

‘gak apa-apa mbak, saya hanya teringat anak saya lagi’, ungkapnya pilu.

‘oh, maaf pak. Bukan maksud saya’

‘kapan-kapan mampirlah ke kedai saya. Ini kartu nama saya. Siapa tau kita bisa ngobrol banyak hal tentang teater. Saya juga bisa promosikan teater mbak dengan relasi-relasi saya. Siapa tau kita bisa berkolaborasi seni mbak’, ungkapnya panjang lebar.

‘baiklah pak. Terima kasih undangannya. Saya akan kesana jika waktu longgar’, ungkapku dan mengambil kartu namanya.

Aku mengambil kartu namanya dan melihat namanya. Seperti tata cara orang Eropa yang selalu melihat nama orang yang tertera pada kartu nama, supaya terlihat sopan dan memasukkannya kedalam dompet.

Aku undur diri, dan terngiang bahwa perkosaan, merampok uang rakyat yang dikonotasikan dengan korupsi serta narkoba tidak dapat diselesaikan dengan hukum adat saja. ternyata laki-laki itu, sepertinya punya masalah sendiri dengan hidupnya. Kemarin dia bilang sedang meminta maaf istrinya dan mengatakan istrinya pelacur. Kali ini dia membela perempuan. Entah apa maksudnya Bang Toyib penyuka rokok ini. Aku yakin dia punya hati pula yang sedang galau. Atau begitulah laki-laki, lain dibibir lain dihati? Ah, aku tersenyum bingung saja. (J50K 1195)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun